Pagi itu di Klub Drama, suasana tak seperti biasanya. Arial dan Rizky, sang sutradara yang biasanya memiliki raut wajah tenang... kini saling tatap dengan urat-urat yang muncul di kedua pelipis masing-masing. Mereka bersitegang. Dan Arial membanting naskah di tangannya ketiga Rizky tetap berpegang teguh kepada keputusannya.
"Apa-apaan naskah ini!" bentuk Arial tiba-tiba. Dia membanting tumpukan naskah drama ke meja. Membuat setiap mulut terdiam. Seketika ruangan itu sepi, padahal Klub Drama adalah satu organisasi yang biasanya paling berisik di sekolah.
Rizky pun mengangkat tangan. "Wait a moment, Arial. Biar ku jelasin dulu mengenai revisi adegan kita—"
"Apanya yang revisi?!" sela Arial. Matanya mulai memerah. "Ini otoriter namanya! Bukankah dari awal aku udah bilang... No sensual scene kalau aku yang jadi pangeran Anthony!" selanjutnya dengan tangan terkepal.
Nafas mereka berdua pun memburu, namun meskipun telah mempertahankan pendapat masing-masing selama beberapa menit, tak ada yang mengalah. Mereka sepertinya memiliki alasan tersendiri, namun untuk Ariel yang sejak awal memberikan persyaratan itu kepada Rizky, jujur dia merasa terkhianati.
Rizky pun menghela nafas panjang. "Kami tahu kamu kesel, Arial. Tapi saingan kita itu SMAN terbaik, dan kita lagi ngincer 3 besar. Lagian itu hanya akting, kan..."
"Ehem..." sela Raka, si pemeran naga. "Aku juga setuju dengan revisinya. Yah... Sekolah lain saja berani mengusung konsep yang lebih berani. Seperti Drag-queen dan Bolero Dance... Mereka mengambil langkah yang cukup memiliki resiko. Bahkan lebih dari kita titik jadi, menurutku jika hanya adegan ciuman itu masih belum apa-apa."
"Nggak!" teriak Arial. Dan suaranya memenuhi ruangan itu. "Sekali nggak ya nggak!" tegasnya berapi-api. membuat bulu kuduk seisi ruangan berdiri. Mereka seperti melihat sosok berbeda dari Arial yang biasanya. Sebab Arial adalah cowok yang sangat ramah. Ia mudah tersenyum, memberikan bantuan, dan ketika siapapun memiliki pendapat yang berbeda, ia sering menoleransi daripada melawan seperti ini.
"Mn, teman-teman..." kata Mira mendadak menyela. Gadis pemeran tokoh Rapunzel itu mencoba melerai Rizki dan Arial. Dia masuk di tengah-tengah mereka berdua. Kedua tangannya terlentang, dan menatap kedua cowok itu bergantian.
Sebagai lawan main Arial, gadis bergaun princess Itu tampak pucat. Memang tidak seperti biasanya terjadi kesenjangan di dalam klub mereka. "Sepertinya kita nggak perlu maksain Arial deh..." katanya takut-takut. "...Ending yang bagus kan nggak selalu pakai adegan kissing."
Mendengar ucapan Mira, Ariel pun menoleh ke wajah gadis itu. "Mira..."
"Tapi itu yang diinginkan penonton, Mir," sanggah Raka. "lagi pula itu sangat simpel titik dibandingkan dengan sekolah lain sih kalau menurutku."
"Tapi kan—"
"Oke, gini," sela Rizky. "Selama ini kita memang membatasi sensual scene mengingat tingkat kesulitannya membutuhkan mental besar, tapi yang kita incar sekarang bukan hanya kemenangan atau trophy, melainkan apresiasi dari agensi ternama. Kalian ingatkan yang datang di acara lomba kali ini bukan hanya juri biasa? Kita di sana juga dilihat para sutradara profesional yang telah menggarap film-film besar. Tentunya dampak itu nggak hanya buat Arial, tapi juga buat semuanya," katanya, mencoba mengangkat alasan logis. Dia lalu menoleh kepada Arial.
Mendukung ucapan Rizky, Raka pun menepuk bahu Arial. "...sebenernya kemarin kita sudah diskusikan ini dengan Mr. Bambang, Ariel," katanya. "Dan beliau udah ngizinin. Bukannya nggak peduli sama prinsip kamu sih, tapi mempertimbangkan pertarungan kita, beliau pun pada akhirnya setuju
Yah... Lagi pula jika kamu udah masuk ke agensi nanti, adegan-adegan yang lebih diluar nalar pasti bakal dilakoni sebagai profesional. Kenyataannya begitu. Jadi, kenapa enggak nangkep itu sebagai latihan aja?"
Ariel dan Raka bertatapan. Kepalan cowok itu yang sempat mengendur, tapi kini menguat lagi. Mereka melihat itu dengan getar-getar takut. Di matanya, Arial seperti bukan Arial saja. Cowok itu seperti ingin menemukan sesuatu, atau bahkan membunuh semua orang yang menekannya di ruangan itu.
Jeda beberapa menit yang menegangkan. Tak ada satupun yang berkata-kata. Mereka mungkin tak ada yang berani berpendapat lagi, apalagi sudah Rizky sendiri yang berargumen dengan Arial. Mereka pikir dengan semua alasan masuk akal itu, Ariel akan berubah pikiran. Namun, tanpa mereka sangka Ariel justru berkata dengan desisan pelan.
"Kalau begitu silahkan cari orang lain untuk menggantikan peranku," katanya. Namun langsung membuat ruangan itu terasa beku.
"APA?!" kaget Rizky. "Wait, Arial?!"
Siang itu, terjadilah sebuah insiden yang tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh siswa di sekolah tersebut. Arial, seorang pangeran Klub Drama, aktor terbaik yang dimiliki yayasan, menjadi kebanggaan dan telah menorehkan banyak prestasi selama ini justru membanting PIN tanda keanggotaannya ke lantai begitu saja.
"Aku keluar dari klub ini..." kata Arial tak peduli. lalu langkah-langkahnya pun menjauh dari ruangan itu begitu saja.
.
.
.
Di antara semua keributan yang terjadi di dalam ruang latihan Klub Drama, Rara sebenarnya menyimak semua yang terjadi sejak tadi. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat. Di sana, tepat di sisi pintu keluar, dia berdiri sendirian. Berusaha menahan isakan sebaik mungkin. Sayang, Arial ternyata bisa mendengarnya saat keluar dari ruangan itu.
"Rara?!" kaget Arial. Dia berbalik dan memburu Rara secepatnya. "Rara kamu kenapa?!" tanyanya cemas, tapi Rara hanya diam. Dia membalas tatapan Arial dengan kedua bola mata berkaca-kaca. Butiran butiran bening itu pun berjatuhan dari pipinya.
"Rara, please... Tell me why?" tanya Arial lagi. Dia semakin mendekat, tapi Rara membuang muka. Kemudian mendorong dadanya pelan.
"Kamu yang kenapa..." kata Rara pelan. "Bukankah semuanya telah berharap sama kamu?" tanyanya.
Ariel tampak berpikir sejenak. "Jadi kamu dengar yang tadi, ya?" Tanyanya balik.
Rara kembali menatap Arial, tapi kali ini dia terlihat marah. "Kamu bilang bakalan ngelakuin yang terbaik kalau dapat dukunganku..." katanya. "Tapi yang barusan itu apa?" suaranya bahkan mulai parau kali ini.
Arial pun menghela nafas panjang. "Ra, kamu udah ngerti masalahnya, kan?" tanyanya. "Dan lihat? kamu nangis sekarang aku cuma enggak mau kamu terluka lebih dari ini, Ra..."
Arial mencoba mengusap air mata itu, tapi Rara menggeleng lemah. "Tapi ini kan impian kamu, Arial," katanya. "Aku juga nggak mau kalau sampai bikin kamu berhenti di sini..."
Arial pun merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dia mengusap belakang kepala Rara lembut. Berusaha menenangkan gadis itu, meskipun ketegangan di sekitarnya semakin terasa.
"Lalu sekarang kamu maunya gimana?" tanya Arial. Dia mencoba menyelami hati gadis itu. Apakah ketika keputusannya berlanjut, semuanya akan tetap baik-baik saja. Sebab, sejak gadis itu membuka diri kepadanya, Arial merasa harus memikirkan langkah yang terbaik. "... Maksudku, apa kamu yakin kalau aku ngelanjutin ini, kamu nggak bakal gimana gimana?"
Rara pun menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa. semua ini demi kebaikan kamu, sekolah kita, dan teman-teman juga. Aku nggak mau kalau cuma gara-gara aku... Semua jadi berantakan."
"Oke..." kata Arial kemudian. Mereka lalu melepas pelukan itu. Di depan pintu Klub Drama. Dibawah langit biru, mereka berdua pun berjanji... bahwa tidak ada yang bermaksud saling menyakiti. Hanya sayang. Dan Arial pun kini mengerti kenapa Rara bersikeras menahannya untuk terus maju. "Kalau begitu, aku akan ngelakuin ini buat kamu."
Rara pun tertawa pelan. "Makasih ya, Arial. Untuk selanjutnya, aku harap kamu terus melakukan yang terbaik..."