Chereads / AKASIA / Chapter 17 - 17

Chapter 17 - 17

Di depan cermin, Kana menatap pantulan dirinya sendiri yang sangat kurus. Akhir-akhir ini berat badannya lebih mudah turun. Sirup penambah nafsu makan tidak mempan, dan para pelayan di rumahnya kebingungan.

Dia memang sempat memiliki penyakit anoreksia. Tapi kini tidak lagi. Hanya saja perasaan itu terkadang memang masih membayang ketika mengingat Feri sangat-sangat terluka.

[Kana: "Kamu beneran nolak dia? Bukannya kamu cinta dia?"]

[Feri: "Ada orang yang lebih pantes buat dia. Dan orang itu udah ada di samping dia selama ini]

Kana pun berhenti menyisir rambutnya. Dia menghela nafas panjang. Lalu keinginan untuk memasang jepitan rambut cantik pun jadi hilang seketika.

Dia menatap ponsel dan layarnya yang masih menampakkan chat centang abu-abu.

#Kana: Feri, kamu udah baikan hari ini? Kamu lagi sakit tapi tetep ikutan lomba kan? Please, jangan maksain diri, Fer…

Feri dengan perasaannya yang masih jatuh. Dia tidak pernah bilang apa-apa lagi kepada Kana seolah mereka bukan lagi sahabat. Mungkin Kana memang sudah menyinggung perasaannya waktu itu, tapi… sungguh… Kana tak berniat membuat Feri begini.

Bagaimana pun, Feri sebenarnya sangat mencintai Rara. Hanya saja, ah…

"Kamu pikir cuma kamu…" kata Kana dengan mengucek matanya yang mendadak basah. "Aku juga cinta Arial tapi nggak berani bilang. Kamu ini kenapa sih, Fer… coba kalau kamu mau berjuang dikit aja, sama Rara, mungkin aku lebih percaya diri sekarang."

Dia hanya meracau sendirian.

Gaun pendek dan riasan natural yang hendak dia gunakan untuk menghadiri pertunjukkan lomba Klub Drama Arial kini basah. Dia tidak lagi memiliki niat untuk pergi. Dia takut. Dia ingin mengakhiri perasaan ini jika bisa, namun setiap kali melihat betapa cerahnya senyum Arial… dia tak bisa melakukan apapun kecuali jatuh cinta.

Feri bilang, Arial terlalu bersinar. Karena itu dia tak akan bisa pantas melampauinya. Lalu bagaimana dengan Kana? Dia pun merasa tak pantas bersanding dengan cowok itu.

Benar.

Kana adalah anak dari kepala sekolah. Di rumah dia memanggil Ayah, di sekolah dia hanya memanggil Mister Bambang seperti yang lain. Hanya saja, apa yang bisa dibanggakan?

Di rumah, Kana selalu ingin membenci Arial karena sang ayah terus menekan agar dirinya sehebat Arial dalam belajar. Lihat dia, Nak! Dia bule, tapi sejak masuk ke sini sudah berusaha keras melebihi siapa pun! Kau yang bisa Bahasa Indonesia sejak lahir kenapa tidak mampu menyerap buku-buku LKS ini? Jangan-jangan kau bukan anakku…

Kana selalu marah setiap kali ayahnya bilang begitu. Berulang kali. Di telinganya. Namun, dia selalu teringat senyum Arial saat mengambilkan semua isi kotak pensilnya yang berjatuhan waktu kecil. Dia tersenyum, memberikannya kepada Kana, kemudian berlalu setelah berkenalan.

"Namaku Erarial," kata Arial. Dia versi 13 tahun melambaikan tangan ke Kana di halaman sekolah. "Kita ngobrol lagi ya, kapan-kapan. Aku pulang dulu sekarang. Soalnya Rara udah nunggu aku…"

Rara lagi, dan Kana penasaran kapan dia bisa menjadi sedekatr gadis itu kepada Arial. Untung ada Feri yang menunggunya untuk pulang sekolah bersama juga saat itu. Jadi, perasaan iri pun tak lagi mengakar hingga mereka benar-benar menyadari kekaguman itu jadi rasa cinta.

"Nona Kana?" panggil seorang pelayan dari belakang.

"Oh, iya?"

Kana buru-buru menghapus air matanya.

"Nona kenapa? Apa barusan Nona menangis?" tanya pelayan itu lagi.

Kana pun cepat-cepat menggeleng. "N-Nggak kok. Aku baik-baik aja, Bi," dia langsung menggangti topik pembicaraan. "Oh, iya… Bibi… Mn, bilang sama Mamang kalau aku nggak jadi keluar hari ini."

"Lho, kenapa, Nona?"

Kana tersenyum tipis. "Lagi nggak enak aja. Lagian pasti drama-nya pasti udah dapet separuh sekarang. Percum kalau nggak nonton dari awal…"

"Oh…"

"Aku juga kurang enak badan," kata Kana sembari pura-pura memijit bahunya. "Mungkin mau datang bulan. Jadi, Bibi mau kan buatin aku jamu kunyit?"

"Baik, Nona," kata pelayan itu. "Mau Bibi panggilin tukang pijit sekalian nggak? Biar lebih enakan nantinya…"

"Ahh… nggak perlu," kata Kana segera. "Maybe aku akan mandi uap aja abis ini. Nggak sepegel itu juga kok. Lagian, aku juga mau Vicall Feri abis ini. Biar tahu gimana kondisi dia selama lomba. Kalian bisa ganggu nanti. Hehe…"

Pelayan itu pun tersenyum kecut. "Hehehe… Baik, Nona," cengirnya langsung pergi.

Kana bersyukur perilaku pelayan di rumah ini sudah berubah. Dulu, jika dia membicarakan tentang Feri, mereka pasti akan menggodai Kana dan bilang… 'Ah, cie cie… Nona kenapa nggak pacaran aja sih sama Den Feri? Kan udah kemana-mana bareng terus tuh? Cocok juga kan? Gass aja lah Nona…'

Hei, memang hati itu urusan siapa?

Kenyataannya Feri memang tidak pernah menyukai Kana, begitu pun Kana tidak pernah menyukai Feri. Mereka murni mendukung sebagai sahabat, jadi … jika kau pernah dengar sahabat yang terdiri dari lelaki dan perempuan selalu saling mencintai, maka kau salah.

Yang benar adalah… jika kau, mengalami itu, tidak saling mencintai, dan sampai dianggap berpacaran oleh hampir setiap orang … maka itulah sahabat yang benar-benar sejati.

Oh, tapi terserah kau menganut yang mana. Pastinya Kana tidak akan memikirkan hal itu. Dia hanya merasa nyaman saat bersama Feri membantunya dalam hal apapun, menghabiskan waktu bersama, tanpa adanya beban samasakali.

Tidak ada debar-debar aneh seperti yang Kana rasakan kepada Arial. Begitu pun Feri kepada gadis itu.

Mereka pernah membicarakan hal ini, dulu saat ulang tahun ke 16. Di taman kediaman Kana, Feri blak-blakan menanyakan karena sudah gemas dengan perlakuan para pelayan sahabatnya itu setiap kali dia datang.

"Kana, kamu sebenarnya suka aku nggak?" tanya Feri. Mereka tengah duduk di tepi kolam berdua waktu itu. Sehabis potong-potong kue, tiup lilin, make a wish, Feri berikan kado untuk sang sahabat, mereka menyalakan kembang api kecil-kecilan sambil ngobrol-ngobro ringan.

"Hm? Suka lah. Kan kamu sahabatku."

Kana menjawab santai dengan sosis di mulutnya.

"Ih, bukan suka kayak gitu," kata Feri. Dia mencubit gemas pipi Kana.

"Terus, suka kayak apa maksudmu?" tanya Kana. "Kayak pacar-pacaran gitu?"

"Iya, kan pelayan-pelayanmu selalu ngomongin itu," kata Feri. Dia menatap langit dengan raut wajah agak jengkel. "Aku yang nggak kepikiran jadi kepikiran, tahu nggak?"

"Hoho…" Kana justru tergoda untuk menggelitik pinggang Feri.

"Ahh! KANA!"

"Hahaha…" Kana pun tertawa puas. Sebab dia bukan tipe gadis yang mudah digelitiki, jadi Feri pun tak bisa membalas meskipun diam au. "Nah, gitu dong… ketawa dan kaget. Mukanya nggak boleh melas kayak tadi…"

"Ugh, melas dari mana coba?" kata Feri. "Aku kan hanya curhat ginian sama kamu…"

"Hmm… ya gimana lagi," kata Kana. Dia lantas mengendikkan bahu. "Siapa tahu kamu kepikiran kayak gitu sampai cinta beneran sama aku."

"Hei, nggak, tahu."

"Yah, bisa jadi kamu pura-pura nggak cinta aku, tapi diam-diam sayang kayak di novel-novel?"

Feri justru memijit keningnya. Kana pun langsung tertawa lepas melihatnya.

"Hei,,." Kana menyenggol bahu Feri. "Kalau iya, kenapa kita nggak coba pacarana beneran aja? Biar halu para bibi-bibiku terealisasi, hm?"

"Kana, please…" kata Feri. Dia langsung menoyor kening gadis itu. "Aku merinding dengernya tahu…"

"BUAHAHAHAHAHAHA!" Kana pun tertawa lagi mendengar reaksi sahabatnya.