"Tuan muda Snapp, hadiah untuk nyonya besar direktur perusahaan Huan sudah di siap kan."
Snapp yang mendengar laporan dari sekertarisnya itu berkata, "Sekertaris Hana, jika malam ini kau tidak acara, maukah menemaniku menghadiri acara itu?"
Wanita muda itu mana mungkin akan menolak, dia langsung mengangguk dengan patuh, dan menyembunyikan rasa gembira nya dalam hati, "kebetulan malam ini aku tidak ada urusan."
Jo yang duduk di sofa sambil memegang minumannya menyela, "kalau sudah di luar jam kerja, nanti bukan sekertaris Hana lagi, melainkan nona Hana," pria itu mencoba berkelakar, "Snapp, kau harus menghitungnya sebagai kerja lembur, dan jangan lupa tambahkan gajinya," dia kemudian terkekeh dan menenggak minumannya yang masih tersisa setengah gelas.
Snapp yang memilih tak menanggapi celotehan sahabatnya itu, kembali berujar pada Sekertaris nya, "sepulang kerja, pilihlah gaun yang kau inginkan, nanti tagihannya biar aku yang bayar."
"Baik."
Setelah wanita itu berlalu dari ruangan, tatapannya kini beralih pada Jo, "kau tidak ikut pergi?"
Jo yang tadinya bersandar di punggung sofa, kini bangkit dan berkata, "tidak-tidak, aku tidak tertarik dengan acara semacam itu, aku sudah ada janji lain."
Alis Snapp seketika langsung bertaut dan menatap curiga ke arah pria itu. Apa dia ada janji dengan Silia?
Namun demi menutupi rasa gelisah nya itu, Snapp mencoba untuk bersikap biasa saja, "Siapa?" Tanya nya kemudian dengan nada tak acuh.
Jo mengulum senyum, dia sangat peka, dan tahu apa yang ada di pikiran Snapp, "aku hanya ada janji dengan para kerayawan perusahaan kita untuk mentraktir makan malam mereka malam Minggu ini."
Mendengar penjelasan itu, diam-diam Snapp merasa lega. "Yasudah, terserah kau saja."
Snapp hanya berpikir, seandainya Silia turut ikut dalam makan malam itu, setidak nya mereka tidak hanya berdua. Tapi kenapa juga dia harus sekhawatir itu?
Snapp mencoba mengabaikan pikirannya, dia memilih untuk keluar ruangan dan membereskan sisa pekerjaannya. Sedangkan Jo hanya bisa mengulas senyum memandangi punggung sahabatnya itu yang perlahan menjauh.
Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikir kan?
***
"Silia, apa kau sudah tahu, sepulang kerja nanti, manager Jo akan mentraktir kita makan malam, kita sepakat akan membuat pria itu bangkrut." Seorang karyawan wanita berkata degan nada antusias.
"Ah... malam ini ya? Sepertinya aku tidak bisa, aku ada acara, maaf, ya?" Ujar Silia dengan berat hati, hari ini dia akan ke pesta ulang tahun ibu tirinya.
"Huh... sayang sekali, baik lah, lain kali kau harus ikut." Karyawan wanita itu pun berlalu.
"Jadi kau tidak akan ikut hari ini?" Jo tiba-tiba sudah muncul di hadapannya. Mata Silia terbelalak, sedikit terkejut dengan kehadirannya, "tidak apa-apa, kau selesaikan saja urusan mu, lain kali kita makan bersama lagi."
Silia merasa sedikit tidak enak, dia hanya mengangguk canggung. Senyum manager Jo yang begitu lembut, dan selalu perhatian pada nya, membuat Silia merasa senang jika berada di dekat pria itu. "Kak Jo, nanti malam bersenang-senanglah." Silia membalas mengulas senyum.
"Tentu...." Meski merasa sedikit kecewa, namun ia senang sebelum pergi dia bisa melihat wajah gadis itu.
***
Silia turun dari taksi, di hadapannya sudah berdiri kokoh sebuah bangunan mewah, itu adalah kediaman keluarga Huan, ibu tirinya itu adalah merupakan direktur perusahaan besar dan termasuk orang yang berpengaruh di kota.
Begitu sampai di depan gerbang, seorang pelayan menyambut nya. "Anda pasti nona Silia kan? Tadi tuan Huan sudah berpesan pada saya untuk menyambut anda jika anda datang."
Silia terdiam dan hanya mengangguk pelan. "Mari ikut saya." Pelayan wanita itu pun mempersilahkan Silia masuk dan membimbingnya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.
Saat melewati koridor rumah yang sepi, Silia berpapasan dengan Stuart, yang merupakan sodara tiri laki-laki nya, pria itu berdiri di hadapan nya bermaksud menghalangi jalan nya, suasananya sedikit canggung, kemudian pria itu mengisyaratkan pada pelayan untuk berlalu, "Ibu ku dan Elena sedang berganti pakaian di atas, sebentar lagi juga turun." Dia membuka percakapan.
Silia hanya mengangguk tanpa ingin membuka suara. Stuart ikut terdiam, karena tidak tahu harus mengatakan apa lagi, dia memilih untuk pergi.
Silia memasuki bagian ruang utama, dan melihat banyak nya tamu yang datang, dia tidak menduga kalau acara nya ternyata sangat meriah, dia berpikir hanya acara makan malam keluarga, dan ternyata...
Dia menundukkan kepalanya, melihat ke arah dirinya sendiri, "kalau begitu pakaian ku ini?"
Belum selesai dia berpikir, seorang wanita datang menghampirinya dan menyerahkan gelas kosong padanya, Silia terkejut, "benarkan, mereka pasti menganggapku pelayan." Sekali lagi dia memeriksa penampilannya yang begitu sederhana di pesta semewah ini. Dia merasa begitu ceroboh dan takut itu akan mempermalukan keluarga baru ayah nya itu.
"Kau tidak perlu merasa minder begitu, kau boleh lakukan apa yang kau mau, tidak perlu sungkan." Suara itu kembali datang dari arah belakangnya.
Silia menoleh dan mendapati Stuart dengan memasang wajah dingin berdiri tepat di belakangnya. Mau apa lagi pria ini? Pikirnya. Jujur saja. Dia sangat enggan jika harus berhadapan dengan pria itu. Silia memilih membuang muka dan pura-pura tidak mendengar perkataan pria itu. Stuart yang memiliki harga diri tinggi akhirnya kembali berlalu.
"Pergi saja sana, jauh-jauh... hush... hush...."
Silia mengedarkan pandangannya, dan mendapati ayah nya ada di antara keruman para tamu, dia ingin segera menghampiri pria paruh baya itu, tapi langkahnya tiba-tiba tertahan, dia ingat, siapa posisinya saat ini. Stuart bahkan sudah memperingatkan nya sejak lima tahun yang lalu, bahwa tidak ada yang boleh tahu, kalau dia adalah putri tiri keluarga Huan.
Pria yang di panggilnya Ayah itu, akhirnya menatap ke arah nya, wajahnya terlihat gembira dan segera datang menghampiri Silia. "Sayang, apa kabar mu?" Sapanya hangat.
Silia menundukkan kepalanya memberi hormat, "aku baik A--" Silia hampir saja menyebut kata ayah pada pria itu, namun dia buru-buru meralatnya, "maksudku, aku baik tuan Huan."
Mata pria paruh baya di depannya terbelalak, perasaan bersalah segera merayapi dadanya, namun dia juga tidak bisa berbuat banyak. "Kau baru datang, makan lah yang banyak, mari makan temani ayah."
"Tidak, tuan Huan, aku kemari hanya ingin mengucapkan selamat pada nyonya Huan." Matanya kini menatap wanita paruh baya namun masih terlihat cantik itu di antara kerumunan para tamu.
Dengan perasaan tidak enak, ayah nya mengikuti arah pandang nya, "baiklah, aku akan panggilkan beliau kemari."
Silia membalasnya hanya dengan anggukan, pria tua di hadapannya itu berangsur pergi, mata Silia kembali menyapu sekitar, kini tatapannya jatuh pada sodari tiri nya-Elena. Gadis itu selalu tampil memukau dan modis. Kadang di hati nya terbesit rasa iri, bukan karena kemewahan yang menaungi gadis itu, namun, kasih sayang dari orang-orang terkasih yang mengelilinginya. Seorang ibu yang sukses, kakak laki-laki yang tampan, dan dia hanya punya seorang ayah, namun mereka tetap merebut nya. Ada rasa sesak yang mengendap di dasar hatinya, namun sebisa mungkin ia abaikan.
Dari kejauhan, tampak nyonya Hujan dan ayah nya kembali datang menghampirinya. "Selamat ulang tahun Nyonya," Silia menunduk memberi hormat, "ini ada hadiah kecil dari ku, semoga bibi menyukainya," tangannya terulur memberikan bingkisan kecil pada wanita parah baya yang sebenarnya adalah ibu tirinya.
"Kenapa repot-repot, kau datang saja aku sudah senang, terimakasih, ya." Sebenarnya wanita yang menjadi istri ayah nya itu sangat lembut. Silia kembali berpikir, mungkin wanita itu benar-benar bisa merawat dan membahagiakan kan ayah nya.
"Tidak repot, bibi. Semoga bibi panjang umur dan sehat selalu."
Ayah Silia tersenyum karena menilai kalau putrinya kini banyak berubah, dia bukan lah gadis yang keras kepala lagi.
"Terimakasih, makanlah, pasti kau lapar, nikmati hidangannya."
"Tidak bibi, sepertinya aku harus segera pulang, karena besok aku ada pekerjaan." Silia mencoba menolak dengan halus, karena alasan yang sebenarnya dia merasa tidak nyaman berada di tengah keramaian. Dimana-dimana orang-orang hanya menjadikan pesta sebagai ajang pamer dan berbangga diri.
"Kenapa buru-buru? Nikmati dulu saja pestanya."
"Iya... kenapa kau buru-buru, sayang?" Tuan Han menambahkan.
Silia hanya kembali terdiam, saat dia sedang memikirkan alasan lain untuk menolak, tiba-tiba Elena datang dan berseru, "hai Silia, lama tak jumpa, kenapa buru-buru ingin pulang, makan lah dulu, makanan hari ini di buat oleh koki terkenal, kau seumur hidup pasti belum pernah memakannya, jadi makanlah yang banyak." Gadis itu masih sama , selalu bicara dengan nada merendahkan.
Silia mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih, dia sedang berusaha menahan diri agar emosinya tidak tersulut, dia harus menunjukkan pada gadis sombong itu bahwa dirinya baik-baik saja, "terimakasih atas pujiannya, baiklah nanti aku akan banyak dulu sebelum pulang."
Elena terperangah, siapa yang sedang memujimu gadis bodoh. Dia merasa sangat keki, padahal dia sedang merendahkannya, tapi kenapa Silia si kampungan itu malah tersenyum tanpa beban seperti itu?
Kau tidak akan bisa menindas ku, Elena. Bisik Silia dalam hati.
"Tuan muda Snapp..."
"Oh... iya, tuan muda Snapp..., ternyata hadir juga dia ke pesta ini."
Sayup-sayup suara itu terdengar dari para tamu, kedatangan pria itu sepertinya memang sangat mampu mengundang perhatian. Terubukti semua orang yang mengelu-elu kan namanya.
Apa aku tidak salah dengar, nama itu sepertinya tidak asing... jangan-jangan....
Silia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya merasa tidak yakin, kenapa di manapun tempatnya, selalu bertemu pria ini?
Bersambung.