Sesuai berkata-kata begitu tiba-tiba saja muncullah seberkas sinar terang yang langsung menyambar tubuh Dewa angin dan kemudian langsung membawanya terbang melayang dan melesat menembus ruang hampa hingga sampai pada suatu tempat yang terlihat mengerikan, sontak saja sang dewa pun langsung meronta-ronta berusaha untuk melepaskan diri.
"Hei ...! Mau dibawa ke mana aku ini? Heh ... angin ... kenapa kau belenggu tubuhku seperti ini ...? Ayoh, lepaskan ...! Lepaskan aku ...!" teriak-teriak Dewa angin.
"Maafkan aku Dewa angin, mulai saat ini aku tidak bisa menuruti perintah darimu lagi, karena baru saja aku mendapatkan perintah dari Yang Widhi bahwa aku disuruh membawamu ke penjara langit, dan perlu kau ketahui .. bahwa mulai saat ini juga .. kau telah dibebastugaskan oleh Sang Hyang Widhi sebagai penjaga angin," ucap angin menerangkan tugas yang di embannya itu.
"Perintah Yang Widhi? Penjara langit? Hoh ... benarkah ini semua titah dari Yang Widhi Wasa? Dan untuk apakah aku dibawa ke penjara langit?"
"Benar, dengarlah Dewa angin karena tindakanmu tidak bisa menerima ketetapan dari Nya maka kau akan dihukum penjara untuk beberapa waktu yang aku sendiri tidak mengetahuinya."
"Oh ... Jagat Dewa Batara ... ampunilah kesalahan hamba ... berilah hamba kesempatan untuk bisa kembali mengabdi ... jangan timpakan hukuman pada diri hamba atas tindakan yang hamba dasari dengan sebuah perasaan cinta, yah ... cinta hamba pada sebuah kedamaian dan kebahagiaan, dan juga rasa tidak suka hamba pada sebuah kejahatan dan sebuah perbuatan dosa," ujar Dewa angin berusaha untuk melobi Yang Batara Agung, dan ternyata ratapannya itupun langsung dijawab oleh Yang Batara Agung saat itu juga.
"Dewa angin, aku terima tobat penyesalanmu itu ... akan tetapi pengabdian itu tidak selalu berbicara tentang perkara yang memiliki pemahaman secara umum saja, yang bisa difahami dengan tanpa perlu dihayati, namun adakalanya pengabdian itu hanya memerlukan sebuah kepasrahan secara total dengan tanpa adanya sebuah pertanyaan apalagi pengingkaran. Dewa angin ... adalah sebuah ketetapan yang memang harus aku lakukan, yaitu apabila ada yang berusaha mengingkari kehendakku, maka akan ada resiko yang harus ditanggungnya, dan kali ini adalah kau Dewa angin .. atas pengingkaranmu itu maka mulai saat itu juga, kau sudah aku bebas tugaskan sementara untuk menjadi Dewa angin dalam waktu yang sudah aku tentukan, dan tidak hanya itu Dewa angin .. ketahuilah, bahwa selain hukuman itu kau juga akan aku kenakan hukuman jantur."
Begitulah akhirnya Dewa angin pun langsung diseret dan kakinya diikat ke atas dengan kepala menggantung ke laut yang diberi nama laut mati, sebuah lautan gaib yang memiliki air berwarna merah kehitam-hitaman yang berada diantara dua tebing yang menyerupai sepasang tanduk sapi.
Sementara itu Sanjaya atau Sabrang nampak terus mengawasi pertarungan antara sepasang suami istri yaitu Dewa Ndaru dan Luhjingga, dua manusia yang bertahun-tahun hidup bersama dalam satu ikatan kasih kini nampak saling mengincar kelemahan masing-masing untuk saling menghabisi, tangis dan rintihan dari ketiga buah hatinya yaitu Rajasa, Rangsang dan Arum Sari sudah tidak mereka hiraukan lagi.
"Ibu ... Ayah ... sudahlah ... hentikan ...! Kenapa kalian berdua harus bertengkar ...? Kasihanilah kami ... hiks, hiks, hiks ..." begitu bunyi dari teriakan dan tangis Arum Sari, disela-sela tangis adiknya itu nampak Rajasa terlihat berbisik pada saudaranya Rangsang.
"Rangsang, siapakah sebenarnya pemuda itu? Kenapa Ayah terlihat begitu tunduk kepadanya?" tanya Rajasa.
"Entahlah Rajasa aku sendiri juga tidak tahu, tapi kalau dilihat dengan seksama rupanya sangat mirip dengan bocah yang kemarin sore itu," ungkap Rangsang.
"Maksudmu Sab .. Sab .. Sab siapa?" tanya balik Rajasa terlihat seperti lupa-lupa ingat.
"Sabrang," sahut Rangsang membenarkan.
"Yah benar, aku pun juga berpikir sama seperti itu, tapi tidak mungkin, lha wong Sabrang masih bocah sedangkan dia itu sudah dewasa, tapi kok ya bisa mirip banget ya?" ungkap Rajasa terlihat keheranan.
"Apa jangan-jangan dia itu Kakaknya?" tanya Rangsang.
"Bisa jadi, wah ... bisa gawat ini, orang tua kita saja bisa mereka tundukkan dengan mudah, bahkan mereka adu," timpal Rajasa terlihat begitu cemas.
"Apa tidak sebaiknya kita lihat ke gudang saja? Kita temui Sabrang," ujar Rangsang memberi usulan.
"Untuk apa?" tanya Rajasa.
"Ya kita minta tolong supaya dia meminta pada Kakaknya itu agar menghentikan pertarungan Ayah dan Ibu," terang Rangsang.
"Oh gitu ... ya udah mari kita temui Sabrang."
Sementara itu pertarungan antara Dewa Ndaru dan Luhjingga nampaknya masih terus berlangsung, bahkan setelah cukup lama waktu yang mereka lewati nampaknya belum ada tanda-tanda akan ada yang kalah atau menyerah, dan sepertinya Sabrang sendiri sudah mulai merasa bosen dengan pertunjukan yang dilihatnya itu.
"Heh, sebaiknya aku sudahi saja pertarungan ini, akan aku ambil alih saja posisi Dewa Ndaru, hep hiyyak ...!"
Wuss, wuss, wuss ...
Sabrang segera melompat ke udara, tubuhnya terlihat terbang mengitari Dewa Ndaru dan Luhjingga yang masih berjibaku untuk saling mencari kelemahan lawannya itu, tahu kalau Sabrang terbang di atasnya nampak Luhjingga menjadi marah lalu secara diam-diam pendekar wanita itu meraih senjata khususnya yaitu tusuk konde emas dan kemudian langsung melemparkannya ke arah Sabrang.
"Hup hiyyat!"
Wuss ... ssst.
"Aah ..."
Buks ...
Sungguh sebuah serangan yang sangat berkelas, melalui gerak dan waktu yang terbatas Luhjingga berhasil melesatkan senjata khususnya itu dan tepat mengenai mata Sabrang.
Tubuh Sabrang jatuh terjengkang ke belakang, mulut pemuda jelmaan Sanjaya itu terlihat menyeringai dan mendesis, darah segar nampak mengalir dari bola matanya yang masih tertancap oleh tusuk konde Luhjingga tersebut, wajah yang semula terlihat tampan kini telah berubah menjadi menyeramkan, karena banyak berlumuran darah.
Sementara itu sesaat setelah melihat Sabrang terluka nampak Dewa Ndaru menghentikan serangannya dan kemudian langsung mendekati pemuda sakti itu.
"Tuan Sabrang, apakah Tuan tidak apa-apa? Apakah Tuan merasakan sakit?" tanya Dewa Ndaru sambil berusaha membantu Sabrang untuk bangkit.
"Tidak, aku tidak apa-apa, aku tidak perlu kau bantu, menyingkirlah! Heh ...!" jawab Sabrang dengan diikuti suara eraman.
"Hahaha ... hahaha ... hahaha ...! Hei kau pemuda setan! Berlagak seperti orang hebat, ternyata cuma seperti itu kemampuanmu? Tubuhmu masih lunak dan lumer untuk berhadapan denganku!" ucap Luhjingga dengan lantangnya.
"Hahaha ... hahaha ... hemmm! Hei kau perempuan tua! Nampaknya kau cukup merasa senang bisa melakukan ini padaku, lihatlah apa yang kau lakukan ini tidak ada apa-apanya bagiku, bahkan meski seribu tusuk konde kau tancapkan sekaligus! Dengarlah kau perempuan tua! Saat ini juga, ingat baik-baik wajah anak-anakmu! Sebutlah nama para leluhurmu! Karena tidak lama lagi kau akan aku kirim menyusul mereka ke neraka!"
Usai berkata begitu Sabrang segera balik menghadap Dewa Ndaru dan langsung memanggilnya.
"Dewa Ndaru ...!"
Melihat tampilan Sabrang yang begitu menyeramkan Dewa Ndaru pun langsung menjawab dengan sedikit gemetaran.
"I, iya Tuan Sabrang, ada apa Tuan? A, a, apakah ada tugas yang Tuan berikan padaku?"
"Yah, ada, sekarang ambil senjatamu, dan bersiaplah untuk menghabisi nyawa nenek peot ini! tegas Sabrang sambil menunjuk pada Luhjingga.
Setelah itu nampak Sabrang kembali menatap Luhjingga, namun kali ini nampak ada yang beda dari tatapannya itu, mata Sabrang yang semula berlumuran darah dengan sebuah tusuk konde yang masih menancap, kini tiba-tiba berubah, darah dan tusuk konde itu lenyap seketika, dan selanjutnya dari kedua mata pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan sinar yang berwarna merah menyala dan kemudian menyorot tajam hingga mengenai dua bola mata Luhjingga, perempuan tua yang semula masih berdiri dengan kokoh itu, kini mulai terlihat lemah dan terhuyung-huyung hingga akhirnya roboh dengan posisi masih duduk.
"Ayo Dewa Ndaru! Cepat habisi perempuan iblis itu!" kembali Bojapradata menegaskan perintahnya.
Dengan tanpa berkata-kata lagi Dewa Ndaru pun langsung mencabut pedangnya dan ...
Sring ...!
"Hep ... hiyyat ...!"
Wesss ...!
Crot ... sorr ...
Kepala Luhjingga pun langsung putus dan menggelinding hanya dengan sekali tebas saja, darah segar menyembur dari ujung leher yang sudah tidak memiliki kepala itu, dan bersamaan dengan itu pula tiba-tiba terdengar suara jeritan bocah dari jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat tubuh Luhjingga itu roboh.
"Ibu ... ibu ... ibu ...!" suara teriakan bocah yang tidak lain adalah Arum Sari, bocah perempuan itu terlihat hendak berlari mendekati tubuh ibunya namun dengan sigap kedua Kakaknya yaitu Rangsang dan Rajasa langsung mencegahnya.
"Arum ... jangan! Kamu jangan mendekat!"
"Tidak Kakang, aku akan ikut ibu ... biarlah aku sekalian mati saja ... biarkan aku dibunuh oleh ayah! Ayah jahat ...! Hiks, hiks, hiks..." Arum Sari terus meronta-ronta berusaha untuk melepaskan dekapan dua Kakaknya itu hingga pada pada akhirnya dia mendapatkan kesempatan untuk menendang kemaluan kedua Kakaknya itu dengan menggunakan dengkulnya.
"Huh! Huh!"
Duks, duks ...
"Aauh ...!"
"Aauh ...!" Rangsang dan Rajasa mengerang kesakitan mereka terlihat tertunduk sambil memegangi kemaluannya masing-masing, lalu begitu terlepas Arum Sari langsung segera berlari mendekati tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa, gadis kecil itu menubruk jasad ibunya itu dan kemudian langsung menangis sejadi-jadinya, sementara itu Dewa Ndaru terlihat masih berdiri dengan sebilah pedang masih tergenggam erat ditangannya.