Dua Minggu yang menyakitkan bagi Rara sejak kejadian itu. Dia mengenakan stocking dan kaus kaki panjang saat berangkat ke sekolah. Rautnya murung. Namun Arial tetap ada di sisinya dengan senyuman sehingga teman-teman yang memandang Rara dengan berbagai arti (kasian, meremehkan, takut, dan menertawakan) tak ada yang benar-benar menunjukkannya dengan jelas.
Mira menyambut Rara dengan pelukan begitu sampai di kelas. "Rara~"
"Mira…"
"Ya ampun akhirnya kamu balik masuk lagi! Aku udah ketar-ketir selama itu kamu masuk rumah sakit…"
Rara menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja sekarang…" katanya.
Di sebelahnya, Arial merangkul bahu Rara lembut. "Mira, tolong jagain dia buat aku mulai sekarang," katanya. "Kalo nggak ada aku, harus ada yang tetap mengawasinya dari dekat."
"Oke."
Mira pun memeluk Rara lagi.
"Astaga, Mira… aku rasanya ingin pindah dari sini…" desah Rara pelan.
"Heh… jangan. Memang kenapa ingin pindah? Lukamu pasti sembuh kok pelan-pelan…" kata Mira sembari menepuk-nepuk bahu itu. "Kamu bisa… kamu nggak boleh patah semangat, Ra—"
"Aku tahu…" suara Rara memelan. "Tapi sepertinya ada yang diam-diam benci aku di sekolahan ini."
DEG
"Apa?" kaget Mira.
Rara menoleh ke Arial sekilas. "Aku tidak tahu, mungkin ini hanya pikiran buruk ku saja, ugh…"
"Ya sudah… Ya sudah…" kata Mira pelan. Dia menepuk-nepuk bahu Rara sebelum mengajaknya duduk. "Sekarang duduk dulu, aku ingin mengajakmu bicara dengan benar sebelum pelajaran dimulai."
Arial pun memberi isyarat kepada Mira dengan anggukan kepala.
"Kau bisa percayakan dia padaku," kata Mira.
Arial pun pergi dari sana menuju ke bangku barunya. Kali ini dia duduk di urutan paling depan karena rolling kelas. Untungnya Mira dan Rara masih satu tempat karena keberuntungan atau apa.
"Mungkin itu hanya perasaanmu…" kata Mira. "Kau tahu? Seseorang yang tidak pernah ceroboh pun bisa melakukan kesalahan selama hidupnya."
"Iya, aku tahu, Mira.."
"Tapi kalau ada yang benar-benar berniat mencelakaimu, akan kupastikan dia hilang dari dunia ini," kata Mira. "Aku tidak akan memaafkannya apapun yang terjadi, oke?"
"Hmm…" gumam Rara dengan anggukan kepala. "Aku benar-benar berterima kasih atas segalanya."
"Njir… buat apa?" kata Mira dengan menampar bahu kanannya. "Kau kan sahabatku. Hal-hal seperti itu sudah jadi kewajiban jadi tidak perlu merasa begini atau begitu…"
"Haha…"
Rara masih murung hingga tiga minggu kemudian.
Perlombaan sekolah dimulai. Arial, Feri, dan para peserta lain yang terpilih ikut serta langsung diangkut dengan menggunakan mobil Yayasan satu per satu. Mereka pencar ke wilayah lomba masing-masing.
Rara bilang dia akan mendukung Arial jika sudah separuh perjalanan. Hari itu bertepatan dengan hari pemeriksaan kulitnya yang terakhir. Dokter bilang lepuhan yang terjadi sudah mulai hilang sempurna. Rara boleh menggunakan rok pendek lagi, namun gadis itu tersenyum saja.
Pulang, Rara lebih memilih membeli banyak celana jeans selutut dan sepatu boot tinggi sebagai penampilan barunya. Setiap detik, rasa curiga kepada orang-orang di sekitar semakin meningkat saja. Dia tak bisa mudah percaya ketika diajak dekat dengan seseorang, bahkan teman satu sekolah sekali pun.
Rara tak ingin dekat-dekat mereka jika tidak sungguhan mengenal bagaimana wataknya.
"Rara! Di sini!"
Mira melambaikan tangan ke udara saat melihat Rara masuk.
"Hai, Mira… you're so beautiful, aaa!" puji Rara. Dia memeluk Mira yang sudah lengkap make up dan dress sebagai tuan puteri. Di sekitar gadis itu, ada banyak kru lain yang ribut memakai kostum masing-masing, dan Mira langsung menepuk lengannya karena terlihat kebingungan.
"Makasih! Tapi yang kamu cari pasti yang di sana!" Mira menunjuk Arial yang berdiri di pojokan ruang dengan seorang penata rias sewaan sekolah mereka. Cowok itu duduk diam. Dengan mata terpejam, membiarkan tangan-tangan professional menjamahi keindahan wajahnya dengan make up tipis-tipis yang menonjolkan segala sisi baik.
"Ugh…" desah Rara. "Dia sudah pakai kostum pangerannya…" katanya dengan pipi merona.
"Iya! Sejak tadi dia menunggumu datang!" Mira pun mendorong Rara segera ke sana. "Ayo datangi! Dia pasti semangat melihatmu di sini."
"E-Eh… iya…" kata Rara.
Arial jauh lebih tampan lagi ketika dilihat dari dekat. Dia dibiarkan sang penata rias duduk di samping cowok itu karena dikira kru panggung, bahkan disuruh membawa alat make up-nya agar lebih memudahkan pekerjaan.
Arial lah yang kaget melihat Rara menyerahkan kapas ketika sudah membuka mata.
"Oh my god! Rara! What the heck? Kenapa kamu di sini?"
Rara meringis ketika ditarik menjauh dari sana. "H-Hei… bukankah kamu senang kalau aku datang lebih awal daripada perkiraan?" tanyanya.
Arial pun langsung melihat penampilan baru Rara dengan kening mengerut. "Kamu nggak apa-apa? Bagaimana kata dokter tadi?"
"Aku baik kok," kata Rara dengan anggukan pelan. "Hanya saja, aku pengen tahu pendapatmu dengan style ini? Aku bagus kan pakai celana jeans?"
Arial pun tersenyum tipis. "Kamu bagus pakai apa aja…"
Rara lega mendengarnya. "Kamu apalagi."
"Hahaha… aku kan lagi mode paling tampan sedunia," kata Arial tidak tahu malu. Dia lalu mengeluarkan ponsel dari saku. "Bagaimana? Mau berfoto denganku lagi?"
"Boleh," kata Rara dengan anggukan pelan. "T-Tapi jangan cium di pipi lagi. Malu tahu. Di sini ada banyak orang…"
"Hahaha…" Arial pun menariknya mendekat. "Nggak… nggak… sini."
Tapi cowok itu bohong lagi. Bukan di pipi, dia justru meraup bibir Rara bahkan sebelum kamera ditekan. Rara pun terbelalak. Tubuhnya didempet ke celah antara lemari kostum dan manekin telanjang—dilumat beberapa kali dengan remasan teguh di tengkuk, sebelum dilepaskan dengan seringai kecil penuh kemenangan.
"Wajahmu bagus kalau merah-merah," kata Arial. Dia tidak peduli ada beberapa orang yang lewat dan melihat mereka barusan. "Bagaimana? Sekarang kita berfoto beneran?"
"O-Oh…" Rara pun mengepalkan tangan dengan gugup. "A-Astaga, Arial! Apa yang kamu lakukan—"
"Ssshh…" Arial menaruh telunjuknya di depan bibir. Dia memasang kamera sungguhan dan menjepret potret mereka berdua beberapa kali dengan merengkuh pinggang mungil itu. Suaranya berbisik pelan di telinga Rara ketika pelukannya semakin erat. "Pokoknya kamu nomor satu dan yang paling cantik di mataku."
"E-Eh? Kenapa mendadak bilang begitu?" Rara pun menoleh kebingungan ke wajah Arial. "Aku kan nggak gimana-gimana."
"Tetap saja, nanti di atas panggung kau akan melihatku melakukan banyak adegan romantis dengan Mira dan beberapa gadis figuran lain," kata Arial dengan santai. "So, its not fear for us. Jangan kira aku nggak memperhatikan perasaan kamu lagi meskipun udah punya kewajiban ini itu."
Rona merah di wajah Rara pun makin menebal. "K-Kamu ini berlebihan…"
"Nggak kok. Setelah kupikir-pikir, ada benarnya omongan Sutradara Drama ini kapan hari," kata Arial. "Aku kan bercita-cita jadi actor sungguhan. Jika tidak bisa memerankan adegan seperti ini saja, bagaimana kalau sisi professional menuntutku melakukan hal yang lebih parah di masa depan?"
Rara pun baru tersenyum lemah ke arah Arial. "Kamu benar…" katanya. Lalu menampilkan deretan gigi-gigi putihnya ke kamera bersama senyuman lebar Arial. "Semangat, Arial. Kamu pasti bisa kali ini…"
"Aku tahu."
CKREK! CKREK! CKREK!
Foto yang lebih banyak pun tersimpan dalam ponsel Arial. Mereka kini lebih rileks dalam berpose, dan tertawa-tawa karena baru saja membuat foto wajah bodoh juga.
Mereka hanya tidak tahu, sebenarnya saat itu… ada sepasang mata cemburu yang tengah melihat hal itu dari sebuah sudut sisi ruangan yang gelap.