Ruangnya gelap. Udaranya pengap. Tak ada sedikit pun penerangan kecuali sinar matahari yang mencuri- curi ruang dari balik gorden.
Setelah kepergian Abian, Keana memilih untuk menutup semua pintu dan jendela kamar. Keana hanya menutupnya. Entah mengapa ia tak ingin mengunci ruangannya. Walaupun begitu ia masih bisa merasakan kesendiriannya. Toh juga siapa yang mau masuk ke kamar kecil dan paling sudutnya.
Maniknya memerah. Luka bekas tamparan di pipinya seolah masih tak mampu untuk mengalahkan rasa sakit hatinya. Ia benar- benar tak tahu sebenci apa mereka atas hadirnya.
Keana memilih untuk dengan berjongkok disamping pintu untuk sampai ke balkon kamar. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya. Ia merasa kedinginan dengan pikiran yang semakin melayang.
Ia membutuhkannya sekarang. Sesuatu yang selalu menjadi penyelamat kala pikirannya telah kembali kalut denga keadaan.