Bohong bila jantung Kana tidak berlompatan mendengar kalimat itu. Dia kaku. Terdiam di tempat hingga Feri salah tingkah parah, namun sahabatnya itu segera menjelaskan apapun yang melintas di dalam kepalanya sebelum membikin salah paham fatal.
"Ah, maksudku. Aku mendadak mikir hal-hal yang sangat bodoh," kata Feri. Cowok itu menggenggam Kana dengan suhu telapak yang semakin dingin. "Like, kamu bilang kesel… kalo cewek tadi ngomong kamu nggak menarik buat aku cuma karena judes—seriously, no. Aku nggak pernah mikir kamu nggak menarik. But, take it easy… haha… umn… aku refleks aja pengen cium kamu."
Feri segera melepas tangan Kana karena keringatnya semakin basah. Dia juga tak ingin meninggalkan jejak merah di pergelangan tangan kecilnya hanya karena menggenggam terlalu erat.
"Ah, sorry. Don't mind. Anggep aku enggak pernah bilang apa-apa, oke? Lupain aja—"
Feri tak sanggup berkata lagi entah kenapa.
Kana memandang fitur tubuh sahabatnya yang gugup, namun masih mencoba bertahan di tempat itu karena keteguhan bisa dikenalinya.
Kalau ditanya dengan cara yang sama. Kana pun begitu kepada Feri. Dia mungkin tak berdebar hebat kepada sahabatnya seperti saat menghadapi Arial. Namun dirinya juga tak memungkiri kalau Feri bukan tak menarik. Cowok itu sangat hafal Kana, mengerti dirinya lebih dari siapa pun, dan tetap memperlakukannya dengan istimewa bahkan saat marah seperti barusan. Dia juga tampan, meski Kana kurang suka penampilannya yang berkacamata, tapi—
"…Tunggu, Kana?"
Feri mundur, Kana justru mendekat dengan beberapa foto polaroid yang berjatuhan dari tangannya. "Wait, bisa diem sebentar?" pintanya, mendadak juga mulai gugup, tapi tangannya tetap mulus saat melepas kacamata Feri pelan-pelan dari si empunya. "Aku dari dulu penasaran muka kamu kalo nggak pake ini—"
DEG
"Apa?"
Kacamata sudah terlepas, dan Feri pun langsung menyipit karena min 3 dan sebelahnya silinder. Dia tidak kuat cahaya balkon dari sayup-sayup menelusup. Kedua matanya mengerjap karena nyaris tak pernah melepaskan benda itu (kecuali saat mandi dan tidur) dan baru bisa melihat dengan jelas saat Kana memblokadi cahaya dengan tubuhnya.
Gadis itu tampak terperangah dalam diam. Dia juga mengerjap seperti Feri beberapa saat lalu, dan merasa bodoh seketika kenapa selama ini tak menyadarinya.
Ah! Berapa tahun mereka bersahabat begitu dekat? Mengapa Kana tak pernah terpikir mengusilinya untuk melepas optik menyebalkan ini?
Feri bahkan…
Ugh…
Kini Kana benar-benar bingung cowok itu lebih tampan mana bila dibandingkan dengan Arial.
"—Kamu tahu, aku enggak mungkin pura-pura enggak denger soal barusan," kata Kana. Tetap tenang, namun degub dadanya tak lebih ribut dari milik Feri sendiri saat ini. "…Tapi kalo kamu maksa. Aku enggak tahu harus gimana—karena… hal seperti itu… kamu pikir aku bisa lupa gitu aja?"
Tolol. Feri tahu. Tentu saja tidak mungkin.
Feri pun menyentu bahu Kana lembut. "Mn, yeah… aku minta maaf," katanya. "Biasanya enggak begini, tapi… aku kurang suka aja kalo kamu dikatain kayak gitu. Soalnya aku udah tahu kamu. Kamu enggak seperti yang dia kira."
"Lalu?"
"L-Lalu?" Feri gagal fokus karena bibir Kana sedekat itu. Demi apa pun. Meskipun minus, bila kau melihat objek itu sangat lekat hampir ke wajahmu… tetap saja itu bisa terlihat begitu jelas. "Ah… aku… aku tapi enggak maksa kamu juga. Maksudku, kalo enggak suka. Anggep aja aku salah ngomong, Kana—"
Kana mencengkeram tengkuk Feri gugup, tapi dia tak mengambil inisiatif lebih dari itu. Dia memandang. Dia menunggu, hingga Feri mengatur nafasnya sendiri, lebih tenang setelah beberapa saat, namun dia mendadak mendesis kesal dengan diri sendiri.
"Sorry, Kana. Kamu bisa pukul aku setelah ini—"
Kana tidak pernah berharap Feri sungguhan meraup bibirnya. Gadis itu terbelalak. Basah lembut lain menyatu dengan miliknya, dan cowok itu balas meraih tengkuknya agar mereka bertaut semakin dalam.
Tidak ada yang memejamkan mata. Feri hanya berkedip-kedip saat mengawasi perubahan ekspresi wajah Kana, tampak gugup namun juga penasaran, dia tak bisa berhenti dengan begitu mudah.
Mungkin karena selama ini tak pernah berciuman secara langsung. Feri sering penasaran bagaimana rasanya bibir ranum seorang gadis bila melihat film di waktu senggang. Di sana, tokoh protagonis pria selalu gentleman mengendalikan. Mereka memeluk pinggang pasangannya, memulas pipi kenyalnya, dan hanya memberikan jeda sebentar sebelum mencium lagi dan lagi.
"Umnhh…"
Kana kelabakan mengambil nafas namun hanya sebentar langsung tercuri lagi. Dia akhirnya jadi pihak pertama yang memejamkan mata, menikamati fantasy Feri yang dipraktikkan padanya, dan meremas bahu sahabatnya itu saat diajak beradu lidah. Ahh… syaraf-syaraf sensitif di bibirnya semua bergetar karena sentuhan tersebut. Ini nikmat. Dia tak pernah membayangkan ciuman akan segila ini meski dilakukan dengan sahabatmu sendiri.
Kana yakin Feri amatiran karena beberapa kali terlihat ragu menyentuh bagian mana dari bibirnya, namun sahabatnya itu tak bisa disepelekan. Sentuhannya presisi. Dia bernyali besar untuk mencoba sesuatu, bahkan tak cukup untuk menciumnya beberapa kali saja.
Seperti binatang buas yang selama ini dikunci dalam kerangkeng, sahabatnya itu mendorong. Pelan, hingga dirinya berjalan ke belakang terseok-seok hingga sungguhan jatuh di atas ranjang sebelum ditimpa lengkap dengan lumatan rakus yang lain.
"Ahhh… nnnghh…"
Kana meremas seprai ranjangnya kali ini. Dia terengah-engah, mata berkerlap basah karena adrenalin menggila, dan menggigit bibir kala lehernya ikut digerus dengan gigi.
Isi kepalanya jungkir balik. Atap kamar jadi lantai. Lantai jadi atap kamar. Dan dia menatap Feri gemetaran setelah sahabatnya itu meninggalkan dua tanda di bagian tengah dan ceruk—
"Kana…?"
Ternyata, Feri tak kalah gugup dengan dirinya. Sahabatnya itu terengah tak karuan, berkeringat di bagian pelipis, dan tampak takut sembari menyentuh pipi merahnya.
"A-Are you okay?" tanyanya cemas. Matanya mendadak berkaca-kaca. "Sorry aku—kelepasan. Umn… aku nggak tahu ciuman rasanya begitu—ah… kamu gadis pertama yang buat aku jadi—"
Kana masih bingung, tapi dia tersenyum kecil melihat seberapa panik Feri saat ini. Ronanya makin memerah, dan dia balas meraih pipi cowok itu perlahan. "Jangan khawatir, aku juga pertama kali sama kamu…" katanya. Meski setelah itu tak berani menatap lebih lama ke mata Feri yang ternyata begitu tajam bila sedekat ini. "Tapi, aku enggak bakal pukul kamu kok. Haha… serius sekali. Aku enggak apa-apa."
Feri tampak ingin menangis. Kana sampai gemas sendiri kepadanya. Siapa yang sangka bila sahabatnya ini sosok yang lembut juga kepada wanita? Walau mungkin, yeah… dia tak bisa dibilang lembut saat sudah menyentuh—ehem…
"Udah-udah… I think it's not that bad," kata Kana. Dadanya masih memiliki ketukan-ketukan sisa gugup beberapa saat lalu, dan dia mengelus pipi lembut cowok itu dengan jemari. "So, kamu nggak perlu takut begini… hahaha…"
Feri pun mendekap gadis itu ke dalam pelukannya yang paling aman. Dia ambruk, dan meskipun hal ini bukan sesuatu yang baru untuk mereka berdua, namun setelah berciuman seperti barusan… segalanya jadi terlihat berbeda.