Abian yang berada tepat didekat taman langsung turun dari motornya. Tangannya pun terangkat untuk melepas helm full face di kepala. Langkah Abian mengayun pelan dengan manik terkunci pada Bima. Siapa yang bersamanya? tanya Abian dalam batinnya. Kebohongan Bima membuat Abian harus lebih waspada.
Kondisi taman disana sangatlah ramai dari biasanya. Banyak orang berlalu lalang didepan Abian hingga ia harus lebih fokus agar objek tatapannya tak hilang.
Dari posisinya, Abian dapat melihat interaksi antara Bima dan seorang lelaki yang memunggunginya. Keduanya terlihat akrab hingga tampak seperti kawan lama.
Abian menatap lamat- lamat lelaki yang bersama Bima. Wajah yang tertutup topi dengan masker membuat Abian sulit untuk mengenalinya.
Langkah Abian sudah sangat dekat dari mereka. Namun ia tak mau ambil resiko jika harus menemui mereka sekarang juga. Sehingga Abian lebih memilih untuk bersembunyi dibalik pohon tak jauh dari sana. Jarak yang berkisar 5 meter pun membuat Abian tak terlalu jelas mendengar percakapan mereka.
Sayup- sayup Abian mendengar suatu kata yang janggal di telinganya. Telinganya menajam kala tak sengaja mendengar kata Leonard disebutkan mereka. Manik Abian pun mulai menerka- nerka. Ia sama sekali tak bisa membaca gerak bibir dari Bima. Sedangkan orang disebelahnya, ah lupakan, bahkan Abian hanya bisa melihat matanya.
Hanya sekitar 2 menit Abian bersembunyi dari tempatnya. Namun seseorang yang dicurigainya sudah berpamitan dengan Bima. 'Secepat inikah?' batin Abian mulai jengkel disana. Bahkan ia belum mendapat informasi apa- apa. Namun lelaki itu telah menghilang dari tempatnya.
"Dia siapa? Kenapa bawa- bawa Leonard?" tanya Abian pada dirinya. Tangannya pun berkacak pinggang seraya menatap fokus kedua orang yang sudah beranjak dari sana.
Namun Abian hanya bisa menghembuskan napasnya kasar. Rupanya saat ini ia harus mengalah dengan keadaan. Sekarang ia harus pergi dengan hati yang mengganjal. Rasa penasaran, bersalah, dan keinginan untuk mengungkap kebenaran tercampur jadi satu layaknya adonan.
Abian mulai kesal ditempatnya. Sia- sia ia memberhentikan motor hanya untuk sesuatu yang tak ada hasilnya.
Abian mengayunkan kakinya kembali menuju motornya. Ia segera menggunakan helm lalu menancap gas melanjutkan kembali perjalanannya. Jujur, seseorang yang ditemui Bima di taman tadi membuatnya berpikir keras siapa dia sebenarnya. Wajah yang tertutup topi dan masker menambah rasa curiga seolah tak ingin siapapun mengetahui identitasnya.
Motor Abian mulai memasuki pekarangan rumahnya. Bunga- bunga langsung menyambut hadirnya Abian dalam bangunan megah bak istana. Ia terus melajukan motornya untuk sampai di garasi rumah.
Namun ada yang janggal kala Abian baru menapakkan kaki masuk ke dalam rumah. Abian mendengar seseorang tengah bicara berbisik dari arah dapur yang bersebelahan dengan garasi rumahnya.
Abian yang ingin mencuri dengar pun langsung mendekat kearah sumber suara. Ia mengintip dari balik pintu untuk melihat siapa pelakunya.
Dari dapur sana, tampak dua pembantu yang sedang bekerja tengah berbicara. Manik mereka memelas seolah mengasihani seseorang yang dikenalnya.
"Kasihan banget Neng Kean," ucap seorang pembantu yang tengah mengelap gelas dengan nada rendahnya.
"Iya kasihan. Dipukul kok sampai segitunya," ucap temannya membalas ucapannya.
Abian yang ketika itu mendengar dengan jelas pun langsung termenung ditempatnya. Dipukul? batin Abian bertanya- tanya.
"Maksud kalian apa?" tanya Abian langsung menghampiri kedua art di rumahnya. Sungguh ia tak mengerti maksud mereka. Apa yang terjadi dengan Keana. Siapa yang berani melakukannya? Apa alasannya? Begitu banyak pertanyaan dalam hatinya. Rasa bersalah pun kian besar dalam benaknya. Apakah ini semua terjadi karena dirinya?
"Eh Den, e- enggak ada apa- apa," jawab salah satu dari mereka dengan nada gugupnya. Ia benar- benar takut jika Abian memarahi mereka karena ketahuan bergunjing tentang keluarga mereka.
"Keana dipukul siapa? Kenapa?" tanya Abian mulai menatap dingin kearah mereka. Alisnya pun mengerut seolah tak ingin mereka berbelit- belit lagi untuk menjawab pertanyaannya.
"Itu Den, Neng Keana dipukul Pak Aditya." jawab sang art dengan menundukkan kepala. Ia tak tahu apa yang dikatakannya benar atau salah menurut sang anak majikannya. Akankah ia akan menghukum mereka?
Abian yang mendengarnya hanya bisa mematung ditempat. Apa saja yang terjadi saat ia tak ada?
"Ceritakan semua!" ucap Abian dengan nada memerintahnya. Sungguh siapapun yang telah menyakiti Keana ia tak akan memaafkannya. Walaupun itu sang ayah semata.
"Jadi waktu Neng Kean baru pulang, Pak Aditya tanya, kenapa Aden belum pulang juga?" jawab sang art mulai menceritakan kejadiannya. Namun ia sengaja menjeda untuk memastikan seberapa marah Abian pada ucapan mereka.
Maniknya menatap Abian yang masih belum mengubah ekspresi wajahnya. Menakutkan.
"La- lalu Neng Keana jawab kalau dia minta beliin pizza sama Aden di deket balai kota," lanjut sang art dengan gugupnya. Ia benar- benar takut akan reaksi Abian pada mereka.
Balai kota adalah tempat yang sangat jauh dari rumah dan sekolah mereka. Mengapa Keana berani mengatakan itu pada ayah mereka?
"Pak Aditya marah, beliau langsung tampar Neng Kean soalnya berani nyuruh- nyuruh Aden kayak pembantunya,"
Sedangkan Abian semakin terpatung dibuatnya. Kebohongan macam apa itu? Apakah Keana sengaja berbohong karena tahu Abian telah kembali bersama gengnya?
Rasa bersalah Abian yang sudah menuduh Keana mata- mata membuatnya ingin lenyap saat itu juga. Mengapa ia bisa sekasar itu memfitnah orang yang telah berusaha untuk melindunginya?
Manik Abian semakin menurun seakan meratapi rasa malu. Ya, ia malu untuk bertemu Keana. Namun hatinya sangatlah ingin memeluk dengan mengucap kata rindu.
"Sebenarnya itu bukan kali pertama Pak Aditya tampar Neng Kean," ucap sang art dengan nada bimbangnya. Ia sebenarnya takut mengatakannya, namun rasa iba terhadap Keana telah mengalahkannya.
"Apa?" Abian semakin terkejut dengan pernyataan sang art di rumahnya. Ternyata terlalu banyak luka yang dialami Keana diluar sepengetahuan dirinya.
"Apa Aden inget waktu Aden nggak pulang sampai pagi?" tanya sang pembantu berusaha mengingatkan Abian.
Abian berpikir sejenak disana. Maniknya sedikit naik ketika berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Saat dimana ia tak pulang sampai pagi adalah saat ketika ia mabuk bersama teman- temannya. Dan disaat pulang, keadaan rumahnya sangatlah kacau dengan Keana dan sang bunda yang terduduk lemas di lantai rumah mereka.
"Iya, inget. Kenapa?" tanya Abian setelah berhasil mengingat kejadian yang ia kira tak akan terbongkar.
"Waktu itu Neng Keana bilang kalau waktu Aden baru pulang lari pagi, Neng Keana suruh balik lagi buat beli bubur. Apa itu bener?" tanya sang art sedikit ragu. Karena ia tahu jelas bagaimana watak sang anak majikan.
Abian pun hanya bisa menggeleng pelan. Kepalanya tertunduk dalam. Perlahan, kakinya mulai mengayun meninggalkan dapur. Langkahnya terus membawa Abian menuju ke sumber penuhnya pikiran.
Kaki Abian kini telah sampai di depan kamar sang saudara tiri. Orang yang telah ia tuduh mata- mata padahal berusaha melindungi.
Dari luar Abian dapat mendengar suara sesegukan seseorang. Ia yakin kalau gadis kecilnya tengah menangis sendirian.
Tangan Abian mulai terangkat untuk membuka pintu kamar. Pemandangan seorang gadis yang tengah berjongkok di balkon kamar kian menyayat bagaikan pedang di relung hati terdalam.
Abian merasa iba. Entah mengapa kakinya terus saja berjalan mengikuti kata hati untuk mendekatinya. Rasa ingin menenangkan sungguh membuatnya kian mengikis jarak diantara mereka.
"Keana," ucap Abian yang langsung membuat sang pemilik nama menengadah menatapnya.
Dalam satu gerakan, Abian memeluknya.