Sejak saat itu, Feri dan Kana tidak pernah membahas tentang hubungan romansa yang mungkin terjadi diantara mereka. Apapun yang dikatakan orang luar, mereka samasekali tak terpengaruh. Padahal, Kana sering digendong punggung Feri kalau gadis itu tertidur dalam kelas lesnya. Mereka sering keluar bersama. Dan—hm… kalau dipikir-pikir sekali lagi, hubungan ini memang lebih romantis daripada pacaran yang sesungguhnya (Setidaknya di mata orang lain).
"Halo, Fer?"
Namun keberadaan Feri telah menjadi biasa dalam hidup Kana. Begitu pun sebaliknya. Mereka mungkin telah menerjemahkan hal itu menjadi perasaan sayang selayaknya saudara saja. Perhatian, perlakuan istimewa, dan masih banyak hal lain.
Seperti video call sekarang pun …
"Iya?"
Di seberang sana Feri menyandarkan ponselnya di tumpukan buku sambil menguleni adonan tanah gambut bersama bunga-bunga bonsainya ke dalam beberapa pot mungil.
"Kamu baik-baik aja?"
Feri pun mengerutkan kening, "Iya? Aku baik kok," katanya. "Kamu sendiri bagaimana? Kamu habis menangis, ya?"
Kana memang tak bisa menyembunyikan apapun dari Feri. Kalau pun sebelumnya bisa, maka cepat atau lambat cowok itu akan tahu. Dia pun tersenyum, lalu mengucek matanya perlahan. "Hampir," katanya. "Aku mikirin kamu seharian ini."
Feri pun terperangah. "Aku?" bingungnya. "Kenapa?"
Kana pun cemberut dengan manisnya. "Kamu nggak baca chat dari aku?"
"Eh?" Feri tampak berpikir selama beberapa saat. "Yang barusan toh. Baca kok. Tapi aku baik-baik aja…"
Kana justru semakin cemberut. "Aku nggak mau kamu sakit karena maksain diri," katanya. "Aku aja nggak hadir di Drama Arial—padahal aku sangat-sangat ingin datang," katanya. "Lagian, dia pasti udah fokus sama Rara doang kalo nanti ada jam istirahat."
Feri mendadak malah dipanggil teman lombanya. "Apa? Ha? Iya… sebentar…" katanya. Lalu pergi begitu saja dari layar Kana.
Kana pun menghela nafas panjang. Dia tahu ini selalu terjadi sejak usia mereka semakin bertambah. Kedekatan mereka berkurang karena urusan masing-masing dan Kana mulai merasa perlahan mereka menjadi orang lain.
Saat Feri kembali dengan wajah ributnya, Kana mendadak gemas ingin sahabatnya itu hanya fokus padanya.
"Feri?"
"Oh, ya?" kata Feri kebingungan. "Maaf, aku tadi ada urusan."
Kana menggeleng pelan. "Nggak papa kok. Aku lagi yang harusnya bilang minta maaf sama kamu," katanya. "Kan aku yang ganggu kamu sekarang. Padahal lagi lomba juga."
"Ahh…"
"Aku, mau ke tempat kamu aja," kata Kana. Tiba-tiba.
"Eh? Kok?"
Kana tersenyum tipis. "Aku juga nggak tahu kenapa," katanya. "Mungkin… mn… diabaikan itu sangat sakit," lanjutnya. "Jadi aku lebih milih nonton dan semangatin kamu aja. Nggak keberatan kan?"
Feri pun tercenung selama beberapa saat sebelum mengangguk. "Baiklah," katanya dengan senyuman mengembang. "Hati-hati ya selama ke sini. Kamu pake supir kan?"
"Iya."
"Oke, aku tunggu," kata Feri. "Tenang aja, nggak perlu cepet-cepet. Lombaku baru mulai kok. Aku juga masih ngantri buat demonstrasi."
"Umn."
Siapa yang tak tahu tentang berita jadian Arial dan Rara di sekolah itu? Bagaimana pun Arial adalah cowok idola yang banyak digemari para gadis. Satu hal saja yang mengganggu hatinya, semua orang langsung mengerti tanpa banyak usaha keras. Kana pun memilih menekan perasaannya sendiri, meski setiap menatap dinding-dinding kamarnya yang penuh dengan foto cowok itu—dia tetap serasa ingin menangis.
Hanya Feri yang bisa menguatkannya. Setidaknya hingga sekarang.
"Feri…" Kana melambaikan tangan kepada sahabatnya dari pintu masuk aula lomba.
Feri yang masih mengantri dengan nomor urut 11 pun pergi menemui sahabatnya segera. "Kana!" dia langsung mempersilahkan gadis itu duduk di sebelahnya. "Sini, aku sebentar lagi maju—sorry…"
Kana pun tergelak pelan. "Hah? Sorry kenapa?"
"Kan baru dateng langsung aku tinggal nanti…"
Kana justru mengeluarkan minuman isotonik dari tas kecilnya kepada Feri. "Nih, biar kamu nggak terlalu deg-degan di depan nanti…" katanya. "Mau kan?"
Cie cie cie.
Kana dan Feri hanya melempar senyum setiap kali mendengar siulan menggoda seperti itu dari belakang mereka. Itu pasti siswa dari sekolah lain yang juga ikut berlomba dan menjadi saingan Feri.
"Enak nggak?" tanya Kana. "Itu tadi varian rasa baru. Jadi aku belum pernah nyoba."
Feri menyodorkan botol itu kepada Kana. "Mau coba sendiri?" tanyanya. "Kalau menurutku enak aja sih… sedap."
"Hmm…"
Kana pun tanpa ragu meminumnya dari sedotan yang sama.
Cie cie cie, yang kedua.
Para penonton kemanisan hubungan mereka berdua sepertinya semakin bersemangat kali ini. Ah, abaikan. Ini sih masih mending, kalau mereka tahu Kana dan Feri masih sering tidur berdua (maksudnya ketiduran di karpet berdua) waktu mengerjakan PR bersama malah seperti apa kehebohan mereka?
"Ahh.. aku udah dipanggil sama jurinya," kata Feri. Kana pun menoleh ke 3 juri yang duduk di kursi masing-masing di atas panggung. Dia tersenyum kepada Feri lalu menepuk pundak sahabatnya itu.
"Oke, good luck, yeah?" kata Kana. "Aku tunggu kabar baiknya di sini."
"Un," kata Feri. Dia mengusap ubun Kana sekilas sebelum maju ke depan. Kana yang sudah terbiasa dengan semua itu hanya memasang kameranya dengan santai. Dia mengambil video detik-detik Feri maju ke depan di IG live seolah itu adalah hal istimewa. Namun hampir semua pengikutnya pun sudah tahu cowok itu adalah sahabatnya.
Mereka tahu, tapi tidak dengan 'para penonton' yang sejak tadi menatap interaksi mereka berdua dengan gemas. Dari Feri yang mendorong meja-meja berisi mawar bonsainya, kemudian kepada Kana yang sibuk memotret beberapa kali cowok itu.
"Astaga, aku iri sekali…" kata gadis tak dikenal di sebelah Kana. Tiba-tiba saja gadis itu datang, dan menyilangkan tangan sambil menatap perjuangan Feri di seberang sana.
"Eh? Iri kenapa memangnya?" tanya Kana.
"Cowok cakep itu—hm… boleh aku milikin enggak?" tanyanya.
"Hah?" sudut bibir Kana serasa berkedut ingin tertawa. "Oh, silahkan? Tapi dia baru saja patah hati sama gebetannya. Jadi kupikir, lebih baik kamu biarin dia sampai nggak ada rasa samasekali sama siapa pun."
"Oh… jadi benar, kalian ini cuma sahabatan," kata gadis itu. Dia menatap Kana dengan mata menganalisis. "Kau tahu? Aku enggak sebodoh mereka, hm?"
Kana pun mendengus tersenyum. "Yeah? Kau juga nggak sejelek mereka juga," katanya. Terbiasa mencemooh orang lain yang tidak ada hubungannya dengan dia. Baginya, ah.. toh mereka itu bukan siapa-siapa dalam kehidupannya. "Ngomong-ngomong siapa sih namamu? Aku akan kasih tahu Feri kalau dia nanti udah balik ke sini."
"Aku Gea," kata Gea. Tapi setelah dicemooh, dia cukup tahu diri untuk tak terlalu mengakrabkan diri dengan cewek yang menurutnyaa arogan ini. "Gea Natasha Katleen. Anak bonsai juga di sekolahku."
"Oh.." kata Kana. Dia justru kembali fokus ke kamera, dan tak memedulikan Gea. "Emang kamu sekolah di mana?"
"SMAN Rajawali Indah," kata Gea. "Kenapa?"
Kana pun sempat merinding mendengar nama sekolah itu, sebab SMAN Rajawali Indah dan SMAN Bhayangkara itu selalu bersaing prestasi sejak dulu.
"Nggak kok, cuma nanya aja buat dikasih tahu juga ke dia," kata Kana. "Santai aja lah…"
Gea justru menyaingi kearoganan Kana kali ini. "Ah, yeah, nggak perlu juga sebenarnya. Karena aku lebih suka kenalan langsung ke orangnya daripada lewat sahabatnya yang judes sekali."
DEG
"Apa katamu barusan?"
Kana pun menoleh dengan kilat di matanya. "Aku judes, hah?"
"Yeah?" Gea mengendikkan bahu. "Itu kenyataannya kan? Kau ini cantik tapi menyebalkan di depan orang lain. Pantas saja nggak dilirik bahkan oleh cowok yang jadi sahabatnya—"
PLAK!
"BANGSAT!"
Sorot mata Gea langsung nyalang begitu pipinya memerah karena tamparan itu. "APA-APAAN KAU INI!" dia balas menampar Kana dan membuat bangku ruang tunggu peserta itu langsung ribut seketika.
Feri yang tadinya mendapat senyum dari juri dan fokus menjawab semua pertanyaan mereka, langsung berteriak panik melihat sahabatnya dijambak oleh Gea sekuat tenaga.
"AARRGHH! Sakit!"
"KANA!"
"Sakit, CEWEK BRENGSEK!"
Feri pun meninggalkan panggung dan memburu gadis terdekat dalam hidupnya itu.