"Tunggu Eyang, apakah secepat ini Eyang akan meninggalkan aku?" tanya Wira sambil menatap laki-laki tua yang ada di depannya itu.
"Jatah umur Eyang sudah habis cucuku, namun meski begitu jasad Eyang nanti tidak akan pernah membusuk, Eyang akan melepaskan nyawa ini di dalam Goa di lereng gunung Muktisari itu. Ada mustika dalam tubuh eyang yang belum bisa keluar dan yang akan bisa mengambilnya hanya putramu. Titisanku."
"Baiklah Eyang," jawab pemuda pincang yang memiliki nama Wira itu.
"Kamu tidak perlu takut jika ada orang yang hendak berbuat jahat kepadamu, selama batu yang akan Eyang berikan ini tetap berada di dalam tubuhmu. Dan berikanlah batu mustika itu kepada istrimu kelak." Setelah berpesan Eyang pun duduk bersila berhadapan dengan Wira.
Sesaat kemudian nampak Eyang memejamkan kedua mata dengan telapak tangan mengepal di atas kedua lututnya sambil mulut komat-kamit membaca mantra.
Seiring dengan berhentinya mulut eyang, tiba-tiba keluar asap dan sinar kuning kemerah-merahan dari kedua telapak tangannya yang masih mengepal itu.
Semakin lama asap yang keluar itu semakin tebal hingga sinar yang memancar dari kepalan tangan itupun tidak bisa jelas menerangi.
Saking pekatnya asap itu Wira yang duduk berhadapan itupun tidak lagi bisa melihat Eyangnya tersebut.
Namun meski ruangan rumah kayu itu penuh dengan asap, tetapi Wira tidak merasakan pengap apalagi sesak, tidak sama sekali, justru Wira mencium aroma harum disertai udara yang terasa dingin sejuk. Sejurus kemudian terdengar dari mulut Eyang suara seperti orang yang mengeluarkan kekuatan dari dalam tubuhnya.
"Hep! Hiaah ..."
Bersamaan dengan itu tiba-tiba asap yang menyelimuti ruangan itu berangsur-angsur hilang, dan sinar yang keluar dari kepalan tangan Eyang pun perlahan berubah menjadi putih kebiru-biruan.
Begitu ruangan itu telah menjadi terang Wira melihat telapak tangan kanan Eyang diangkat ke atas seperti menggenggam sesuatu dengan telapak tangan kiri didekapkan ke dada.
"Buka bajumu Nak dan kemarilah agak mendekat ke Eyang," pinta Eyang.
"Baik Eyang," nampak Wira pun segera menanggalkan bajunya dan langsung menggeser duduknya itu kedepan hingga lututnya menempel dengan lutut Eyang.
Lalu dengan perlahan Eyang menurunkan kepalan tangannya itu dan langsung menempelkan dengan sedikit menepukkan ke dada Wira.
"Hepp!"
Wira pun merasakan seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam dadanya, dan sesudah itu dia merasakan tubuhnya terasa lebih ringan dan lebih segar bugar.
"Saat ini di dalam tubuhmu sudah bersarang batu mustika biru. "Pelindung Raga" yang akan memberimu kekuatan dan melindungimu dari orang yang hendak berbuat jahat."
"Meskipun begitu Eyang tidak menghendaki kamu menjadi seorang pendekar, jika tidak dirasa perlu, jangan sekali-kali kamu bertarung kecuali hanya untuk melindungi diri saja, tetap lah kamu tinggal di sini."
"Pada saatnya nanti akan banyak orang yang menginginkan jasad Eyang untuk mengambil batu mustika. Karena barang siapa yang bisa memiliki mustika dari jasadku, dia akan memiliki kekuatan yang tidak bisa dikalahkan oleh pendekar manapun kecuali kamu."
"Dan pada saatnya kelak, kamu pun juga harus menyerahkan batu mustika itu kepada orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi pendekar penumpas kejahatan di muka bumi ini, dan pendekar itulah yang selayaknya mendapatkan jasad Eyang nanti, yaitu putramu. Dan menjadi tugas mu adalah menjaga Goa itu dari tangan-tangan jahat yang hendak mencuri mustika di jasad eyang."
"Baiklah Eyang, akan selalu saya ingat pesan Eyang," balas pemuda berumur delapan belas tahun itu.
"Kalau begitu Eyang akan pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik," ujar Eyang sambil menepuk-nepuk pundak Wira sebelum akhirnya pergi meninggalkannya.
Wusss ...!!!
Secepat kilat tubuh Eyang pun menghilang tertutup kabut yang menyelimuti kaki gunung Muktisari itu.
Wira berdiri memandang ke arah Eyangnya pergi, lalu sesaat kemudian dia pun kembali masuk ke dalam rumah.
Sementara itu setibanya di mulut Goa tiba-tiba ada sekelebat tiga bayangan manusia yang menghantam tubuh sang Eyang.
"Hep, hiak! Hiak! Hiak!" Sergap tiga bayangan itu menghantam tubuh Eyang secara beruntun, meskipun sempat terhempas dan terjatuh Eyang pun segera bangkit.
"Hahaha ... mau pergi ke mana kau?" tegur salah seorang dari tiga pendekar aliran hitam itu.
"Mau apa lagi mencari aku? Apa kamu belum merasa cukup dengan kekalahan yang kau derita kemarin, Santoso?" tanya Eyang sambil memandang ketiga pria yang ada di depannya itu.
"Cuih! Bedebah! Jangan sombong kau Resik! Kemarin kamu boleh mengalahkan aku tapi tidak untuk saat ini!" sergah pendekar yang bernama Santoso.
"Eh, eh, eh, eh, memang apa bedanya kamu yang sekarang dengan yang kemaren? Apa karena kamu sekarang bertiga?"
"Hey Candrawara! Jangan kau kira kedatanganku ini untuk membantu Santoso dalam menghadapimu, kami berdua kesini karena ingin membalas kematian guruku," sahut pendekar yang bernama Winoto itu.
"Benar, selama kita belum bisa membawa kepalamu ke pusara Eyang Guru Gundala Sakti kita tidak akan pernah kembali, lebih baik kami mati dari pada hidup dengan menanggung dendam!!" timpal pendekar satunya.
"Oh begitu, bagus ... aku hargai keberanian dan pengorbanan kalian untuk guru kalian itu, dan dengan berkumpulnya kalian bertiga disini, itu akan lebih memudahkan bagiku untuk menghantarkan kalian menyusul mereka," timpal Candrawara dengan tenangnya.
"Keparat jaga ucapanmu itu dan terimalah ini hiak ...!" serang Winoto dengan brutalnya. Dua pendekar aliran hitam pun maju.
Meski mendapat serangan secara tiba-tiba dan brutal namun dengan mudahnya Eyang Candrawara menghindar, dan nampak disini kesakitan Eyang Candrawara jauh di atas lawannya itu.
"Jaka ..."
Melihat Jaka seperti diremehkan oleh Candrawara, Santoso dan Winoto pun tidak tinggal diam mereka berdua pun langsung ikut menyerang.
Setelah mendapatkan tambahan lawan, Candrawara yang semula meladeni Jaka dengan berdiri kini malah mengambil posisi duduk dengan menggunakan tongkatnya sebagai tunggangan.
Dan anehnya lagi tubuh Candrawara mulai pinggang ke atas bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat laksana sebuah Kincir angin yang bisa berubah arah putarnya sesuai arah angin yang meniup.
Sehingga meskipun dia dikepung oleh tiga pendekar sekaligus namun sedikitpun serangan yang mereka lancarkan itu bisa mengenai dirinya dan bahkan selalu bisa ditangkisnya dengan mudah.
Melihat keanehan gerak tubuh Candrawara itu Jaka nampak mundur sedikit untuk mengambil jarak, lalu setelah dirasa tepat waktunya dia pun bergerak merendah sambil mensleding tongkat yang diduduki oleh Candrawara itu.
Heppp!
Ssttt!
Kontan saja karena saking kerasnya gerakan sleding dari Jaka itu maka tongkat itupun terpental dan langsung patah.
Setelah tongkat yang didudukinya itu patah, bukannya jatuh atau ikutan terpental tubuh Eyang Candra malah terbang ke atas dengan posisi masih duduk bersila.
Setelah merasa serangannya belum bisa melumpuhkan lawannya, yaitu si pertapa sakti Eyang Candrawara, ketiga pendekar itupun nampak menghentikan sejenak serangannya.
Mereka terlihat seperti merencanakan sesuatu kepada eyang.