Chereads / Pendekar Mayat Bertuah / Chapter 15 - Sabrang Yang Kerasukan

Chapter 15 - Sabrang Yang Kerasukan

Lalu setelah membentak Dewa Ndaru seperti itu nampak Sabrang memandang patung singa raksasa yang tepat berada di atas pimpinan perguruan itu berdiri, lalu seketika itu juga patung raksasa itu bergerak-gerak dan kemudian langsung roboh.

Hurug, hurug hurug ...

Suara patung itu terdengar sangat bergemuruh, dan karena saking kagetnya Dewa Ndaru pun bermaksud ingin melompat untuk menyelamatkan diri akan tetapi tiba-tiba dia merasa kakinya menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan lagi.

"Ah ... tolong ...!" teriak Dewa Ndaru nampak begitu panik, dan sungguh diluar dugaan dan sangat sulit dipercaya, disaat patung singa raksasa itu sudah hampir menimpa tubuh pimpinan perguruan itu tiba-tiba dengan sangat cepat Sabrang segera melesat secepat kilat dan langsung menahan patung singa raksasa itu hanya dengan menggunakan jari kelingking tangan kirinya.

"Aaah ...! Aaah ...!" teriak Dewa Ndaru terlihat masih merunduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya, mendengar bisingnya teriakkan pimpinan perguruan itu maka Sabrang pun langsung membentaknya.

"Aaah ...! Aaah ...!" teriak Dewa Ndaru terlihat masih merunduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya, mendengar bisingnya teriakkan pimpinan perguruan itu maka Sabrang pun langsung membentaknya.

"Hoe! Diam lah!"

Lalu dengan perlahan Dewa Ndaru pun menoleh ke atas, dan betapa terkejutnya ia, matanya langsung terbelalak dan mulutnya menganga manakala melihat kejadian yang sangat sulit untuk diterima oleh akal sehatnya itu, bagaimana tidak? Patung singa seukuran bus itu terlihat disangga oleh Sabrang hanya dengan menggunakan ujung jari kelingking tangan kirinya saja, dan setelah beberapa saat kemudian nampak Sabrang menghempaskan patung raksasa itu ke udara.

"Hiiyyaaah ...!"

Patung berbobot puluhan ton itupun langsung melayang dan melesat hingga keluar beteng perguruan tersebut, melihat kejadian itu Dewa Ndaru pun langsung rontok mentalnya, lalu dengan suara yang terdengar agak gugup lelaki empat puluh tahun itu pun berkata.

"Ba, ba, baiklah anak muda ... aku sekarang mengaku kalah."

"Apa katamu? Kalah?" tanya Sabrang memperjelas.

"Be, be, benar anak muda, meski kita belum sempat bertarung tapi aku sudah mengakui keampuhan dan kehebatan ilmu kesaktian yang kau miliki."

"Hahaha ... hahaha ... hahaha ... jadi kau sekarang mau menjadi pengikutku?"

"Benar anak muda, dan mulai sekarang aku juga menyerahkan tampuk pimpinan perguruan Padangkarautan ini kepadamu," tutur Dewa Ndaru, dan begitu mendengar itu nampak Sabrang mengembangkan senyum menandakan adanya kepuasan dalam hatinya.

"Hei ... kalian semua murid-murid ... ketahuilah ... bahwa mulai saat ini aku sudah bukan lagi pemimpin di Perguruan Padangkarautan ini ... mulai saat ini tampuk kepemimpinan saya serahkan kepada Tuan Guru Sabrang ... maka dari itu mulai saat ini yang akan memimpin latihan kanuragan, menggembleng ilmu kesaktian ... sudah bukan aku lagi, akan tetapi beliau sendirilah yang akan melakukannya, oleh karena itu ... aku minta pada kalian semua untuk memberikan penghormatan kepada guru baru kita ini ..."

"Hidup Tuan Guru Sabrang ...!" teriak Dewa Ndaru

"Hidup ...!" sahut para murid-murid.

"Hidup Tuan guru Sabrang ...!"

"Hidup ...!"

"Sudah ... sudah ... cukup, seperti apa yang telah disampaikan oleh Dewa Ndaru tadi, bahwa mulai saat ini akulah yang akan menjadi pemimpin di Perguruan ini ... maka dari itu, kalian semua harus tunduk dan patuh pada perintahku, kalian mengerti?!" tanya Sabrang mempertegas kesanggupan dari para murid dadakannya itu.

"Mengerti Tuan guru ...!" sahut para murid Perguruan Padangkarautan itu dengan kompaknya, memang bisa dibilang tragis dan ironis, bahwa sekelas Perguruan Padangkarautan yang terkenal angker dan telah banyak menghasilkan para begal yang terkenal sadis dan kejam itu bisa langsung tunduk dan bahkan menyerah tanpa syarat pada seorang Pemuda dadakan yang juga baru kemarin sore mereka satroni.

Sesaat kemudian terlihat Sabrang melambaikan tangannya untuk meminta Dewa Ndaru supaya mendekat, lalu setelah itu nampak pemuda sakti itu membisiki pada sang mantan pimpinan perguruan tersebut.

"Dewa Ndaru?"

"Iya Tuan guru, ada apa?"

"Suruh para murid-murid ini bubar dulu, ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu," ujar Sabrang.

"Baik Tuan guru," balas Dewa Ndaru, dan kemudian diapun langsung berseru kepada para murid perguruan.

"Wahai para murid ... Tuan Guru Sabrang meminta agar kalian membubarkan diri, dan untuk latihan kali ini cukup sampai di sini dulu," seru Sabrang sembari memandang ke semua murid yang berjumlah sekitar seratusan orang itu.

"Ayo, ayo, ayo ..." ucap para murid saling bersahutan dan kemudian langsung berhamburan meninggalkan halaman perguruan tersebut.

"Gimana Tuan Guru, apa yang hendak Tuan Guru Sabrang katakan kepada saya?"

"Eh, begini Dewa Ndaru, sebagai pengikut aliran ilmu hitam sudah semestinya apa yang kau ajarkan adalah tindakan-tindakan kejahatan," tutur Sabrang memulai pembicaraannya.

"Iya benar Tuan Guru," balas Dewa Ndaru sambil mengangguk pelan.

"Lalu untuk bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan kalian maka tindakan jahatlah yang harus kalian lakukan, termasuk dalam urusan memenuhi kebutuhan perut, maka merampoklah solusinya, dalam urusan syahwat maka memperkosalah caranya, juga dalam banyak hal lagi ... bagaimana Dewa Ndaru? Apakah semuanya itu telah kau ajarkan dan juga sudah kau lakukan?" tanya Sabrang sambil menatap wajah pria berwajah tampan dan brewokan itu.

"Sudah Tuan Guru, bahkan saat ini para murid-murid yang sedang saya tugaskan untuk pergi merampok pun pada belum kembali, mungkin tidak lama lagi mereka akan segera datang," jawab Dewa Ndaru yang langsung disusuli pertanyaan lagi oleh Sabrang.

"Lalu untuk urusan perempuan bagaimana?"

"Begini, kalau untuk masalah perempuan kebetulan saya masih memiliki banyak stok perempuan yang cantik-cantik dan masih muda-muda yang saya sekap di dalam sebuah ruangan khusus dan itu saya persiapkan untuk para murid-murid senior saja," terang Dewa Ndaru nampak begitu bangga.

"Bagus ... bagus sekali Dewa Ndaru, tapi kalau mengenai perempuan menurutku kamu itu terlalu baik, terlalu sopan, kurang garang, tidak sesuai dengan namamu Dewa Ndaru Pendiri Perguruan Padangkarautan, yang cukup terkenal itu," tutur Sabrang terdengar seperti ingkar.

"Terlalu baik terlalu sopan bagaimana maksud Tuan Guru? Jujur aku masih belum bisa mengerti," balas Dewa Ndaru terlihat bengong.

"Ya masak pendekar hitam kok punya istri cuma satu, sudah gitu tua lagi," sergah Sabrang. Memang benar apa yang diucapkan Sabrang bahwa Dewa Ndaru itu istrinya adalah seorang perempuan yang terbilang sudah berumur bila dibandingkan dengan dirinya.

"Yah ... paling tidak ambillah perempuan yang masih muda .. cantik .. barang tiga atau empat begitu hehehe ..."

"Hmmm ... begini Tuan Guru," ucap Dewa Ndaru nampak menoleh ke arah rumahnya, terlihat pendekar aliran ilmu hitam itu memperhatikan situasi, dan bukan tanpa alasan dia melakukan itu.

"Eh ..."

"Apa ... ada apa ...? Kenapa kamu kok clingak-clinguk terlihat ketakutan seperti itu ...?" tanya Sabrang mempertegas.

"Bukannya aku tidak mau mencari perempuan yang lebih muda dan cantik, tapi ..." lagi-lagi ucapan Dewa Ndaru tertahan.

"Tapi kenapa ...? Takut sama istrimu yang tua itu?" tegas tanya Sabrang terdengar seperti merendahkan.

"Benar Tuan," jawab Dewa Ndaru sambil menganggukkan kepalanya.

"Hahaha ... hahaha ... hahaha ...! Benar-benar lucu, benar-benar penakut!"

Rupanya jawaban jujur Dewa Ndaru itu benar-benar membuat Sabrang merasa geli, namun sebenarnya Sabrang tidaklah mengetahui alasan sebenarnya mengapa pendekar sekelas Dewa Ndaru itu bisa merasa takut hanya dengan seorang wanita yang tidak lain adalah istrinya sendiri.

"Begini Tuan, bukannya saya tidak ingin atau tergoda dengan wanita lain, akan tetapi itu sudah menjadi sumpah saya ketika mendapatkan kepercayaan dari mendiang mertua saya yaitu Ayahanda Dewa Branjangan yang tidak lain adalah pendiri Perguruan Padangkarautan ini, jadi saat itu ..." lalu mulailah Dewa Ndaru menceritakan masa lalunya.

"Heit jiak, jiak ...!"

Buks, baks, buks, baks ...

"Rasakan pukulanku ini bocah ingusan! Heyyaat ... heyaak!"

Dhuar ...!

"Uuah ...!"

"Mampus kau!"

"Tunggu ...! Tunggu dulu Ayah ..." teriak perempuan berambut keriting dan berkulit hitam yang tidak lain adalah Putri Dewa Branjangan yang bernama Luhjingga.

"Ada apa Luhjingga? Kenapa kau melarangku?" tanya Dewa Branjangan terlihat menarik kepalan tangannya yang sudah siap untuk dihantamkan ke dada Dewa Ndaru muda.

"Kemarilah Yah ... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ayah," balas Luhjingga sambil melambaikan tangannya, dan selanjutnya Dewa Branjangan pun segera melangkah mendekati Putrinya itu.

"Aku tertarik dengan pemuda itu," ujar Luhjingga berbisik pada sang Ayah Dewa Branjangan.

"Oh ... oh ... begitu," sahut Dewa Branjangan terlihat sambil mengangguk-angguk.

"Tapi dia telah berani mencelakai murid Ayah," balas Dewa Branjangan berkilah.

"Ya tapi ..." jawab Luhjingga tertahan dan kemudian langsung disahut oleh Dewa Branjangan.

"Ya sudah, kalau itu maumu, akan Ayah turuti."

Lalu kemudian Dewa Branjangan pun terlihat kembali melangkah mendekati Dewa Ndaru muda yang masih duduk sambil tangannya memegangi dadanya yang masih terasa sakit akibat mendapat pukulan keras dari Dewa Branjangan.

Bersambung ...