Kana nyaris tak pernah melihat Feri marah, apalagi kepadanya selama ini. Namun sahabatnya itu sungguh-sungguh terbakar emosi kali ini. Wajah kalemnya yang berkacamata tampak memerah. Raut tenang seperti danau hilang seketika, dan Kana didekap begitu erat hingga hangatnya menyebar seperti biasa kepadanya.
"Tapi aku—"
"Pokoknya itu omongan yang enggak bener!"
Kana yakin seragam Feri di bagian bahu sudah basah oleh air matanya juga saat ini.
"Aku enggak peduli ya, orang lain mau bilang apa soal kamu. Tapi, Kana… kamu itu lebih dari yang kamu tahu," kata Feri, tak ada kebohongan yang terasa dari kata-katanya. "Kamu cuma harus percaya diri sedikit lagi, seenggaknya sama kemampuan kamu. Kalo ada yang lebih hebat, itu udah biasa. Ngerti? Dikalahin enggak papa. Sakit hati enggak papa. Tapi kalo putus asa sepenuhnya, aku enggak bisa terima—"
Kata-kata Feri selanjutnya tak sanggup lagi Kana dengar. Dia meremas punggung Feri seperti akan mencakar, dan Feri tak memprotes melainkan semakin erat memeluk. Cowok itu menguatkannya seperti biasa. Dan Kana benar-benar ingin memukul kepalanya karena Feri bahkan bisa bilang begitu setelah menyerah dengan cintanya sendiri ke Rara.
"Kamu bener-bener bodoh…" kata Kana. "Kamu bilang kayak gitu tapi kamu sendiri ngelakuinnya."
DEG
Feri pun menggeleng keras meskipun dia tahu apa yang Kana maksud. "Aku enggak bilang nyerah samasekali," katanya. "Aku cinta Rara, always. She's the most special for me, dan akan begitu selamanya. Tapi aku enggak mau stuck apalagi setelah tahu dia udah bahagia sekarang."
Setelah pelukan itu terlepas, Kana pun mengucek matanya dan memandang keteguhan di wajah Feri. "Kamu aneh…" katanya dengan suara serak. "Bagaimana bisa kayak gitu? Kamu bikin aku bingung sekali…"
Feri justru tersenyum lembut dan ikut menyeka air mata Kana kali ini. Jari-jari kukuhnya mengusap, dan tak dapat dipungkiri dia sangat suka saat pipi kenyal itu memerah tipis tiap kali dia menyentuh. "Iya, aku aja bingung apalagi kamu," katanya dengan kekehan kecil. "Tapi siapa tahu kan? Aku bisa nemu yang lain lagi meskipun itu masih sangat lama? Lagian aku baru SMA. Dan kehidupan cinta monyet itu—kamu tahu? Berapa banyak yang bisa bertahan setelah kita lulus sekolah nanti?"
Kana pun tercenung mendengarnya.
"Maybe Rara cuma jadi cinta pertamaku selamanya, Kan," kata Feri. "Dia indah, tapi bukan yang terakhir. So, please… cheer up. Kamu harus kayak gitu juga suatu saat."
"…"
Feri mengendikkan bahu buru-buru. "I mean—mencoba fokus ke hal yang lebih penting seperti belajar dan kelulusan?" katanya. "Kita udah 18 dan sebentar lagi akan ujian nasional."
Kana pun memandang lukisan wajah Arial di belakang punggung Feri, lalu Feri ikut menoleh ke sana.
"Ughh…"
"See? Kayak Arial juga. Dia dapetin Rara tapi nggak kalah struggle sama kita," kata Feri dengan nada mengalun lembut. Kana pun memandang ekspresi teguh di wajah itu. "Dia bintang pelajar sekolah, dibebani lomba drama kelas tinggi, dan pacaran sama Rara di waktu-waktu krusial kayak gini. Aku enggak tahu jelasnya, tapi nilai fisikanya kemarin agak turun dan aku bahkan bisa lebih dari dia."
DEG
"Apa?"
Feri mengendikkan bahu lagi dan memandang Kana. "Yeah? Aku nggak sengaja lihat LJK-nya saat di kantor dipanggil Papamu," katanya. "Ada angin, dan aku mungutin dokumen yang jatuh. Kamu tahu nilainya berapa? Hanya cukup KKM, Kan. Dan lebih nggak nyangka lagi aku sempurna 100—ehem…"
Perut Kana pun geli melihat Feri berdehem segan. "Really?" tanyanya.
"Aku nggak mau ulangi lagi," kata Feri dengan pipi merona tipis.
Astaga, menggemaskan.
"Hahaha…" tawa Kana. Dia sadar sahabatnya ini punya sisi yang memesona juga dari sifat lucunya itu. Dan Feri… cowok itu membuang muka saat Kana semakin tergelak dan menepuk-nepuk bahunya tanpa terkendali. Terlalu senang. Dan syukurlah…
Feri benar-benar bahagia saat melihat air muka cerah itu. Potret mereka berdua yang berdiri terpampang di cermin setinggi badan yang terpasang di dinding kamar, dan dia mendadak tersadar betapa cantiknya mereka saat bersama seperti sekarang.
{Ah, si goblok! Kamu ngapain murungin Rara sih? Galau cinta? Asdfghjkl! Kenapa nggak serempet aja sobat cantikmu itu—siapa namanya? Kana? Hidungnya bahkan lebih mancung daripada cewek Arial meskipun mereka sama-sama cantik}
Feri tak berkedip memandang pantualan itu saat mengingat kata-kata sepupunya. Namanya Lina. Masih 1 tahun lebih muda darinya, tapi kalau soal pacar… Lina memang lebih berpengalaman. Gadis itu berkulit sawo matang. Tidak terlalu cantik, tapi manis dan atraktif di mata cowok mana pun yang suka keeksotisan.
Saat Lina berkunjung ke rumahnya untuk minta bantuan soal-soal Biologi, gadis itu tahu Feri baru saja patah hati. Dan gilanya, dia tanpa sungkan menghabisi Feri dan memojokannya dengan kata-kata lain juga.
{Kakak ih. Naif banget. Aku yang cewek aja suka mantengin si Kana ini, kenapa malah disia-siain? Coba aku cowok, pasti bakal kutembak langsung—}
Pikiran-pikiran itu mendadak terdistraksi saat Feri melihat Kana mencopoti foto-foto Arial dari dinding kamarnya.
"Ini sepertinya harus kutaruh di kotak khusus biar enak buangnya," kata Kana. Entah sejak kapan gadis itu mondar-mandir untuk mencari kotak kado kosong cukup besar dari lemari barangnya. Lalu memasukkan potret-potret Arial ke dalam sana. "Umn, tapi yang lukisan mungkin harus ditempatin ke kotak yang berbeda—"
"Kana?"
Kana pun menoleh mendadak. "Hm?" di tangan mungil gadis itu ada tumpukan foto polaroid yang baru saja dipereteli dari kabel lampu tumblr-nya.
"Kamu, kenapa lepasin semuanya?" tanya Feri. Entah kenapa mendadak telapak tangannya berkeringat dingin.
"Ya… um… untuk belajar move on kayak kamu?" kata Kana. Lalu tersenyum cantik. "Kamu bener, Fer. Enggak ada gunanya aku bersifat menyedihkan kayak gini. Dan, kalau mau ngelupain, step pertama tentunya harus copotin semua foto ini kan?"
Itu memang langkah yang benar, tapi kan—
"Eh?" bingung Kana saat tangannya mendadak dipegangi saat akan memereteli foto lagi. "Kenapa?"
Feri juga tak tahu mengapa, tapi dadanya benar-benar merasa hangat saat gadis ini mengatakan semua itu. Melupakan. Melepaskan. Dan akan menghapus bayang-bayang Arial dari hatinya—
Rasanya puas.
Padahal Feri harusnya tak perlu merasa seperti itu. Maksudnya, sebagai sahabat—bukankah dia lebih berturut sedih saat melihat Kana patah hati sekarang?
"Aku… aku hanya…"
Feri kebingungan, tapi dia tak ingin melepaskan tangan itu.
Kana lebih kebingungan lagi. Dia menyentuh bahu kanan Feri dengan lembut karena khawatir. "Hei, Fer? Kamu baik-baik saja?"
Feri menatap tangan putih mungil nan kemerahan yang digenggamnya. Lina benar, gadis ini sangat menarik. Hanya cowok tolol yang menyia-nyiakannya selama ini padahal sudah sangat dekat—
"Aku… b-bisa lepas fotonya nanti saja?" tanya Feri. Spontan. Impulsif. Dan dadanya makin panas saja saat dia mengambil langkah besar itu.
"Tunggu—kenapa?"
Bola mata besar Kana mengerjap pelan. Ah, bola mata yang makin cantik setelah basah oleh air mata. Dan Feri harusnya tak melepaskan gadis ini sejak lama mereka mulai menjadi sahabat—
"Boleh… boleh aku cium kamu?"