"Tapi dia telah berani mencelakai murid Ayah," balas Dewa Branjangan berkilah.
"Ya tapi ..." jawab Luhjingga tertahan dan kemudian langsung disahut oleh Dewa Branjangan.
"Ya sudah, kalau itu maumu, akan Ayah turuti."
Lalu kemudian Dewa Branjangan pun terlihat kembali melangkah mendekati Dewa Ndaru muda yang masih duduk sambil tangannya memegangi dadanya yang masih terasa sakit akibat mendapat pukulan keras dari Dewa Branjangan.
"Heh anak muda!" panggil Dewa Branjangan.
"Iya Tuan, a, a, ampuni saya Tuan," jawab Dewa Ndaru muda terlihat ketakutan.
"Yah, kau memang aku ampuni, dan kau beruntung, meskipun kau telah membunuh dua muridku tapi rupanya Putriku Luhjingga tertarik padamu, dan itu artinya kau harus mau menjadi suaminya," tutur Dewa Branjangan terdengar sangat mengagetkan bagi Dewa Ndaru muda.
"Apa Tuan! Putri Tuan menginginkan saya?" tanya Dewa Ndaru muda sambil berusaha untuk duduk.
"Yah benar, dan ingat! Aku tidak ingin mendengar ucapan darimu selain ucapan setuju, dengar itu!" ucap Dewa Branjangan nampak mengancam, mendengar ucapan seperti itu Dewa Ndaru muda terlihat diam sambil menoleh dan memperhatikan Putri Dewa Branjangan Luhjingga beberapa saat, dan Luhjingga terlihat melemparkan senyum pada Dewa Ndaru muda.
'Heh ... bagaimana ini ... masak iya aku harus menikah dengan perempuan kayak gini? Tidak cantik, kulitnya hitam, rambutnya keriting lagi ...' keluh Dewa Ndaru muda dalam hatinya.
"Gimana Ndaru, bersediakah kau menjadi suami Putriku Luhjingga?" kembali Dewa Branjangan mengulangi pertanyaannya.
"Baiklah Gusti Dewa Branjangan, saya siap untuk menjadi suami Putriku Tuan, Luhjingga," jawab Dewa Ndaru muda terdengar cukup tegas meskipun dalam hatinya masih terasa berat, tapi nyatanya dia sangat mampu menutupi perasaannya itu.
"Bagus, kalau begitu tidak perlu nunggu lama-lama, malam ini juga kau akan aku nikahkan dengan Putriku Luhjingga, tapi ingat! Kau harus bersumpah terlebih dulu kepadaku bahwa kau akan selalu setia dan selalu menyayangi Putriku sampai kapanpun. Jangan sekali-kali berusaha untuk menghianatinya! Karena kalau sampai kau berani menghianatinya maka tubuhmu akan rusak dengan sendiri. Camkan itu!" pesan Dewa Branjangan terdengar memberi ancaman.
Lalu kemudian nampak pria setengah baya itu berjalan masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama kemudian keluar kembali dengan membawa sebuah bungkusan kecil.
"Ndaru," panggil Dewa Branjangan.
"Iya Tuan Dewa Branjangan."
"Akhirnya saat yang aku nanti-nantikan tiba juga, dengarlah Ndaru ... akulah yang mendirikan Perguruan Padangkarautan ini, dengan susah payah aku dan mendiang istriku mengajarkan kesaktian aliran ilmu hitam pada murid-murid, dan perlu kau ketahui bahwa aku tidak memiliki seorang anak selain Luhjingga, padahal untuk meneruskan Perguruan Padangkarautan ini bukanlah sebuah tugas yang ringan yang bisa aku emban kan pada sembarang orang termasuk kepadanya," terang Dewa Branjangan sambil menoleh pada Luhjingga.
"Hoh ... pada hari ini rupanya Dewa iblis telah mengabulkan permintaanku untuk bisa mendapatkan seseorang yang bisa aku tunjuk menjadi penerus Perguruan Padangkarautan ini, dan itu adalah kau Ndaru! Jadi nanti setelah kau sudah menjadi istri Luhjingga maka tugas untuk meneruskan Perguruan Padangkarautan ini akan aku serahkan padamu, dan kamu tidak perlu khawatir dengan kemampuan yang kau miliki, karena aku sudah menyiapkan sebuah keris pusaka yang akan aku tanamkan dalam tubuhmu, lihatlah ini."
Lalu kemudian Dewa Branjangan pun segera membuka bungkusan yang berwarna putih itu dan kemudian langsung membukanya.
"Ndaru, ini adalah keris pusaka yang aku katakan tadi, keris inilah yang nanti aku tanamkan dalam tubuhmu beserta warangkanya, dan juga keris inilah yang akan menjadi sumber kekuatanmu nantinya, selama keris pusaka ini ada padamu maka selama itu pula tidak akan ada pendekar yang bisa mengalahkanmu, kecuali ... pendekar aliran putih yang menjadi titisan para Dewa."
"Baiklah Tuan Dewa Branjangan saya siap untuk menerima keris pusaka itu."
"Bagus kalau begitu bersiaplah, aku akan memasukkan keris pusaka ini ke dalam tubuhmu."
Lalu Dewa Branjangan pun menggenggam keris berukuran kecil itu dan kemudian ditempelkannya pada dada Dewa Ndaru muda, nampak mulut Dewa Branjangan komat-kamit membaca sebuah mantra.
"Bersiaplah Ndaru, hep!"
Tiba-tiba saja dari tangan Dewa Branjangan yang ditempelkan ke dada Dewa Ndaru muda itu mengepul asap berwarna kuning keemasan dan bersamaan dengan itu pula tiba-tiba keris pusaka itu pun lenyap.
"Uah ...!"
Dewa Ndaru muda nampak mengerang kesakitan, namun setelah beberapa saat keadaan pun terlihat kembali normal.
"Nah Ndaru, mulai saat ini kau sudah memiliki kesaktian keris Warungkiara, ilmu yang sulit untuk dicari tandingannya, dan apabila dikemudian kelak kau bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kesaktian di atasmu, maka jangan sungkan-sungkan untuk tunduk dan patuh menjadi pengikutnya, karena dialah titisan Dewa itu."
"Apakah dia itu titisan para Dewa aliran putih?" tanya Dewa Ndaru muda.
"Benar, karena hanya kekuatan Dewa putihlah yang bisa mengalahkan kekuatan ilmu Warungkiara ini." Sesaat kemudian nampak Dewa Ndaru muda merapatkan bibirnya, pemuda itu terlihat manggut-manggut seperti sedang berusaha untuk memahami sesuatu.
"Apakah dengan begitu aku akan menjadi pengikut aliran ilmu putih Tuan Dewa Branjangan?"
Mendengar pertanyaan seperti itu nampak Dewa Branjangan tidak segera menjawab, pria setengah baya itu nampak terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
'Hoh ... aneh, kenapa Tuan Dewa Branjangan tidak menjawab pertanyaanku? Mungkinkah kelak aku akan berubah menjadi pengikut aliran ilmu putih? Ah entahlah, aku tidak memikirkan hal itu, yang penting saat ini aku bisa selamat, dan aku harus berusaha untuk bisa mencintai Luhjingga sebagai istriku, karena kalau tidak maka aku bisa celaka,' tutur Dewa Ndaru muda dalam hatinya.
"Ndaru," kembali Dewa Branjangan memanggil calon menantunya itu.
"Ia Tuan Dewa Branjangan."
"Karena kau sudah menjadi pewaris ilmu kekuatanku .. maka mulai saat ini namamu aku beri tambahan Dewa, sama seperti namaku, jadi sekarang namamu berubah menjadi Dewa Ndaru."
"Jadi begitulah ceritanya Tuan, sekali lagi bukannya saya tidak suka dengan perempuan yang cantik dan muda, tapi aku takut dengan kutukan dari mendiang Ayah istriku Dewa Branjangan," ujar Dewa Ndaru terlihat sangat begitu pasrah dengan keadaannya.