(PERAWAN CINTA )
Setelah enam bulan kepergian bibi Imah dari rumahku. Rumah terasa sepi dan hampa buatku. Terlebih lagi aku dari kecil sampai SMA di urus bibi Imah. Dan kini aku merasa kangen berat dengannya. Hanya bisa mengobrol lewat video call sebagai pengobatan rasa rinduku. Saat makan malam tiba. Aku beranjak pergi ke ruang makan untuk bergabung makan malam bersama ayah,ibu dan Rafaela serta anak balitanya.
" Gimana dengan kerjaan kamu?! Sudah dapat pekerjaan belum?! tanya ayahku.
" Belum yah. Aku masih freelance bantu toko teman aja selama ini. Lumayan buat ngisi waktu luang aku selama enam bulan ini" ujarku sambil menikmati makan malam.
" Kerjaan begitu mana enak sih?! Udah kamu training di perusahaan ayah aja. Jadi resepsionis. Ntar kalo ada lowongan kerja di office baru ngelamar" rayu ayahku.
" Gak usah,yah. Gak mau ngerepotin. Aku mau cari kerja hasil usahaku sendiri. Bukan bantuan ayah. Pengen buktiin ke ayah dan ibu kalo aku bisa jadi anak yang membanggakan."
" Kerja di toko kosmetik kok bangga. Di gaji berapa sih disana?! Udah kerja aja di kantor ayah. Akan ayah gaji kamu Tiga kali lipat" ujar ayah meremehkan.
" Aku gak menilai pekerjaan dari nominal uangnya. Yang aku cari pengalaman nya yah. Makasih atas tawaran pekerjaan nya. Aku mau mandiri yah. Maaf ya" ujar ku dengan nada merendah.
" Ya udah terserah kamu. Tapi kalo kamu berubah pikiran bisa hubungi ayah di kantor".
Dan pembicaraan aku dan dengan berlangsung alot.
Karena aku menolak untuk bekerja di kantor nya. Terlebih perusahaan jam tangan dan tas branded punya Ayah selalu laris penjualan nya di pasar Indonesia dan internasional. Aku tak mau bila bekerja disana karena hasil Nepotisme. Lalu setelah makan aku bergegas tidur karena besok kembali bekerja di toko kosmetik milik Mathilda.
Esok pagi hari setelah sarapan. Aku bersiap berangkat kerja. Namun terdengar keributan di ruang tamu. Akupun bergegas menyaksikan nya. Terlihat ayah,ibu, Rafaela dan pak Sudarjo, tukang kebun di rumah ku.
"Tolong kamu bicara jujur sama saya. Soalnya waktu bibi Imah hendak pergi dari rumah ini. Tak sengaja saya mendengar percakapan kalian. Dan saya dengar pesan dari bibi Imah kalo kamu enggak boleh berkata yang sebenarnya. Bener atau enggak?! ucap tegas Ibuku.
" Iya maaf sebelumnya nyonya besar, tuan dan nyonya muda. Saya memang di suruh bungkam sama bibi Imah soal kejadian nyonya muda yang kehilangan perhiasan berlian nya" ucap pak Sudarjo, tukang kebun di rumah ku.
" Iya terus apa yang kalian sembunyikan" teriak Ibuku.
" Sehari sebelum kamar bibi Imah di geledah. Saya gak sengaja melihat nyonya muda masuk ke kamarnya bibi Imah. Dan saya lihat nyonya muda memasukan perhiasan berlian nya ke selorokan lemari baju bibi Imah. Setelah itu nyonya muda lari terburu-buru" ucap pak Sudarjo ketakutan.
" Itu semua bohong mas!! Jangan percaya dengan omongan dia. Semua orang di rumah ini bersengkokol untuk menyudutkan aku,mas!! Jelas -jelas mereka semua memfitnah aku karena benci sama aku" ucap Rafaela membela diri.
" Kalo Tuan dan nyonya enggak percaya. Ini lihat buktinya masih ada terekam video saat nyonya muda masuk ke kamarnya bibi Imah" ujar pak Sudarjo sambil memberikan hape pada ayahku.
Dan saat melihat rekaman video yang berdurasi Satu menit. Membuat ayahku terkejut dan dengan ekspresi wajah yang malu di telah salah menuduh bibi Imah selama ini yang selalu bekerja giat tanpa melakukan kesalahan apalagi pencurian.
"Kenapa kamu baru berita sekarang mang?! tanya ayah yang malu padaku dan ibu.
"Maafkan saya tuan. Saya di suruh bungkam sama bibi Imah karena gak mau tuan sakit hati bila tau kebenarannya" ujar pak Sudarjo.
" Nasi udah jadi bubur. Semua juga sudah terlambat. Bibi Imah sudah balik ke kampung nya. Sebagai hukumannya,kamu Rafaela harus minta maaf ke semua orang di rumah ini. Dan melanjutkan tugas bibi Imah beberes rumah dan mencuci baju juga menyiapkan makan" ujar ayah memberikan hukuman kepada Rafaela.
" Kok kamu tega sih mas sama aku?! Aku sama sekali gak bersalah!!" ujar Rafaela.
" Ini bukti di hape mang Sudarjo sudah jadi bukti akurat dan kamu bukannya mengakui kesalahannya malah saja menyangkalnya" ujar ayahku marah.
Dan pak Sudarjo pergi melanjutkan pekerjaannya. Lalu Rafaela menangis sambil menggendong anaknya. Kemudian berlari ke kamar tidurnya.
" Sekarang lihat kan. Ucapan Rafaela Yang menurut ayah benar ternyata salah dalam berucap dan berperilaku selama ini. Dan Bibi Imah yang menurut ayah salah. buktinya ternyata bibi Imah benar tak melakukan pencurian. Sekarang juga percuma bilang maaf ke bibi Imah. Takkan membuat bibi Imah kembali bekerja disini. Jujur aku malu dengan sikap ayah seperti ini. Aku bakalan nyusul ke kampung bibi Imah buat minta maaf" ujarku kecewa.
" Maafkan ayah ya sayang. Belum jadi ayah yang terbaik buat kamu dan ibu kamu. Kalo kamu mau ke kampung bibi Imah tolong sampaikan maaf ayah untuknya" ujar ayahku bersedih.
" Ayah sendiri yang memecat bibi Imah dan berkata kasar padanya. Jadi harus ayah sendiri yang bilang maaf kepadanya. Aku mau tinggal bareng bibi Imah. Udah muak tinggal di rumah yang penuh kebohongan. Dan kini semua kebohongan terkuak setelah bibi Imah pergi dari rumah ini. Apa ayah gak merasa menyesal udah melepaskan dan memecat orang yang jujur seperti bibi Imah . Yang sudah bekerja selama hampir 25 tahun." ujarku menyindir keras.
Setelah aku mengeluarkan unek-unek dalam hatiku yang selama ini aku pendam dalam hati. Akhirnya terlampiaskan. Aku pun bergegas merapihkan baju dan memasukan ke koper bergegas untuk pergi dari rumah menuju terminal terdekat menyusul bibi Imah di kampung halaman nya Jogjakarta.
" Sayang, kalo kamu beneran mau tinggal bareng bibi Imah tolong ini ambil sedikit tabungan ibu buat bertahan hidup disana" ucap ibuku sambil memberikan amplop coklat berisikan uang tunai miliknya.
" Gak usah repot-repot,Bu. Aku masih ada tabungan yang aku kumpulkan sewaktu kuliah dari ibu. " ujarku menolak.
" Tidak,sayang. Ini buat bekal kamu hiduo disana. Ibu tak mau kamu merepotkan bibi Imah. Kamu juga harus mandiri. Biar ibu ikut kamu sampai terminal ya" ujar ibuku sambil menangis.
" Baiklah kalo begitu. Kalo aku udah punya pekerjaan tetap aku bakalan ganti uang ibu,ya" janjiku.
" Tak usah,sayang. Dengan kamu tetap sehat dan tak merepotkan bibi Imah sudah jadi ketenangan sendiri buat ibu. Kalo sudah sampai disana jangan lupa berkabar pada ibu" ucap ibuku mengawali perpisahan kami.
Kemudian aku di antarkan ibu dengan mobil punya ayah dengan di sopirin oleh Pak Darsono. Sopir kesayangan ayahku. Setibanya di terminal aku langsung beli tiket dan masuk ke bus sambil membawa koperku. Dan ibuku yang melihat ku di luar hanya bisa melambaikan tangan sambil menangis melepaskan kepergian aku yang ke kampung halaman bibi Imah.