Terteriak lantang tangan kanan Santoso pun menghunjamkan pedangnya itu dengan sangat keras ke arah leher Eyang Candrawara.
"Mampuslah kau Candrawara! Hiiaaat ... tuang ..."
Karena saking kerasnya pedang Santoso pun terlepas dari genggaman dan terpental. Namun sungguh diluar dugaan Santoso dan kedua temannya itu, karena tubuh Eyang Candrawara tidak bergerak sedikit pun apa lagi terluka.
Melihat pedang andalannya yang tidak mampu melukai musuh yang sudah tidak bergerak itu, kemarahan Santoso pun semakin memuncak. Lalu sarung pedang yang masih dipegang tangan kirinya itupun dia lemparkan, kemudian dia kembali mengambil pedang Tarik Nyawanya yang terpental beberapa jengkal dari tempatnya berdiri.
Sesaat setelah mengambil pedangnya itu Santoso pun kembali menghampiri tubuh Eyang Candrawara dan kembali mengangkat tinggi-tingi pedangnya itu dengan kedua tangannya.
Dengan mengerahkan seluruh kesakitan yang dia miliki Santoso pun kembali menghunjamkan pedangnya.
"Hiiiiiaaaaattt. Hancurlah kau jahannam ...!"
Duuuaarrr ... whusssh!!!
Sungguh kejadian yang diluar dugaan, pedang Tarik Nyawa andalan Santoso itu pun hancur dan terbakar, begitu pula tubuh Santoso pun juga ikut terbakar.
Melihat tubuh dan pedang temannya hancur dan terbakar, Winoto pun langsung melompat dan menyerang tubuh Eyang Candrawara yang masih utuh dengan senjata andalannya tombak Pati.
"Biadap kau Candrawara ... jiiiaatt, jiiiaatt, heiyyaa ..."
Sangat amat brutalnya Winoto menghunjamkan tombak saktinya itu ke arah perut Eyang Candrawara, karena mengira kalau area perut akan lebih lunak dan bisa ditembus dengan tombaknya, berkali-kali dia menghunjamkan tombaknya itu untuk dua tujuan, satu merasa puas dan kedua dapat mengambil mustika di dalam hati Eyang Candrawara.
Namun kejadian yang serupa dengan Santoso pun kembali terulang, setelah berkali-kali menghujani tubuh Eyang Candrawara dengan tombaknya itu dan sama sekali tidak bisa melukai, akhirnya tombak dan tubuhnya pun juga ikut hancur dan terbakar.
Sementara itu melihat kedua temannya telah hancur lebur tewas menemui ajalnya dengan sangat mengenaskan, Jaka yang sedaritadi masih berdiri ditempatnya itu, kini bermaksud untuk menyelamatkan diri.
'Benar-benar luar biasa pertapa sakti itu,aku ingin mengambil mustika yang ada di dalam tubuhnya. Aku tidak mau mati konyol seperti Winoto dan Santoso, lebih baik aku menyelamatkan diri saja,' ucapnya dalam hati.
Namun karena masih merasa penasaran dengan tubuh manusia sakti si Eyang Candrawara, maka Jaka pun bermaksud untuk bersembunyi dibalik bongkahan batu dan semak-semak sambil mengawasi tubuh Eyang Candrawara itu.
Dan dari tempatnya sembunyi Jaka melihat tubuh Eyang Candrawara mengeluarkan sinar putih kebiru-biruan lagi, dan tidak lama kemudian jasad Eyang Candrawara itu nampak bergerak-gerak.
Melihat itu Jaka pun mengira kalau mayat Eyang Candrawara itu hidup kembali.
"Oh ... benarkah yang aku liat ini? Apakah Eyang Candrawara bisa hidup kembali?" tutur Jaka dengan mata melotot, seolah masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. Terfikir oleh Jaka kalau sampai Eyang Candrawara hidup lagi pasti akan menyerangnya juga.
Sambil merasa ketakutan karena khwatir kalau dia juga akan bernasib tragis seperti kedua temannya itu, Jaka terus mengawasi tubuh Eyang Candrawara itu dari tempatnya bersembunyi. Namun setelah cermati dengan seksama bergeraknya tubuh Eyang Candrawara itu tidak menunjukkan bahwa jasad pertapa sakti itu hidup kembali, melainkan seperti ada sesuatu yang menggerakkan.
'Lho kok aneh, gak ada angin gak ada orang, tubuh pertapa itu kok bisa bergerak? Apa mungkin terbang? Apa karena ada mustika?" tanyanya keheranan.
Jaka pun semakin merasa takjub manakala melihat tubuh Eyang Candrawara itu tiba-tiba terangkat ke udara. Sesaat jasad pertapa sakti itu nampak berputar-putar di udara sebelum akhirnya terbang perlahan memasuki Rawa dan di dalam rawa itu terlihat Goa.
Dan begitu jasad sakti itu masuk ke dalam, suasana Goa yang semula gelap gulita itu berubah menjadi terang karena adanya cahaya dari tubuh pemilik mustika tersebut. Melihat itu Jaka pun merasa semakin penasaran, lalu diapun melangkah dengan mengendap mengikuti jasad Eyang Candrawara masuk ke dalam Goa.
Meskipun perasaannya masih diliputi rasa takut namun Jaka tetap memberanikan diri untuk terus mengikuti jasad pertapa sakti itu dan sama sekali tidak memperdulikan rasa dingin di malam hari.
Karena keadaan dalam Goa yang berkelok-kelok ditambah dasarnya banyak batu tajam yang berserakan membuat Jaka harus berhati-hati dalam menginjakkan kakinya.
Beda halnya dengan jasad Eyang Candrawara yang terus bergerak terbang dengan tenangnya meskipun jalanan berbatu dan berkelok laksana pedati yang dikendalikan oleh kusir.
Jasad sakti itu masih terus terbang masuk semakin dalam ke dalam Goa, hingga akhirnya berhenti di atas sebuah batu yang berada di sebuah ruangan yang cukup besar yang berada dalam Goa tersebut.
"Apa kira-kira aku dapat mengambil mustika itu? Ah, kok cari mati aku. Aku tak ada apa-apanya dengan kedua temanku. Ilmuku masih di bawah mereka," gumam Jaka.
Jaka melihat jasad Eyang Candrawara nampak bersih dan bersinar, meskipun tadi sempat bertarung namun tidak nampak bekas-bekas kotor apapun yang menempel pada tubuh sakti itu. Berbeda jauh dengan keadaan tubuhnya yang berpeluh, kotor, dan baju yang robek dibeberapa bagian.
Setelah merasa cukup melihat dan mengamati mayat pertapa sakti itu Jaka pun memutuskan untuk kembali keluar dari dalam Goa. Lalu diapun melangkah dengan agak gontai dikarenakan sudah merasakan lelah, dan sesaat kemudian sampailah dia di mulut Goa. Dan segera keluar.