"Wah… bias bahaya nih," kata Arial. Rara justru memukul kepalanya gemas. Mereka lalu tertawa bersama hari itu.
Keesokannya, Mira menunggu Rara di depan kelas dengan membawa roti isi daging dan dua soda. Gadis itu tampak sedih, tapi pipinya memerah saat minta maaf soal latihan dramanya dengan Arial mulai kemarin. Mendengar itu, Rara justru mencubit kedua pipi teman sebangkunya itu kesal.
"Udah deh. Nggak usah terlalu dipikirin."
"Tapi, Ra. Aku kan nggak enak sama kamu. Soalnya Arial…"
"Udah deh ah. Ini kan hal-hal yang udah di luar kuasa kamu. Arial juga udah bicarain soal itu sama aku."
"Kamu yakin?"
"Heem," kata Rara. Dia pun menerima pemberian Mira. Sekaleng soda dingin. Tapi dia mengambil yang sudah dibekasi, bukan yang baru lagi. Sengaja.
"Eh—Ra!" seru Mira terkejut.
Rara justru langsung menenggak kaleng itu dengan senyuman penuh kesenangan.
"Itu… itu… itu tadi kan sisaku!" seru Mira.
Rara lalu menyodorkan kembali minuman kaleng itu, "Tidak suka? Kalau begitu sekarang minum lagi. Anggap saja kita sedang berbagi soda untuk seterusnya."
Mira memandang raut wajah Rara separuh tak mengerti. Namun ketika dia menyadari ciuman latihan dengan Arial lah yang dirujuk, wajahnya baru memerah penuh dan sampai memekik karena tak tahan lagi.
"ASTAGA! Raraaaa!"
Rara justru tertawa keras. Hari itu dia dan Mira bukannya menyimak pelajaran, justru surat-suratan dengan memo kecil untuk bercerita soal Arial. Rara bilang, apa Mira sudah paham? Mira justru mencubit pahanya jengkel.
NB: Yang di dalam kurung kotak adalah surat-suratan.
[Mira: Kupikir kamu bakal marah sama aku TAT]
[Rara: Nggak lah. Aku udah kenal kamu itu kayak apa. Lagipula Rizky juga udah bilang soal kamu. Jadi aku yakin… XD]
[Mira: Ugh… sia-sia banget aku khawatir soal kamu tadi malem. Tahu nggak aku sampe insomnia mikirin cara minta maaf sama kamu. Aku juga belum berani chat Arial lagi sampe sekarang gegara mikirin perasaan kalian berdua]
[Rara: Nggak, tenang aja. Kemarin aku dan Arial udah bicarain soal itu sama-sama. Kalo dia sampai berani belok sama kamu Cuma karena ciuman, aku akan melemparinya dengan lebih banyak lagi setelah pulang sekolah XD]
[Mira: APA?! T///T]
[Rara: Berkat bahas cemburu-cemburuan sama kamu kemarin, kita jadi ciuman untuk pertama kali. Hahaha… jadi makasih]
Mira pun menoleh ke Rara yang sudah menahan cekikan di sampingnya.
"A-Astaga…" desah Mira dengan wajah yang memanas lagi. "Aku bener-bener nggak nyangka hubungan kalian jadi sejauh itu dalam waktu singkat," katanya. "Aku jadi khawatir minggu ini kalian melewati batas yang lainnya."
DEG
"A-Apa?!" kaget Rara. Kali ini dirinya yang tertular pipi panas Mira. "B-Batas apa maksud kamu?"
Mira pun menyeret memonya, lalu menggambar angka satu dan nol di sana.
"Paham kan?"
Rara pun langsung membungkam mulutnya sendiri. "…!!!"
Demi apa Mira sedang membicarakan hubungan 'itu' di atas ranjang. Astaga… Mira benar-benar mesum! Tapi mau bagaimana pun, gadis itu memang tipe yang bebas ketika sudah menyangkut relationship. Untungnya dia baik. Rara jadi tidak merasa bagaimana pun dengannya.
"Tenang aja," kata Mira. Gadis itu membisiki Rara dengan suara yang dibuat-buat jahil. "Dari yang aku tahu… Arial itu tipe yang gentleman kok. Dia nggak bakal nyerang kamu tiba-tiba Cuma mau ngajakin 'itu' untuk pertama kali. So, kalian pasti butuh waktu lama sampai bener-bener 'confess' dulu sampai tahap itu."
"A-Apa…"
Mira pun menepuk bahunya lembut. "Tapi bukannya tidak mungkin…"
"Ugh… Mira. Stop, please…" kata Rara. "I cant handle it more…"
Mira pun terkikik pelan. "Oke-oke… that's my fault," katanya. "Anggep aja aku nggak pernah bilang apapun sama kamu."
"Ugh.. Mira…"
Tahu-tahu pelajaran IPS di dalam kelas itu selesai, dan bukannya melipur, Mira justru pamit pergi untuk bertemu dengan gebetan barunya dari kelas sebelah—katanya.
Malu luar biasa, Rara pun membuang muka merahnya saat Arial dating ke bangkunya dengan wajah penuh tanda tanya. "Hei, Ra…" sapanya. "Come to have some meals?" tawarnya.
"O-Oh…" kata Rara. "So, sejak kapan kamu sampe ke sini?" tanyanya.
"Astaga… masak nggak tahu kalo aku udah jalan ke sini dari tadi?"
"Sorry…"
"That's okay… I just wanna know my answer," kata Arial.
Rara pun menghirup nafas panjang untuk melegakan debaran jantungnya sendiri sebelum menatap Arial dengan senyuman yang mengembang. "Ok. Yuk."
"Kamu mau makan apa hari ini?"
"Bakso?"
"Oke, bakso juga kalua begitu."
"Ih… ikut-ikutan deh dasar…"
Arial mengacak-acak rambut Rara gemas karenanya. Hahh… leganya. Setidaknya sementara ini semua baik-baik saja. Arial cukup puas dengan semua yang terjadi. Meskipun beberapa anggota Klub Drama masih belum menerima kehadirannya kembali sepenuhnya, semua tidak terlalu dia pikirkan. Toh mulai sekarang cukup dengan melihat senyum gadis tercintanya ini, semua beban dalam dada sudah terbayarkan.
BRAKH!
"Arrrhhh!"
"RARA!" teriak Arial tiba-tiba.
Mungkin karena Arial barusan hanya berfokus kepada senyum itu, Rara yang diam membalas tatapannya pun lengah dengan seorang siswa lelaki yang tanpa sengaja tersandung kaki kursinya. Dia mengaduh. Namun bukan masalah dengan kaki atau kursinya. Mangkuk bakso di tangannya terlempar. Dan itu mengenai paha Rara sebelum menggelinding jatuh pecah ke lantai.
Semuanya kacau. Rara menangis seketika di tempat. Dan Arial pun langsung emosi hingga tak tahan untuk memukul cowok itu hingga jatuh ke lantai.
Kantin yang semula ramai menjadi semakin sesak dengan gerombolan siswa yang mendadak mengerumuni mereka. Guru datang. Ketua OSIS bernama Azura ikut maju memisah Arial sebelum memukul Fano yang ternyata adalah adik kelas dari kelas sebelah.
Hal itu menjadi semakin parah karena Rara tak bias berdiri. Kakinya kebas, dan seketika kulit putihnya mengelepuh karena tersiram kuah bakso yang begitu panas. Karena itu, saat Azura baru berteriak kepada bawahannya untuk memanggil staff UKS, Arial sudah melepaskan diri dari ketua OSIS itu untuk melepas jaketnya ke paha Rara. Tanpa ba bi bu lagi, dia menggendong gadis itu dan membawanya melewati beratus kerumunan siswa lain bahkan ketika staff UKS masih di jalan menuju kantin.
Tak peduli.
Persetan dengan dunia. Tangisan Rara di dadanya sungguh sulit Arial terima dan dengarkan. Ahh… Rara…. Rara….
Arial bahkan harus dibentak guru UKS dulu sebelum tegar untuk menunggu di luar. Pasalnya rok gadis itu sudah penuh dengan kuah panas. Harus dilepas. Harus diberi pertolongan pertama kulit melepuh dengan berbagai cara yang mengharuskannya separuh telanjang.
Glek.
Arial pun menelan ludah kesulitan. Dia benar-benar tak habis piker. Kenapa Fano mendadak datang di situasi saat itu. Darimana dia? Dan kenapa harus Rara?!
Wali kelas Rara langsung dihubungi. Dan Bu Yuni selaku yang bertanggung jawab pun memanggil Meirisa seketika. Dia menggunakan kata-kata urgen. Dan Meirisa dengan segenap hati langsung melempar telepon rumah untuk menuju ke sekolah dan menengok kondisi Rara.
"Dia tadi bersamaku, Tante…" kata Arial. Dengan suara paraunya yang sulit dikendalikan lagi. "Jadi Tante boleh pukul aku sepuasnya. Aku lengah, Tante. Tante nggak perlu maafin aku kalo nggak suka."
Meirisa justru melihat adegan itu dengan dada yang ngilu. Lihat Arial yang duduk di bangku tunggu UKS itu dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Dan ketika Meirisa masuk melihat sepanjang kulit kaki kanan Rara yang sungguh mengerikkan, sudah sewajarnya Arial merasa bersalah.
Seharusnya Meirisa marah. Tapi dia percaya kepada anak itu. Maka ketika dia hamper menampar Arial di ambang pintu, gerakan tangannya pun berhenti begitu saja.
"Tolong jangan melakukan kekerasan, Nyonya. Apalagi Anda masih di Kawasan sekolah. Siswa-siswaku akan meniru perilaku Anda bias-bisa…" kata Mr. Bambang. Selaku kepala sekolah. Dia menggandeng Fano saat itu. Dan Fano yang meskipun memiliki wajah yang sangar, ternyata bias langsung meminta maaf kepada Meirisa dengan bungkukan badan penuh penyesalan.
"Ah… tunggu. Kau… kau tidak perlu begitu…"
"Tapi, Bibi. Kak Rara begitu karena aku."
"Tidak apa-apa. Ini hanya kecelakaan," kata Meirisa. Dia pun langsung minta izin atas Rara agar tidak masuk sementara waktu kepada Mr. Bambang. Dan kepala sekolah itu langsung mengiyakan. Bagaimana pun bekas luka melepuh di kaki Rara tidak bias diabaikan. Dia anak gadis. Yang setiap hari harus tampil cantik dengan rok selutut ketika sekolah seperti teman-temannya. Jadi ini benar-benar masalah yang serius.
Mr. Bambang pun menepuk bahu Meirisa dan bilang akan mengurus absen Rara dengan caranya. Ahh… padahal gadis itu akan dia rekomendasikan untuk mengikuti lomba bonsai juga untuk menemanis Feri dan Kana, namun kalua sudah begini apalah daya?
Rara juga harus pulih terlebih dahulu.
Kejadian mengerikkan itu pun berakhir dengan baik meskipun agak sulit diterima. Oleh Meirisa, oleh Arial, oleh Rara sendiri tentunya. Dan ini sungguh-sungguh beban yang harus diselesaikan segera.
"Tidak apa-apa, Nak. Tante tidak menyalahkanmu, Sayang…" kata Meirisa. Lalu memeluk Arial lembut. "Tante udah bicara sama Fano tadi. Dan dia juga udah minta maaf baik-baik. Sekarang Rara Cuma butuh Tante bawa pulang dan dirawat di rumah sementara waktu. So, kalua Tante kerja besok… mau kan bantu jagain dia di rumah?"
"Eh…? Tante?"
"Please…?"
"Tapi kan aku—"
"Iya. Nggak keberatan kan tinggal di rumah Tante lagi?" pinta Meirisa. "Pamanmu nggak mungkin pulang dalam waktu dekat ini. Kerjaannya di luar sungguh banyak. Dia bahkan hanya membaca chat pesanku tadi. Jadi jika boleh…"
"Tentu saja," kata Arial segera. Dia memandang kedua mata Meirisa lembut. "Tentu saja, Tante. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
"Terima kasih…"
Arial tidak menjawab. Wajahnya masih dipenuhi penyesalan. Dia menoleh ke wajah kesakitan Rara melalui kaca. Gadis itu sudah mendapatkan perawatan, tapi kedua matanya masih dipenuhi merah dan sekarang sudah membengkak karena menahan sakit yang teramat sangat.
"Ah… Rara," desah Arial ketika dirinya sudah ditinggalkan sendirian di bangku itu. "Aku ingin bias melindungimu lebih lagi setelah ini…"