Sejak dulu Feri tidak percaya bila cowok dan cewek tidak bisa bersahabat saja. Karena Kana memang seseorang yang istimewa. Gadis itu mungkin tidak menempati ruang yang sama dengan Rara. Dia tidak membuatnya ingin memiliki atau semacamnya, namun bersamanya… rasanya memang yang terbaik yang pernah dia jalani.
Seperti hari ini, gadis itu sering membuat orang lain salah paham. Namun Feri, dia rasa tidak bisa melepaskan begitu saja hanya karena pendapat mereka. Dia tulus peduli kepadanya. Yang meskipun berasal keluarga yang lebih berada, dia tak malu bersama Feri, mendukungnya di dalam hal apapun, dan bahkan berani memarahi balik ayahnya yang pernah melarang untuk pulang telat demi merayakan ulang tahunnya.
Ahh… lalu bagaimana sekarang?
Gadis itu bahkan merona lebih ranum daripada biasanya saat dia menatap, dan tidak menolak dikecup lagi dan lagi. Matanya memancarkan sinar lembut. Yang dalam mimpi-mimpi basah, dia pernah membayangkan milik Rara seperti itu—namun kepada gadis ini yang tersisa adalah kekaguman dan sayang.
Mungkin belum cinta, tapi Feri rasa… bila luka hati mereka sama-sama menghilang suatu hari nanti, hal itu mungkin bisa saja terjadi.
"Kana, aku… aku takut nggak bisa berhenti," kata Feri. Dia berhenti mengecup bibir mungil kemerahan itu dan memblokade miliknya sendiri dengan punggung tangan. Mereka masih saling menatap, namun Kana jusru menyingkirkan tangan itu dan membalasnya dengan kecupan lembut yang lain.
Feri pun bingung, namun dia menyambut tubuh Kana dengan pelukan yang pas hingga gadis itu terbaring nyaman di dadanya. Sembari berciuman kembali, seprai di bawah tubuh mereka sudah tidak berbentuk, dan Feri tak bisa berpikir lurus dengan mudah saat menghirup aroma seluruh kamar ini yang seperti Kana. Tentu saja, karena gadis itu lah pemiliknya. Dan—demi tuhan!
Feri tidak pernah memandang dada lembut di balik gaun selutut itu dengan nafsu hingga hari ini—
"Oke, stop…" Feri memijit keningnya meski tetap mendekap Kana dengan begitu lembut. Dia menatap wajah Kana, langit-langit kamar, lalu dirinya sendiri saat sudah duduk tegak melalui cermin. "Aku… aku beneran bisa lepas kendali," katanya dengan suara serak. Tapi juga tersenyum tipis saat mendekati sahabatnya itu untuk meninggalkan kecupan terakhir di kening.
Kecupan yang teramat lama dan dalam.
"Feri?"
Senyum Feri semakin merekah lembut. "Aku harus pulang sekarang, tenangin diri, dan besok kita bicara lagi kalo situasinya udah nggak kayak gini," katanya. Sangat terlihat polos, namun tahu apa yang dia harus lakukan kepada puteri kepala sekolahnya sendiri itu.
Kana tetap di tempatnya, menaut jari dengan cowok itu dan mengangguk pelan. "Oke."
"Kamu jangan tersinggung atau apa ya," kata Feri. "Aku—enggak bermaksud main pergi setelah cium kamu barusan—" dia berdehem karena kata 'cium' saja tentu tidak cukup untuk menggambarkan apa yang mereka lakukan berdua. "Tapi, of course it's the best we could do. D-Dan, umn… karena udah kayak gini. Maybe nggak buruk kalo kita pacaran beneran. Maksudku, well… kita enggak mungkin kayak dulu lagi. But, I don't force you. Kamu pikirin aja baik-baik. Apa aku ini… bisa di posisi itu lebih baik daripada sekedar jadi sahabat aja."
Kana menyimak baik-baik perkataan Feri.
"Tapi kalo menurut kamu sebaliknya, aku akan tetap berusaha jadi sahabat terbaik kamu kayak biasanya," imbuh Feri. "Kita jalanin bareng-bareng semuanya dari awal, fokus lulus, kuliah, kerja, dan selamanya akan tetap begitu."
.
.
.
Sore itu, Feri benar-benar pulang setelah memakai kacamatanya kembali. Senyumnya ramah saat menyapa pelayan Kana di luar, langkahnya mantab dan elegan seperti biasanya, dan dia tak lupa pamit kepada Mr. Bambang yang baru saja pulang dari sekolahan karena rapat, serta Tante Irina—Ibu Kana—yang menjadi bos pabrik tekstil di kawasan Jakarta Barat dan Selatan.
Feri tetap berusaha sebiasa hari-hari sebelumnya, meski melihat mereka berdua, kini jadi agak gugup karena seperti menghadapi calon mertua—ehem…
Dia mencoba tak berpikir kejauhan.
Kana tidak tahu mengapa, hal itu menjadi hiburan baginya setelah dia mengintip dari pintu kamar. Betapa gentleman sifat Feri memang sudah dia ketahui sejak lama, namun diperlakukan seperti 'gadisnya' adalah hal yang tidak biasa. Dia merabai bibirnya yang masih merasakan sentuhan cowok itu di sana, lehernya yang bahaya dilihat orang luar bila tak ditutupi, dan degub jantungnya yang menggila kembali setelah melihat ranjang.
Demi apapun. Kana tidak pernah menyangka sahabatnya itu akan mencumbuinya di sana setelah mereka menjalin hubungan dekat tanpa romansa selama ini.
Kana yakin dia kesulitan menahan diri saat di sana, dan mungkin celananya bisa menggembung sempit kalau mereka melanjutkannya lebih jauh.
Deg deg deg. Kana pun mengganti seprai itu meskipun tidak kotor samasekali. Pun wanginya masih detergen setelah baru saja diganti kemarin, namun dia tak mau dibayangi sentuhan Feri kalau nanti malam tidur di sini. Terlalu jauh.
Kana sendiri tahu hubungan mereka belum pantas dilejitkan ke awang-awang karena meski sudah cukup umur, bagaimana pun mereka belum lulus sekolah. Feri benar. Ada hal penting yang harus dilakukan. Dan, sebelum seluruh rumah tahu hubungan mereka menjadi lebih dalam lagi, harus banyak hal yang dipersiapkan.
.
.
.
Kualifikasi Feri keluar pada pukul 9. Tidak buruk. Cowok itu mendapatkan posisi kedua sehingga bisa maju ke tingkat provinsi setelah ujian nasional. Kualifikasi Arial lebih tidak buruk. Cowok itu langsung menang di tingkat pertama dan itu bukan lagi kejutan rasanya.
Saat berdiri di depan papan pengumuman, Kana justru tak berfokus kepada cowok yang foto-fotonya tadi malam dia bersihkan dari dinding kamar itu. Dia lebih tertarik dengan pencapaian Feri, yang jika saja dia tidak skip momen tanya jawab kemarin (karena ada insiden dirinya dan Gea) pasti nilai cowok itu lebih tinggi lagi dan di posisi pertama.
Ah, Kana pun merasa bersalah, namun dia tahu Feri sendiri bahkan tidak akan menyadari kronologi penilaian seperti itu. Dia tersenyum puas kepada Kana yang berdiri di sampingnya, menerima traktir minuman segar tanpa merasa apa atau bagaimana, lalu duduk di bawah pohon yang menghadap lapangan voli.
Ada banyak siswa yang duduk-duduk di sana. Tidak hanya mereka, namun suasana jelas terlalu ramai untuk sorak-sorai daripada obrolan mereka nanti.
"Congrats."
"Thanks."
"Kamu cerah banget hari ini. Enggak pengen tunjukkin mawar-mawarnya ke Rara lagi?" goda Kana.
Selesai dengan beberapa tegukan, Feri justu mencubit pipi sahabatnya itu gemas. "Tidak sampai aku tuntas dengan urusanku sama kamu," katanya. "Kalo situasinya bagus buat dikasih dia, pasti aku akan kasih. Tapi kalo sebaliknya, aku bakal simpan di kebun aku aja. Hahaha…"
Kana ingin menggaruk tengkuk, tapi hari ini dia memakai bedak BB lebih tebal daripada biasanya di areal leher. Tentu saja untuk menyamarkan gigitan Feri kemarin—ugh… dia pun meremas bangku rendah yang mereka duduki saja. "Tidak dikasih ke aku aja? Greenhouse-ku masih muat kok kalo cuma buat 100 pot kecil mawar aja. Hahaha…"
Cubitan Feri pun makin keras. "Dasar…" kekehnya sembari tersenyum.