"Apa Bima masuk sekolah hari ini?" tanya Abian dengan suara baritonnya. Panggilan telepon kini dilakukan untuk mengetahui kejanggalan di hatinya.
"Nggak, dia bolos hari ini. Emang kenapa?" jawab seseorang dari seberang sana. Sang ketua kelas Bima.
Abian yang kini berada di kamar mandi dalam markas langsung terdiam begitu saja. Jadi Bima membohonginya. Untuk apa?
Tanpa berniat menjawab pertanyaan ketua kelas Bima, Abian langsung memutus sambungan telepon mereka. Langkahnya pun terayun pergi tanpa sepatah kata.
Sore itu, Abian langsung memutuskan untuk pergi dari markasnya. Emosinya meluap begitu saja. Sangat jengkel rasanya jika seseorang yang kita percaya menyembunyikan sesuatu pada seseorang. Sebenarnya apa maunya?
Abian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Kini tujuannya bukan lagi markas yang menjadi tempat penuh kenangan, namun menuju ke teman- teman yang begitu yakin akan kebenaran.
Motor 250 cc milik Abian kini mulai memasuki sebuah cafe yang berada tepat ditengah kota. Tempat dimana ia dan kawan- kawan terbiasa menghabiskan waktu disana.
Dengan cepat, Abian langsung turun dari motornya dan mulai berlari memasukinya. Mata Abian menjelajah setiap sudut cafe yang mulai ramai pengunjung. Maniknya mencari- cari dimana mereka. Dan, yap! Ia menemukannya. Ketiga teman yang selalu menghiasi hidupnya. Genta, Rizky, dan Revan tentunya.
"Guys!" ucap Abian seraya menepuk bahu salah satu diantara mereka. Tatapannya penuh dengan tanda tanya. Napasnya pun tersenggal- senggal seolah banteng telah mengejarnya.
"Buset! Abis maraton lo?" tanya Genta dengan nada kocaknya. Jujur saja, ia sempat terkejut dengan kehadiran Abian yang tiba- tiba. Bukan itu saja, dengan napas yang ngos- ngosan semakin membuat mereka bertanya- tanya.
"Ada apa?" tanya Revan dengan raut seriusnya. Ia tahu Abian tak akan datang dengan tanpa menghubungi mereka jika tak ada keperluan yang mendesak.
"Lo bisa ceritain kejadian apa aja yang terjadi sampai Keana bisa sampai diculik waktu itu?" tanya Abian langsung pada inti. Netranya pun menatap satu- persatu kawannya mengharap jawaban yang pasti.
"Waktu markas habis diserang dan lo terkapar, Keana nangis banget. Dia bahkan rela nggak tidur cuma buat nungguin lo sadar," jawab Genta dengan seriusnya. Alisnya pun terpaut seolah mengatakan yang sejujurnya.
"Dan waktu nyokap tanya lo kenapa, dia bikin alibi kalau lo dibegal waktu pergi bareng kita," ucap Revan dengan nada yang sama. Bahkan maniknya menatap dengan penuh keyakinan pada Abian yang juga menatapnya.
"Dia bohong cuma buat ngelindungin lo, dan bego' nya elo karena nggak pernah percaya!" hardik Rizky langsung dengan nada dinginnya. Rizky memang tipe orang yang tak bisa sabar berlama- lama. Ia selalu ingin menghardik, membentak, bahkan menghajar seseorang yang sungguh kepala batu menurutnya.
Abian semakin merasa bersalah disana. Seharusnya ia mendengar terlebih dahulu tentang apa yang terjadi dari Keana.
"Waktu di rumah sakit, dia keluar ruangan, dan Keana nggak sengaja lihat Bastian. Lo tau 'kan kalau mereka itu deket, spontan Keana langsung masuk kedalam ruangan dia. Dia khawatir sama Bastian juga, tapi dia masih belum tau kalau Bastian adalah pelakunya." ucap Revan melanjutkan ceritanya. Badannya pun kini bersandar di kursi yang tengah didudukinya.
"Dan pas dia baru aja masuk, anak buah Bastian dateng. Dan lo tau kenapa mereka paksa bawa Keana?" ucap Revan bertanya. Alisnya mengerut bukti keseriusannya.
"Karena gue?" jawab Abian sedikit tak yakin dengan ucapannya. Maniknya menatap Revan yang mengangguk membenarkan jawabannya. Abian benar- benar diliputi rasa bersalah. Ia sungguh malu pada perbuatannya yang mencampakkan adiknya.
"Ya, karena dia adalah adik dari musuh bebuyutan mereka!" ucap Revan seraya menganggukkan kepala. Tangannya pun terangkat menyunggar rambut untuk bersiap meneruskan ceritanya.
"Keana juga diancam sama Ales buat ada di pihak mereka. Kalau enggak, elo dan Bastian bakal nggak ada," ucap Revan panjang lebar pada temannya. Ia menjelaskan serinci- rincinya tentang kejadian yang terjadi sudah beberapa lama.
Abian menunduk dalam disana. Ia bingung mengapa Bima memelesetkan kebenarannya.
"Kenapa lo tiba- tiba tanya?" tanya Genta diliputi rasa ingin tahunya. Tangannya kini sudah ada diatas meja menyangga dagunya. Manik pun menatap dengan mata berbinarnya.
"Najis ogeb!" hardik Rizky seraya mendorong tubuh Genta.
"Iri banget sih lo!" jawab Genta dengan tangan menyunggar rambut lagak seorang wanita.
"Gue curiga sama Bima," jawaban Abian langsung membungkan mulut mereka semua.
"Apa hubungannya sama dia?" tanya Rizky langsung membenarkan posisi duduknya. Maniknya menatap dengan alis mengerut seolah tak percaya.
"Bima yang udah nuduh Keana mata- mata. Dia juga yang udah ngehasut gue biar nggak percaya lagi sama Keana. Dan absurdnya, dia tau kalau tadi gue nganter Gladys pulang tepat didepan Keana," ucap Abian dengan nada menggebu- gebunya. Ia benar- benar tak habis pikir dengan sikap Bima yang berubah drastis layaknya serigala berbulu domba.
"Dia tadi juga bohong sama gue kalau dia masuk sekolah, nyatanya waktu gue telepon ketua kelasnya, lo tau dia jawab apa?" lanjut Abian dengan manik nyalangnya. Emosinya memuncak begitu saja. Karena praduga penghianat telah ada dalam geng mereka.
"Apa?" tanya ketiganya kompak sembari menatap intens ketua Leonard.
"Bima nggak masuk. Dia bolos. Jadi darimana dia tau kalau gue nganter Gladys saat seluruh anggota Leonard yang satu sekolah pun nggak tau?" ucap Abian kian meninggikan suara. Ia teramat yakin kalau Bima adalah mata- mata. Tapi untuk siapa? Apa tujuannya?
"Apa jangan- jangan?" ucap Genta seraya menatap ketiga temannya. Maniknya membola seakan tak percaya dengan apa yang dipikirkannya.
"Bima mata- mata?" ucap Rizky dan Revan bersamaan saat itu juga. Ternyata pikiran mereka sejalan. Namun terlalu sedikit bukti yang dapat membenarkan.
"Gue belum tau itu, tapi gue berharap nggak ada satupun dari anak Leonard yang punya pikiran sebangsat itu," ucap Abian seraya mengusap wajahnya kasar. Maniknya memerah seolah lelah dengan kenyataan. Apa salahnya pada Bima hingga ia berani mengacaukan kehidupannya?
"Kita bakal selidiki, lo tenang aja!" ucap Revan dengan tangan mengelus punggung Abian menenangkan.
Sepertinya hari ini menjadi hari paling melelahkan bagi Abian. Sifat konyolnya seakan hilang dibalik hutan belantara. Tak ada sedikit pun senyum pada wajahnya. Dalam pikirannya hanya fokus pada Bima. Namun hatinya kian merasa bersalah pada Keana. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Hingga semua membutakannya. Ia seolah tersesat dengan topeng- topeng orang yang bahkan ia tak tahu baik buruknya.
Abian memutuskan untuk pulang dari cafe meninggalkan ketiga sahabatnya. Pikirannya lelah. Ia hanya ingin beristirahat sejenak untuk hati dan otaknya.
Abian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Bibirnya tertawa hambar menertawakan nasibnya. Mengapa takdir merumitkan hidupnya?
Dalam perjalan, Abian tak sengaja melihat siluet seseorang saat ia melewati taman. Sontak ia langsung menghentikan laju kendaraannya. Tangannya terangkat membuka kaca helm untuk memperjelas penglihatannya.
Dalam posisinya, Abian dapat melihat seseorang yang teramat dikenalnya tengah bercengkrama. Tawa lebar pun kian terukir di bibir mereka. Mereka sangatlah akrab hingga terlihat seperti kawan lama.
"Bima?"