Sementara dengan Wira menjalani hari-harinya dengan berkebun dan berburu. Dia rajin menanam sayur dan palawija di kebun peninggalan Eyang Candrawara, untuk kemudian kalau sudah panen dia ambil secukupnya dan selebihnya dia jual ke pasar untuk dibelikan lagi beras dan keperluan lainnya.
Wira adalah cucu Eyang Candrawara, dia pernah mengalami kecelakaan yang dibuat orang jahat hingga kakinya pincang dan ada beberapa luka di wajahnya. Dia tinggal bersama Eyang Candrawara setelah orang tuanya telah tewas. Ayah dari Wira adalah anak angkat Candrawara.
Pada hari itu, di pagi yang masih buta Wira terlihat sudah terbangun dari tidurnya, karena hari ini dia hendak memanen tanaman di kebunnya itu, maka begitu selesai mencuci muka dia memasak air untuk sekedar membuat minuman hangat.
Wira yang memang hidup seorang diri kini sudah menginjak usia dua puluh tahun, dia yang mengalami cacat karena itu merasa kurang percaya diri untuk bertemu dengan orang, maka hari-harinya pun dihabiskan untuk bekerja di ladang, dan hanya sesekali saja bertemu dengan Kakek Manto untuk sekedar menjual hasil kebunnya.
Setelah selesai minum dan makan ketela rebus diapun segera bergegas menuju ke kebun tempatnya bekerja, memang karena jarak yang tidak terlalu jauh maka setelah berjalan beberapa saat akhirnya diapun tiba di kebunnya itu.
"Wah, banyak juga sayuran-sayuran ini, aku harus segera memetiknya biar nanti tidak kesiangan pas diantar ke rumah Kakek Manto," ujarnya sambil memulai memanen sayur mentimun dan aneka kacang-kacangan.
Setelah beberapa saat kemudian akhirnya Wira pun selesai memetik panenannya itu. Dan setelah semua dimasukkan ke dalam keranjang dia langsung memikul nya dan dibawa ke rumah Kakek Manto untuk dijual.
Karena takut kesiangan Wira pun memikul panenannya itu dengan setengah berlari. Dan setibanya di rumah Kakek Manto, Wira pun agak kaget melihat rumah pedagang langganannya itu masih tertutup.
"Kakek Manto ... Kek... ini Wira ..." ucapnya memanggil.
Setelah berulang-ulang memanggil tapi tetap tidak ada jawaban.
"Ah, kemana Kakek Manto ini ya? Apa kira-kira dia pergi? Coba aku panggil lewat samping rumah saja, siapa tahu dia masih di belakang," ujar Wira sambil melangkah menuju samping rumah.
"Kakek Manto ... ini Wira, Kek ..."
"Iya Nak ... sebentar ... uhuk, uhuk," balas Kakek Manto terdengar sambil batuk-batuk.
Krieeek ... krek ...
Terdengar suara pintu dibuka dan nampaknya Kakek Manto sedang tidak enak badan.
"Mari masuk sini."
Wira pun masuk mengikuti orang tua itu.
"Maaf ya Nak ... hari ini aku gak bisa ke pasar ... aku dan Nenek lagi sakit, kemaren itu habis kehujanan sepulang dari pasar."
"Oh iya Kek ... tidak apa apa."
"Kamu bawa sayur banyak, dan buah juga?" tanya Kek Manto.
"Ya seperti biasanya itu Kek, satu keranjang sayur, pisang dan alpukat."
"Ya udah kamu bawa aja ke pasar langsung ... nanti kalau kamu gak berani jualan, kamu titipkan ke Mbok Tlenik, itu lho pedagang sayur yang ada di sebelah Kakek jualan."
"Iya Kek, akan ku bawa ke pasar sendiri, Kakek dan Nenek istirahat aja dulu biar cepet sembuh."
"Iya Nak ... terimakasih, maafkan Kakek ya?"
"Ah gak papa Kek ... ya udah Kek kalau gitu saya tak berangkat ke pasar dulu."
"Iya Nak Wira ... hati-hati ya ...? Di pasar banyak orang jahat, nanti kamu segera pulang kalau sudah selesai ..." pesan Kakek Manto.
"Iya Kek, tenang saja, aku bisa jaga diri," ujar Wira sambil melangkah pergi menuju ke pasar.
Sesaat setelah Wira pergi Kakek Manto pun kembali menemui istrinya yang juga sedang sakit dan berbaring di dalam bilik nya itu.
"Aku sebenarnya merasa kasian dengan anak itu, aku tahu kalau dia itu sebenarnya merasa kurang percaya diri untuk bertemu dengan orang lain," ujar Kakek Manto pada Nenek Sumi istrinya.
"Iya Kek, kemarin saja pas dia kesini dan disini ada Rengganis dia langsung menundukkan kepala dan buru-buru pulang, dia nampaknya malu dengan cacat yang dideritanya itu."
"Tapi ya wajarlah Kek namanya juga anak muda, ya semoga saja kelak dia dipertemukan dengan perempuan baik yang bisa jadi pasangan hidupnya," ujar Nenek Sumi merasa prihatin dengan keadaan Wira.
Sementara itu Wira yang memang kurang percaya diri dengan kondisinya itu terlihat menutupi mukanya dengan cadar.
Dia berjalan menyusuri jalanan desa, meskipun mukanya sudah ditutupi dengan cadar dia terlihat masih menundukkan kepala sepanjang perjalanannya itu.
Dan setibanya di pasar Wira langsung mencari Nenek Tlenik. Namun tatapannya tertuju kepada seorang gadis yang sangat anggun.
"Ayo segera pergi putri Mekar sari ayo, ada pemberontak yang datang," ajak wanita di samping gadis cantik itu. Wira yakin gadis itu sedang menyamar. Wira segera mengalihkan pandangannya walau dia sangat tertarik. Walaupun ditempat ramai Wira dapat mendengar dengan baik. Nama Mekarsari pun tertanam dengan mudah di dalam hatinya, yang mungkin saja membuat Wira akan sulit melupakannya.
"Oh itu rupanya Nenek Tlenik, aku akan langsung saja ke sana," tutur Wira sambil berjalan menghampiri wanita tua itu. Dia yang semula bermaksud menitipkan dagangannya itu, kini malah ingin menjualnya sendiri.
'Lebih baik aku jual sendiri saja dagangan ku ini, aku gak mau ngerepotin Nenek Tlenik,' ucapnya dalam hati.
"Nek ... aku ikut jualan di sini ya?"
"Lho ini tempat jualannya Pak Manto dan Mbok Sumi ...."
"Iya Nek.. tapi saya sudah minta ijin," balas Wira.
"O ya sudah kalau gitu, silahkan saja, memang Pak Manto dan istrinya kemana to Ngger ...?" tanya Mbok Tlenik.
"Beliau sakit Nek ... katanya kemarin habis kehujanan," jawab Wira sambil menurunkan dagangannya.
Setelah selesai menata dagangannya Wira pun segera menawarkan dagangannya itu. Dia yang baru pertama kali berdagang nampak tidak malu-malu untuk menawarkan pada orang-orang yang terlihat lewat di depannya, dan dia pun menjual dagangannya itu dengan harga murah.
'Biar saja aku dapat untung dikit yang penting cepat habis dan bisa segera pulang. Tetapi ... kenapa aku sangat penasaran dengan gadis tadi. Sadar Wira ....' gumamnya dalam hati.
Disaat Wira dan para pedagang lainnya masih menjajakan barang dagangannya, tiba-tiba dari arah ujung pasar terdengar suara keributan yang menyadarkan lamunan Wira.
Mendengar dari suara keributan itu, Wira samar-samar mendengar kalau suara itu adalah suara orang yang sedang dirampok. Tapi anehnya meski ada peristiwa perampokan tidak ada satu orang pun yang mau menolong, mereka nampak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Wira yang sudah tahu dengan kejadian itu bermaksud hendak membantu orang yang sedang disatroni oleh para perampok itu.
"Nek aku tak lihat keributan itu ya? Tolong jagain dagangan ku dulu."
"Kenapa to le... mbok ndak usah... mereka itu para perampok yang jahat, yang gak segan-segan melukai korbannya."
"Ah, wong aku cuma liat aja kok Nek, sebentar saja, abis itu aku tak segera balik lagi," ucap Wira agak memaksa.
"Ya udah kalau gitu... hati-hati," pesan Nenek Tlenik.