Chereads / Pendekar Mayat Bertuah / Chapter 12 - Sanjaya Menjadi Sabrang

Chapter 12 - Sanjaya Menjadi Sabrang

Sementara itu Putri Mekar yang sangat khawatir dengan Putranya yang belum pulang sampai pagi hari terlihat juga hendak mencarinya.

"Sanjaya ... kamu kok belum pulang to Nak ...?" lalu Putri itu pun langsung beranjak ke luar rumah, sepertinya dia bermaksud mencari Putra sematawayangnya itu ke tempat dia semalam berpamitan, yaitu ke kuil.

Kemudian baru berjalan beberapa langkah tiba-tiba Putri pun berpapasan dengan Pak Santo yang juga memiliki niat dan tujuan yang sama.

"Bu Mekar, ini saya mau ke rumah Ibu, kebetulan bertemu di sini," ujar Pak Santo menyapa.

"Oh iya, dan kebetulan juga saya pun ingin ke kuil Pak," timpal Putri membalas.

"Mau mencari saya?" tanya balik Pak Santo kepedean.

"Bukan Pak, anu ... saya mau mencari anak saya Sanjaya," balas Putri sembari melempar senyum.

"Lho kok sama ya, saya mau ke rumah Ibu Mekar pun sebenarnya juga ingin mencari Sanjaya." Lalu terjadilah dialog dari kedua orang tua yang sedang mencari satu sosok yang sama namun beda tujuan itu.

"Jadi maksud Pak Santo mencari Putra saya itu untuk apa?" tanya Putri pada Pak Santo yang belum juga berterus terang.

"Jadi begini Ibu Mekar, Putra Ibu itu semalam telah ..." mulailah pria setengah baya itu menceritakan kejadian yang baru saja dia lihat, sempat merasa tidak enak hati karena Putranya telah berbuat kesalahan, namun setelah melihat Pak Santo malah bersyukur akhirnya Putri Mekar pun langsung tersenyum.

"Jadi benar beraknya Sanjaya itu berubah jadi emas?" tanya Putri Mekar meyakinkan.

"Benar Bu Sari, kalau ibu tidak percaya mari ikut ke rumah saya, biar nanti saya tunjukkan."

"Ah gak usah, saya percaya kok Pak," jawab Putri dengan suara dan ekspresi wajah yang berubah, Ibu Sanjaya itu tiba-tiba terlihat sedih.

"Lho kenapa Bu kok tiba-tiba terlihat sedih begitu?" tanya Pak Santo.

"Sanjaya sekarang tidak ada Pak, sejak kepergiannya semalam hingga saat ini dia belum pulang, mungkin dia merasa bersalah jadi di takut untuk pulang," ujar Putri Mekar.

"Ya bisa jadi begitu Bu, padahal aku tidak marah dan malah merasa senang dengan perbuatannya itu, begini saja Bu saya akan segera lapor pada Pak Kuwu kalau Sanjaya telah pergi dari rumah, nanti biar dia memerintahkan para warga untuk bersama-sama mencarinya," ujar Pak Santo bermaksud untuk mengurangi rasa sedihnya seorang ibu.

Begitulah akhirnya Pak Santo pun langsung bergegas pergi ke rumah Pak Kuwu melaporkan atas hilangnya Sanjaya, dan kemudian di hari itu juga pencarian Sanjaya yang melibatkan para warga sekitar lereng gunung Muktisari pun dimulai, sementara bocah sakti itu terus bergerak menuju ke arah selatan, semakin jauh dia meninggalkan desa tempat tinggalnya itu hingga akhirnya ketika waktu sudah mulai memasuki petang Sanjaya pun nampak memasuki sebuah perkampungan.

'Sepertinya malam akan segera tiba, lebih baik aku bermalam di kampung ini saja, tapi kira-kira siapa ya yang berkenan untuk aku tumpangi ...?' tanya Sanjaya dalam gumamnya. Lalu bocah itupun kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalanan desa yang berbatu itu, setelah beberapa saat berjalan tiba-tiba bocah itu menghentikan langkahnya.

"Itu seperti ada keramaian, apa sebaiknya aku numpang di sana saja ya? Ah enggak ah, aku gak berani ke sana, aku takut, jangan-jangan nanti aku ditolak dan di usir," ujarnya lirih.

Disaat Sanjaya masih dalam kebingungannya itu tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh sesuatu.

Puk!

Sebuah batu sebesar bola tenis mendarat di tengkuknya.

"Aduh! Siapa ini yang melempar aku?" seru Sanjaya sembari tangannya memegangi bagian tubuh yang baru saja terkena lemparan batu itu.

"Hahaha ..."

"Hahaha ..."

"Ih Kakang! Kok jail banget to kamu itu!"

Tiba-tiba saja muncul tiga bocah seusianya yang terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan dari balik gubuk bambu yang berada di pinggir jalan, dan kalau dilihat sepertinya mereka bertiga itu adalah saudara.

"Heh, bocah! Petang-petang kaya gini masih keluyuran! Mau kemana kamu?!" ujar salah satu dari bocah laki-laki itu dengan ketusnya.

"Maaf Den ... namaku Sabrang," ujar Sanjaya yang memang sengaja menyamarkan nama aslinya, namun sayang belum selesai dia berucap tiba-tiba salah satu dari bocah itu langsung memotong ucapannya.

"Heh! Siapa yang tanya namamu?! Aku gak butuh dengan namamu, tadi itu aku bertanya, kamu itu mau kemana ... heh?! Dasar budeg!" kembali dua bocah lelaki itu menghardik Sanjaya yang kini menyamar sebagai Sabrang.

"Maaf Den ... sa .. sa .. saya mau numpang bermalam," jawab Sanjaya terdengar agak gugup.

"Oh .. jadi kau ini anak gelandangan? Anak gembel?" sahut bocah yang memiliki nama Rangsang itu, begitu mendengar ucapan dari Rangsang seperti itu nampak Sabrang alias Sanjaya hanya mengangguk pelan sambil berucap.

"Iya, bolehkah aku menumpang di kampung ini Den ...?" lanjut tanya Sabrang.

"Boleh, boleh ... mari ikut dengan kami," sahut bocah yang perempuan memiliki nama si Arum itu.

"Heh Arum! Enak saja kamu mengajak gembel ini pulang ke rumah! Apa kau tidak takut dimarahi Ayah?" sergah bocah lelaki satunya lagi yang bernama Rajasa.

"Enggak, aku gak takut, biar nanti aku yang akan minta izin dengan Ayah, biar dia diperbolehkan bermalam di rumah kita," timpal Arum sembari menoleh kepada Sabrang dan kontan saja Sabrang pun langsung segera menundukkan wajahnya ke tanah karena malu.

"Tidak! Tidak bisa! Aku tidak setuju si Gembel ini ikut kita pulang, kecuali ..." ucap Rangsang tertahan.

"Kecuali apa?" sahut Arum tidak sabar.

"Kecuali dia bisa mengalahkan kita berdua, aku ingin mencoba si Gembel ini, apakah dia bisa bertarung melawanku apa tidak?"

"Yah benar, aku setuju dengan persyaratanmu itu Rajasa, kalau dilihat-lihat nampaknya bocah ini pemberani juga," timpal Rangsang sambil berjalan mendekati Sabrang.

"Bagaimana Gembel? Apakah kau bersedia bertarung dengan kita berdua?" tanya Rangsang sambil mendongakkan kepalanya, terlihat Sabrang

masih tertunduk dan terdiam.

"Heh, jawab ...!" kembali Rangsang membentak Sabrang sambil tangan kanannya mendongakkan wajah bocah malang itu.

"Baiklah," jawab Sabrang sambil tangannya meraih tangan Rangsang dan kemudian menurunkannya.

"Bagus kalau begitu sekarang bersiaplah ... hep hiyyat ...!"

"Tunggu ... tunggu dulu ..." seru Arum sambil berlari dan kemudian berdiri dengan merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi Kakaknya yang telah bersiap untuk menyerang Sabrang.

"Apalagi Arum ...?!" ucap Rangsang terlihat sangat kesal dengan sikap adik perempuannya itu.

"Sebelum Kakang Rangsang menyerang anak ini, Kakang berdua harus berjanji dulu," ucap Arum Sari sambil memandangi wajah kedua Kakaknya secara bergantian.

"Janji apa?" sahut Rajasa yang terlihat masih belum beranjak dari tempatnya semula.

"Kakang berdua harus berjanji bahwa pertarungan ini hanyalah uji coba saja dan tidak boleh saling melukai itu yang pertama, lalu yang kedua pertarungan ini hanya satu kali saja, artinya ... kalau saat ini yang mau bertarung dengan anak ini adalah Kakang Rangsang ... maka ya harus Kakang Rangsang saja, dan Kakang Rajasa tidak boleh ikut-ikutan ... terus syarat selanjutnya ... ketentuan sebagai pemenang itu ditentukan siapa yang bisa menjatuhkan lawannya, jadi bagi siapa saja yang berhasil membuat lawannya terjatuh maka dialah yang keluar sebagai pemenang, dan syarat yang terakhir apapun yang terjadi dan siapapun yang menang nantinya ... anak ini harus tetap diperbolehkan untuk tinggal menginap di rumah kita, bagaimana?"

Nampak Rangsang tidak menjawab, bocah tertua dari tiga bersaudara itu nampak menoleh ke arah adiknya Rajasa sembari menggeleng kecil untuk meminta persetujuan dan nampaknya Rajasa pun langsung mengangguk tanda setuju.

"Baiklah kalau begitu bersiaplah kau anak Gembel hup hiyyat ...!"

Tanpa ragu dan berbasa-basi lagi Rangsang pun langsung menyerang Sabrang dengan melancarkan pukulan-pukulannya.

"Hiyyat ... jiak, jiak ...!"

Baks, buks, baks, buks ...

Nampak kedua bocah itu saling unjuk kebolehannya, baik Rangsang maupun Sabrang, namun setelah beberapa saat berlalu Rangsang terlihat mulai marah dan menghentikan serangannya.

"Heh, bocah edan! Jangan macam-macam mempermainkanku! Hayo serang aku! Jangan cuma menangkis dan loncat sana loncat sini! Atau kalau tidak aku tidak segan-segan untuk mencelakakanmu!

Memang benar apa yang diucapkan oleh Rangsang, mulai dari awal pertarungan itu dimulai Sabrang si bocah sakti perwujudan dari Sanjaya yang menjadi titisan dari mustika itu nampak tidak melancarkan serangan-serangan balik, dia terlihat hanya berkelit dan menangkis pukulan-pukulan dari Rangsang, Sabrang sepertinya memang tidak ingin mengeluarkan kesaktiannya, apa yang dia lakukannya itu semata-mata hanya untuk menjaga diri.

"Ayo! Kita lanjutkan pertarungan ini! Serang aku dan hadapi jurus jari besiku ini!" seru Rangsang sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam bajunya dan tidak lama kemudian.

Wus, wus ... sring, sring ...

Nampak kedua tangan bocah itu kini telah terpasang besi-besi pipih dan memiliki ujung yang runcing dan terlihat sangat tajam, nampaknya dia sangat kesal dengan cara bertarung yang diperlihatkan oleh Sabrang dan bermaksud memancing lawannya itu supaya mau mengeluarkan kemampuannya dan terus menyerangnya.

"Tunggu ... tunggu ... ini tidak boleh, ini sudah menyalahi aturan yang telah disepakati tadi, bahwa tidak boleh saling melukai satu sama lain," ucap Arum Sari memprotes tindakan saudara tertuanya yang nampak menggunakan senjata.

"Halah sudahlah, diam saja kamu Arum! justru bocah Gembel inilah yang telah menyalahi aturan yang kau buat itu!"

"Lho kok dia?" tanya balik Arum Sari nampak heran.

"Yah, memang dia dari awal sudah menyalahi aturan! Kenapa dari tadi dia tidak mau menyerang?! Hanya menangkis dan berlompatan kesana-kemari seperti monyet kelaparan?! Sudahlah Rangsang, teruskan saja! Hajar bocah itu, biarlah Arum Sari aku yang urus!" sahut Rajasa dengan suaranya yang terdengar lantang.

"Bersiaplah kau bocah edan ...! Hiyyat ... jiak ...!" Dengan segera Rangsang pun melompat dan kemudian langsung menyerang Sabrang dengan menyabetkan jari-jari besinya ke arah tubuh bocah sakti itu, dan sepertinya Sabrang pun menyadari bahwa lawannya kali ini memang benar-benar bermaksud untuk melukainya.

Bersambung ...