"Oke semuanya, untuk mengisi jam pelajaran yang telah kosong ini, marilah kita bersama- sama bernyanyi dengan sepenuh hati untuk mengusir kegundahan yang saat ini terjadi!" ucap Abian dengan nada khas Roma Irama yang sengaja ditirukannya. Meja disudut ruang kelas yang menjadi tempatnya berdiri pun seolah siap untuk menjadi panggung dadakannya. Kemoceng telah siap dipegang untuk menjadi mic andalan.
Disampingnya, Genta telah berdiri dengan memegang sapu sebagai gitar khalayan. Sedangkan dari arah depan, Revan bersedia dengan memegang pengki yang diarahkan seolah menjadi kamera kebanggaan.
Satu kelas kompak tertawa dengan aksi most wanted sekolahnya. Bukan hanya tampan, mereka juga pandai untuk menghibur kawan- kawan ketika suntuk datang.
Beda halnya dengan Rizky, ia paling anti untuk mempermalukan diri sendiri. Sudah cukup saat dimana sepatunya jatuh ke selokan yang penuh air karena Abian. Ia tak mau harga dirinya jatuh lagi.
"Minuman keras, miras!
Apapun jenismu..
Tak akan disentuh lagi dan tak akan kuminum lagi walau secuil, secuil!" suara Abian mengalun dengan nada dibuat- buatnya yang makin mendapat sorakan ramai dari teman sekalasnya. Lirik lagu yang acak- acakan pun tak lagi dipikirkannya. Saat ini Abian hanya ingin menghibur diri agar ia bisa segera keluar dari masalah yang saat ini dihadapinya.
Aksi Abian, Revan, dan Genta sukses membuat tawa XI IPA 2 pecah begitu saja. Mereka kompak menikmati aksi ketiga lelaki tampan kelasnya. Bahkan tak jarang yang mengabadikan aksi ewat kamera ponsel mereka. Sedangkan Rizky hanya geleng- geleng kepala. Sungguh demi apa kalau mereka adalah sahabatnya?
"Astagfirllah!" pekik seseorang dari ambang pintu mengundang perhatian seluruh anak kelas XI IPA 2. Dari sana tampak Bu Diah yang memandang dengan tatapan siap memangsa miliknya.
Tiga anak dengan kelakuan minus itu sedang berdiri diatas meja. Memegang peralatan kebersihan sebagai alat untuk menggelar aksinya. Bu Diah sampai melotot melihat ketiganya yang kompak menatap dengan tatapan polosnya. Seolah mereka tak salah apa- apa.
Baru saja mulut Bu Diah terbuka untuk memarahi mereka, ketiganya sudah berlari lewat pintu belakang kelasnya. Bahkan Abian pun sempat menarik tangan Rizky yang tengah duduk tak jauh dari mereka agar ikut bersamanya.
"Abian!!"
*
Pagi itu situasi dikelas Keana sangatlah berbeda dengan biasanya. Kelas XI IPS 1 yang selalu dijunjung karena solidaritasnya kini hilang seketika. Semua anak kelas sana kompak mengucilkan satu nama, Keana.
Keana yang biasanya selalu aktif dikelas pun kini diam tak bersuara. Hadirnya gosip di mading sekolah pagi tadi berhasil merusak moodnya. Ditambah lagi dengan tatapan teman- temannya yang seolah menatap jijik kearahnya. Keana tak betah berada disana. Matanya sedari tadi hanya melamun memandang sang guru yang sibuk mengoceh menerangkan materi didepan kelasnya.
"Van, ke kamar mandi yuk!" ajak Keana mengajak Vanya yang tengah sibuk mencatat materi disampingnya. Mata gadis itu begitu indah. Hidungnya mancung terbentuk dengan sempurna. Kulitnya pun seputih susu. Dan jangan lupakan kebaikan hatinya itu. Apakah benar Keana menjadi penengah antara Regan dan Vanya?
"Keana!" panggilan Vanya memudarkan lamunan Keana. Rupanya gadis itu telah menjawab ajakan sedari tadi tanpa disadarinya.
Keana dan Vanya pun melenggang dari ruang kelas mereka. Akhirnya Keana bisa lolos dari tatapan menghujat teman- temannya. Walau hanya sebentar, setidaknya itu bisa meredakan lara yang dirasakannya.
Dengan perlahan, langkah Keana dan Vanya bergerak menuruni tangga. Toilet di lantai satu adalah tujuan mereka. Namun perjalanan kali ini sungguh berbeda. Sepanjang koridor, Keana hanya mendapat tatapan jijik dari para siswa. Bahkan tak ada satupun orang yang menyapanya seperti biasa.
"Sabar ya, gue tau lo kuat!" ucap Vanya dengan lirihnya. Pasalnya ia tahu kalau tatapan aneh mereka tertuju pada sahabatnya.
"Makasih banyak Vanya," jawab Keana sembari mengukir senyum kecil dibibirnya. Setidaknya saat ini ada seorang teman yang mau menyemangatinya.
Keduanya pun kini mulai memasuki toilet yang menjadi tujuan mereka. Keana tidak ingin buang air sebenarnya, ia hanya ingin mencuci muka untuk meredakan suntuknya.
Sedangkan Vanya ia memasuki salah satu bilik kamar mandi yang ada di toilet sana. Dari luar Keana dapat mendengar suara kran air yang dinyalakan dari kamar mandi tempat Vanya.
Brakk!
Suara terbantingnya pintu sontak mengagetkan Keana. Gadis yang semula mencuci muka dengan santainya pun kini terperangah kaget akibat ulah seorang perempuan yang ia yakini adalah kakak kelasnya.
"Lo benalu Abian, ya?" tanya perempuan itu langsung pada intinya. Matanya pun menatap dari atas sampai bawah seolah meremehkan penampilannya.
"Maksudnya?" tanya Keana berusaha untuk berpikir positif disana. Pasalnya kondisi toilet sangatlah sepi sekarang. Vanya pun tak mungkin mendengar apa yang terjadi pada Keana mengingat bunyi kran air yang telah dinyalakan.
"Lo tuh cuma anak pelacur! Sadar diri dong, lo cuma numpang! Kenapa tega- teganya sih lo jadi mata- mata? Dibayar berapa sama mereka?" tanya gadis itu dengan kalimat menohoknya. Tatapannya kian membuat Keana tak nyaman berada disana.
Keana mengalihkan perhatian matanya, ditatapnya nama Gladys Maulydia tertera diseragamnya. Badge kelasnya pun membuktikan kalau ia berada di satu angkatan diatas Keana.
"Gue bukan anak pelacur! Gue juga bukan mata- mata! Jadi jangan pernah ikut campur urusan orang lain tanpa tahu kebenarannya!" hardik Keana berusaha melawan bullyan Gladys yang kian menatap dengan nyalangnya.
Plakk!
Satu tamparan mendarat mulus dipipi Keana. Tamparan yang berhasil membuatnya merasakan sedikit nyeri disana.
"Lo dibilangin batu banget ya! Gue peringatin sama lo, jangan pernah coba buat ganggu Abian! Atau lo akan tanggung akibatnya!" ancam Gladys lalu segera pergi meninggalkan Keana. Keana mematung disana. Lagi- lagi mereka menyebutkan sebagai anak pelacur yang menumpang dirumah Abian. Kenapa mereka selalu menghakimi orang lain tanpa tahu kebenarannya?
Tak terasa setetes air mata berhasil lolos dari tempatnya. Namun dengan cepat Keana menghapusnya ketika mendengar pintu bilik kamar mandi dibelakangnya telah terbuka. Ia pun kembali membasuh wajahnya menghilangkan jejak air mata.
"Udah Keana?" tanya Vanya sambil membenarkan seragamnya. Ia pun tersenyum ramah menatap Keana yang masih setia tertunduk disana.
Keana hanya mengangguk menjawab pertanyaan temannya.
Keduanya pun berjalan beriringan meninggalkan toilet disana. Namun langkah Keana berat seberat penderitaan yang ditanggungnya. Akan ada masalah apa lagi dalam hidupnya?
"Keana kenapa?" pertanyaan Vanya berhasil membuyarkan lamunan Keana. Bagaimanapun ia tak akan membiarkan siapapun mengetahui pembullyan yang dialaminya barusan.
"Gue.." jawaban Keana menggantung begitu saja. Tatapannya kini tengah tertuju pada Abian yang tak sengaja berlari melaluinya. Abian berlalu begitu saja. Apakah ia tak percaya dengan Keana?
"Abian," ucap Keana lirih menahan air matanya.