Feri kenal baik dengan Kana. Gea tidak salah. Sahabatnya itu memang sumbu pendek. Emosian, judes, kasar—tapi tak pernah begitu pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Sebagai contoh dia tahu sang ayah selalu menekannya agar berprestasi. Namun meski sering dibanding-bandingkan dengan Arial, gadis itu tidak sekali pun membangkang tuduhan, melainkan sering menyusut ingus sendirian setelah menangis.
Hari ini Kana tersinggung berat. Feri tidak tahu kronologi detailnya seperti apa, tapi dia yakin Gea hanya tidak tahu sifat sejati gadis itu sehingga memancing api.
Pertengkaran pecah.
Penampilan Kana yang rapi dan cantik saat datang, langsung berantakan begitu diantarnya pulang. Feri tidak menunggu hasil kualifikasi muncul di layar. Dia mendekap sahabatnya ke pelukan, langsung antipati dengan Gea, dan membawa Kana melewati kerumunan yang menyemut untuk menonton penasaran.
Cie, cie, cie yang lain.
Ah, tolonglah. Mereka tak mengerti apapun soal dirinya dan Kana. Enyah!
"Kamu nggak apa-apa, Kan?" tanya Feri di dalam taksi. Jujur dia lebih sakit melihat Kana diam saja seperti ini. Rambutnya sengkarut akibat dijambak-jambak. Pipinya punya bekas cakaran, lelehan air mata masih menetes, make-up-nya tak tentu arah, namun tak satu pun isakn terdengar darinya.
"…"
"Kana…"
Kana menampik tangan Feri dari pipinya. PLAK!
DEG
Meski setelah melakukannya, ekspresi Kana tampak bersalah dan dia tak ingin memandang Feri. "—Umn, sorry…" bisik gadis itu pelan. "Aku nggak maksud kasar ke kamu."
Feri jelas lebih tahu soal itu. "Daripada khawatirin aku, aku justru khawatir ke kamu," katanya. "Pipimu begitu. Pasti sakit."
"Aku enggak apa-apa…"
Mustahil sungguhan tidak apa-apa.
Feri pun menepuk kursi si sopir di depan. "Pak, nyari mini market terdekat ya. Aku mau beli plester dulu buat temenku."
"Oh iya, Den. Sebentar saya cariin," kata si sopir.
Kana biasanya dijemput oleh mobil pribadinya. Namun tadi gadis itu sudah sangat emosi. Dia menyetop taksi, dan masih beruntung Feri sanggup mengejarnya untuk ikut serta menemani.
Begitu kembali dari mini market, Feri tak perlu minta izin terlebih dahulu untuk memasangkan plester itu ke pipi Kana. Wajah cowok itu sangat dekat hingga aroma nafas dan parfumnya lebih memekat. Itu sungguh sudah biasa. Namun Kana tetap mengulang perkataan Gea dalam kepala sebelum baku hantam terjadi.
{Ah, yeah, nggak perlu juga sebenernya. Karena aku lebih suka kenalan langsung ke orangnya daripada lewat sahabatnya yang judes sekali}
{Apa katamu barusan? Aku judes, hah?}
{Yeah? Itu kenyataannya kan? Kau ini cantik tapi menyebalkan di depan orang lain. Pantas saja nggak dilirik bahkan di depan cowok yang jadi sahabatnya—}
"Kamu sedang mikirin apa?" tanya Feri.
Taksi sudah berjalan lagi dan Kana baru berkedip dari memandang wajah tampan sang sahabat terbaik. "Nggak kok."
Senyum manis Feri mengembang perlahan. "Kamu jelek kalo cemberut terus," katanya. Kana bahkan tidak menyangka cowok itu membeli sisir dan tali rambut baru untuk menata penampilannya juga. "Bentar, kamu nggak boleh pulang kayak gini. Jadi, aku rapiin dulu oke?"
Kana diam saja saat diperlakukan seperti itu. Di depan sana, dia yakin sang sopir melirik diam-diam interaksi merekwa lewat kaca. Namun Kana tidak mau peduli.
Hanya Feri yang membuatnya nyaman sekali, memang. Perhatiannya tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Bahkan oleh orangtuanya sendiri. Cowok itu membuat gestur lembut saat mengusapi luberan make up hampir kering di wajahnya. Dia juga tak lupa mencubit dua pipi Kana begitu selesai.
"Now, smile?" pintanya. "Kamu tetep paling cantik meskipun tanpa make up seperti sekarang."
Kana membuang muka. "Aku memang paling cantik nggak perlu dibilang," katanya. Lalu menatap keluar jendela. "Bahkan aku nggak percaya cewek itu, atau Rara yang kamu suka lebih dariku—" dengusnya.
Feri langsung tertawa mendengar kalimat barusan. "Nah itu Kana yang aku kenal," katanya. Lalu mengacak-acak pucuk kepala Kana. "Judes manis. Arogan, sombong, tapi baik. And always like that."
Simpang empat memenuhi pelipis Kana seketika. "Apaan sih…" katanya kesal. "Niat muji atau ngejatohin hah? Bener-bener sobat gak ada guna…"
Tawa Feri semakin keras.
Detik ini, pak sopir pasti sudah menghilangkan pikiran negatifnya kalau mereka pacar yang bermesraan di dalam mobilnya.
Meski Kana tetap tak peduli seandainya tak begitu.
Sampai di kediamannya yang megah, Kana jelas membuat para pelayan kaget dengan kondisi itu. Namun sebelum mereka bertanya ribut, Feri sudah menggandeng tangan gadis itu untuk masuk ke kamar.
"Aku anter," kata Feri. "Kamu pasti nggak nyaman kalo ditanya-tanya sekarang."
Kana diam saja saat mereka melewati semua pelayan.
Ayah dan Ibunya tidak ada di rumah. Bukan beruntung, namun memang selalu begitu. Mereka adalah pasangan karir. Dan Kana terbiasa seperti ini.
"Oh, thanks ya…" kata Kana. Dia memandang Feri yang berdiri di depan pintu kamarnya yang barusan ditutup.
"Aku yang harusnya bilang begitu," kata Feri. Dia meraih pipi Kana yang diplester. "Kamu niat dukung aku, tapi malah jadi begini."
"Aku udah baik-baik aja."
Seperti biasanya, Feri memandang sekilas ke dinding-dinding kamar Kana tiap kali menyambang sampai ke sini. Semuanya masih sama. Rapi, meski penuh oleh foto-foto Arial yang disimpan sang sahabat diam-diam dari lama. Semuanya dipajang dengan figura cantik, kalau tidak dicetak dalam polaroid dan dihias dengan lampu emas tumblr berkelap-kelip.
"Kalau gitu aku minta maaf sama kamu," kata Feri. "Bagaimana pun kamu jadi kayak gini sejak dateng ke lomba aku. So, please… aku nggak enak kalo kamu terus pura-pura biasa aja."
"Oke," kata Kana dengan senyum terkembang. "Tapi udah aku maafin kok. Thanks udah belain aku di situasi malu-maluin kayak tadi—haha…"
"Apa-apaa," kata Feri. "Udah kewajiban dong. Dia kan nyakitin kamu."
Mendadak bola mata Kana memanas lagi. Dia tidak sadar menjatuhkan air mata saat itu, hingga Feri terperangah memandangnya.
DEG
"Kan? Seriously, are you okay?" tanya Feri dengan mengguncang pelan bahu sahabatnya.
Kana pun mengusapi pipinya segera. "Mn, okay kok," katanya. Lalu tertunduk dan memandang lantai yang justru terus-terusan basah oleh air mata susulan. Semuanya tidak terkendali. Dan Kana tidak mampu menghentikannya. "Aku.. aku Cuma…"
"Now, look me, please."
Kana gemetar saat jari Feri mengangkat dagunya mendekat. "A-Apa…" gumamnya bilang.
"Ster me and tell… kamu ini sebenarnya kenapa? Bilang sama aku sekarang," Feri tampak gelisah drastis. "Aku enggak—"
"Gea bilang aku ngeselin jadi kamu bahkan nggak suka aku," kata Kana, namun dia langsung membuang muka sekali lagi.
DEG
"Apa?"
Kana menangkup pergelangan tangan besar Feri dengan dengan dua telapak mungilnya. "A-Aku sakit, jujur aja…" desah gadis itu serak. "Soalnya dia bener. Aku cantik. Aku yakin aku lebih cantik dari dia, Rara, atau siapa pun di sekolah. Tapi karena sifatmu, bahkan kamu nggak bisa cinta sama aku—" tenggorokannya serasa menyempit mendadak saat mengatakannya.
Feri bahkan terperangah sekali lagi saat Kana memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dia diam. Kata-kata seperti tercuri dari nafasnya.
"Iya kan, Fer? Dia bener… jadi aku emang nggak pantes bahkan buat jadi pendukung kamu atau siapa pun," kata Kana. Keputus asaan yang tenggelam dalam di matanya kini menyeruak keluar hingga berbuah isakan sesak. Yang tentunya tidak bisa Feri dengar begitu saja. "Aku cocok buat sendirian. Udah selalu kalah prestasi, nggak disukai banyak temen, dan sekarang aku…"
Feri menggeram keras. "Itu samasekali enggak bener!" tegasnya dengan mata nyalang.