"Hahaha ... hahaha ... lucu kau Dewa Ndaru ... hahaha ... lucu sekali, sangat lucu sekali," kembali Sabrang menertawakan Dewa Ndaru.
"Dewa Ndaru," panggil Sabrang.
"Ya Tuan Sabrang, ada apa?" tanya balik Dewa Ndaru.
"Kalau aku perhatikan kau juga belum terlalu tua, dan rupamu juga tidak jelek, bagaimana kalau seandainya kau mencari perempuan yang lebih muda dan lebih cantik?" tanya Sabrang.
"Tidak Tuan, saya tidak berani," jawab Dewa Ndaru sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Goblok! Kamu tidak perlu takut! Soal perempuan tua itu biar aku yang menanganinya!"
'Benarkah Tuan Sabrang ini mau menanggungnya? Bukankah dia ini pengikut aliran ilmu hitam? Padahal kata Ayahanda Dewa Branjangan pendekar yang bisa mengalahkan kekuatan ilmu Warungkiara milikku adalah pendekar aliran putih ...? Hah ... aku kok jadi bingung,' ucap Dewa Ndaru dalam hati.
"Dewa Ndaru!" kembali Sabrang memanggil dengan suara membentak.
"Bagaimana dengan penawaranku tadi?"
"Eh ... begini Tuan Sabrang, sebelum aku menjawab, bolehkah saya bertanya terlebih dahulu?"
"Mau tanya apa Dewa Ndaru?"
"Sebenarnya Tuan Sabrang ini pengikut aliran ilmu hitam atau putih?" tanya Dewa Ndaru nampak begitu penasaran dengan pendekar yang ada di hadapannya itu.
"Dengar Dewa Ndaru, tidak penting kau mengetahui tentang diriku, apakah aku penganut aliran ilmu putih? Hitam? Apa ijo? Tidak penting! Ingat Dewa Ndaru, yang paling penting saat ini adalah ... pergilah mencari perempuan yang muda dan juga cantik dan segera kawini dia! Cari sebanyak-banyaknya."
"Tapi Tuan ..." kembali Dewa Ndaru terlihat seperti orang yang sedang ketakutan.
"Apalagi ...?" Sergah Sabrang terlihat begitu jengkel.
"Kakang ... Kakang ...!" Di tengah mereka berdua masih bercakap-cakap tiba-tiba terdengar seruan dari dalam rumah Dewa Ndaru, dan tidak lama kemudian keluarlah seorang wanita setengah baya dengan diikuti tiga bocah yang kemudian langsung berdiri berjajar di sampingnya.
"Dari tadi kamu cuma ngobrol tidak jelas seperti itu?! Siapa pemuda itu?!" tanya istri Dewa Ndaru dengan mata melotot.
"Hmmm ..." nampak Sabrang tersenyum sinis melihat sikap Luhjingga istri dari Dewa Ndaru tersebut.
"Heh anak muda! Apa maksudmu mengajak ngobrol suamiku?! Apa kau ingin menjadi murid di Padangkarautan ini?! Dasar tidak sopan!" sahut Luhjingga dengan suara cerewetnya. Melihat hal itu Sabrang pun tidak tahan dan akhirnya berucap.
"Hoh ... Dewa Ndaru ... Dewa Ndaru, sungguh malang nasibmu, punya istri kayak Genderuwo kehilangan anaknya, sudah wajahnya menyeramkan, mulutnya cerewet!" timpal Sabrang terdengar mengejek Luhjingga.
"Heh, bocah brengsek! Siapa kau ini?! Berani-beraninya mulutmu lancang seperti itu! Apa kau sudah bosan hidup?! Dan bermaksud menyerahkan nyawamu kemari?! Ayo Dewa Ndaru bunuh bocah ingusan itu dan bakar dia hidup-hidup!" sahut Luhjingga terlihat geram, namun sepertinya Dewa Ndaru hanya terdiam saja, dia tidak memperdulikan ucapan dari istrinya itu.
"Dewa Ndaru! Apa telingamu tuli?! Hajar pemuda itu! Jangan sampai membuat aku jadi marah!"
"Heh perempuan setan! Apakah mulutmu tidak takut bertambah jontor kau buat marah-marah terus seperti itu? Dewa Ndaru sekarang sudah ada dalam kendaliku, dia sekarang sudah tidak bisa kau suruh-suruh lagi," ujar Sabrang dengan santainya sembari mensedekapkan dua tangannya.
"Apa kau bilang?!" tanya Luhjingga dengan mata melotot, nampak mulutnya menggerutu menahan amarah.
"Siapa kau sebenarnya anak muda?" kembali Luhjingga bertanya pada Sabrang, namun kali ini suaranya terdengar sedikit melandai.
"Tidak penting kau mengetahui siapa aku, yang jelas aku bukanlah lelaki yang dengan mudah bisa kau suruh-suruh."
'Kurang ajar! Siapa sebenarnya pemuda ini? Pasti dia bukanlah orang sembarangan, dan kenapa tiba-tiba Dewa Ndaru bisa menjadi bodoh seperti itu? Apa benar dia sudah dalam kendali pemuda itu? Hoh, mungkinkah pemuda itu mampu menundukkan kekuatan ajian Warungkiara peninggalan Ayahanda Dewa Ndaru?' ucap batin Luhjingga bertanya-tanya.
"Heh kau perempuan tua! Sekarang sudah saatnya Dewa Ndaru suamimu mendapatkan kesempatan untuk mencicipi perempuan yang cantik-cantik dan masih muda-muda, dengar kau perempuan tua! Waktumu sudah habis," ucapan Sabrang amat memanaskan telinga Luhjingga, wajah wanita setengah baya itu seketika berubah menjadi hitam kemerah-merahan, darahnya mendidih dan amarahnya memuncak.
"Biadab! Aku sekarang tidak perduli siapa kau sebenarnya! Sehebat apapun dan setinggi apapun ilmu kesaktianmu, aku tidak takut! Ayo majulah hadapi aku! Pantang bagi Luhjingga Putri Dewa Branjangan untuk menyerah begitu saja! Apalagi pada anak ingusan seperti kau! Juih!" teriakan dan umpatan Luhjingga terdengar nyaring memekakkan telinga.
"Hei kau perempuan tua, pantang bagiku untuk meladeni seorang nenek-nenek yang sudah bau tanah, biarlah Dewa Ndaru yang akan meladenimu, jadi kalau kau kalah biarlah kau tewas di tangan suamimu sendiri," seru Sabrang dengan santainya, dan lagi-lagi ucapan pemuda perwujudan dari Sanjaya itu semakin membuat Luhjingga menjadi sangat marah.
"Keparat kau bocah ingusan ...! Aku tidak perduli apakah kau titisan dewa atau iblis! Akan kupenggal kepalamu! Hiyyaait ... hiyyak, hiyyak!"
"Dewa Ndaru! Majulah! Hadapi istrimu!" seru Sabrang sembari menghindari serangan Luhjingga dengan melompat ke samping, sementara itu Dewa Ndaru yang memang sudah berada dalam kendali Sabrang juga langsung melompat dan menyerang istrinya Luhjingga.
"Heyyak ...!"
Dengan tanpa berkata apa-apa Dewa Ndaru terlihat menyerang Luhjingga dengan gencarnya, namun rupanya wanita tua itu bukanlah wanita sembarangan yang mudah untuk ditaklukkan, mendapat serangan yang dilancarkan oleh suaminya itu Luhjingga juga bisa dengan mudah untuk menghindari dan bahkan ketika Dewa Ndaru baru saja melancarkan sebuah tendangan yang hendak disarangkannya pada dada Luhjingga maka saat itu juga wanita yang nampak sudah bisa membaca serangan yang dibangun oleh suaminya itu juga langsung melakukan lompatan dan menendangkan kakinya dengan sekuat-kuatnya.
"Hiyyaait ... hiyyat ...!"
"Houp hiyyak ...!"
Kedua tubuh sepasang suami istri yang kini tengah beradu ilmu kesaktian itupun terbang kira-kira sepuluh tombak dari tanah dan kemudian saling beradu di udara.
Bough ...!
Dhuar ...!