(PERAWAN CINTA)
Aku dan teman-teman berbincang di rumah Mathilda hingga larut malam. Menghabiskan waktu dan melepaskan rasa rindu yang mendalam setelah hampir lima tahun lebih aku terpisah dengan mereka karena menimba ilmu di luar kota, daerah Malang ,Jawa Timur. Pulangnya aku di antarkan pulang Mathilda dengan mobilnya. Sesampainya di rumah. Aku bergegas ke kamar tidurku. Dan kemudian beristirahat. Dan keesokan paginya. Setelah aku mandi dan bersiap untuk sarapan bersama. Aku dengar suara kegaduhan saat hendak menuju meja makan. Aku lihat istri muda ayahku marah sambil menangis. Sedangkan Bibi Fatimah(Imah) pembantu yang mengurus pekerjaan rumah membantu ibuku membersihkan dan menyiapkan makanan setiap pagi dan malam hari terlihat duduk sambil wajahnya menuduk pasrah. Lalu aku menghampiri keributan disana.
" Tolong ya mas. Ajarin ini bibi Imah buat berkata jujur. Berlian yang mas kasih ke aku hilang. Kan yang biasa bersihin kamar bibi Imah" ucap Rafaela menuduhnya.
" Sumpah demi Allah tuan. Selama saya hampir Dua puluh lima tahun. Saya bekerja disini tidak pernah ada kasus pencurian. Mungkin nyonya muda lupa naroh berliannya" ucap Bibi Imah.
" Sudah tenang sayang. Bibi Imah tak mungkin melakukan hal semacam itu. Dia sudah bekerja disini selama dua puluh lima tahun. Tidak mungkin untuk mencuri ataupun melakukan tindak kriminal" ujar ayah menenangkan hati Rafaela.
" Ya gak bisa begitu dong. Bisa aja dia khilaf nyuri berlian aku buat sekolah anaknya. Atau buat beli baju dan tas kaya aku".ucap Rafaela menuduh bibi Imah lagi.
" Ya enggak mungkinkah sayang. Bibi Imah seorang janda. Baru tahun lalu kehilangan suaminya yang meninggal karena kecelakaan mobil. Sedangkan anaknya saat berusia 3 tahun meninggal karena demam berdarah. Kini dia tinggal sendirian. Makanya dia tinggal di rumah ini agar tak merasa kesepian" ucap ayah membela.
" Pokoknya aku pengen periksa kamar dia. Aku penasaran kemana hilangnya berlian kesayangan aku. "ucap Rafaela sambil menangis.
Dan perdebatan berlangsung alot. Karena ayah tak percaya bibi Imah yang melakukan pencurian. Dan akhirnya kami melanjutkan sarapan bersama. Walaupun aku lihat sendiri Rafaela begitu kesal karena berliannya belum ketemu juga. Aku pun tak percaya dengan omongan Rafaela. Karena aku percaya betul kalo bibi Imah tak seperti itu. Karena selama bekerja disini dari zaman ayah dan ibuku pengantin baru sampai aku dewasa kini. Tak pernah di rumah ada kasu pencurian atau ada barang yang hilang. Mungkin ini akal-akalan Rafaela yang ingin mengusir bibi Imah dari rumah. Karena tak suka dengannya yang terlalu di percaya oleh ayahku. Setelah selesai sarapan kemudian aku berpamitan dengan ayahku,ibu dan Rafaela untuk mencari keluar rumah mencari pekerjaan. Dan ternyata mencari pekerjaan tak semudah dengan yang aku harapkan. Bolak balik aku ke beberapa perusahaan dan kantor ternama banyak yang menolak aku karena aku belum punya pengalaman kerja meski aku telah lulus Sarjana. Kebanyakan perusahaan dan perkantoran lebih memilih karyawan yang siap buat bekerja daripada harus mengajari dari awal. Seharian mencari pekerjaan namun tak kunjung yang menerima ku. Lalu ku putuskan untuk kembali ke rumah dengan tubuh yang lelah. Dan melanjutkan mencari pekerjaan lagi esok harinya. Sesampainya di rumah. Saat hendak memasuki ruang tamu. Aku mendengar keributan lagi. Dan aku lihat Rafaela mengamuk sambil memegang berlian yang di cari nya. Aku pun bergegas melihat keributan itu.
" Sekarang mas percaya omongan aku kan. Kalo Bibi Imah pelakunya. Tadi mas,aku dan mba Kiran yang jadi saksi menggeledah ruang tidur bibi Imah dan menemukan berlian aku di dalam lemari bajunya" ucap Rafaela dengan nada marah.
" Ampun nyonya muda. Sumpah demi Allah tuan,nyonya tua. Saya tidak tahu kenapa ada berlian di dalam lemari saya. Sumpah demi Allah saya tidak mencuri apalagi berniat untuk mengambil perhiasan nyonya muda" ujar bibi Imah yang berlutut di hadapan ayah dan Rafaela.
" Mana ada sih sayang maling yang ngaku. Kalo maling ngaku semua penjara penuh. " sindir Rafaela .
" Tolong maafkan bibi Imah. Mas kan tau kalo bibi Imah gak akan mengkhianati kita. Secara dia sudah bekerja paling lama di rumah kita. Aku janji takkan terulang lagi seperti ini." ujar ibuku memohon kepada ayahku.
" Iya aku bingung, bunda. Masalah nya tadi kita lihat dengan mata kepala sendiri. Bahwa ada berlian di dalam lemari baju bibi Imah" ujar ayahku ragu.
" Aku gak bakalan percaya bibi Imah bakalan berbuat seperti itu. Kalo dia jahat dari awal kerja bisa aja dia ambil perhiasan ibu juga" sahutku membela bibi Imah.
" Terus mas masih percaya sama omongan mba Kiran dan Lolita?! Kalo aku sih lebih percaya dengan apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri." ujar Rafaela menyindir.
" Eh pelakor. Emangnya elu gak haus ya?! Dari tadi ngomong kagak ada berhenti nya!! Gak usah ngompor-ngomporin bokap gue deh!!" sahutku kesal.
" Eh yang sopan ya. Bisa belajar sopan santun kan?! Gue istri bokap lu!! Harusnya elu hormati gue!! Bukannya malah ngomong ke gue seenak jidad elu" ucap Rafaela marah.
" Lah kita seumuran ngapain juga bersikap hormati. Berbicara santai aja. Elu juga kalo gak nikah ma bokap gue juga elu bukan siapa-siapa!! " ucapku tegas.
" Udah cukup jangan bertengkar!! Kamu ya Lolita harusnya hormati Rafaela. Dia juga ibu tiri kamu. Jangan bersikap enggak sopan. Di sekolah kan di ajarin tata Krama oleh guru dan dosen kamu." ucap ayahku.
" Udah mas jangan emosi. Aku mohon maafkan Lolita. Dan kamu Lolita tolong hormati Rafaela. Dia juga istri ayah kamu" ucap ibuku.
" Kenapa sih ibu sabar banget Ama sikap ayah?! Kenapa ibu enggak bisa marah atau protes dengan sikap ayah?! Pantes aja ibu badannya tambah kurus. Ibu selalu ngebatin terus menerus setiap harinya. Memendam kesal dan marah di hati. Dan ayah pernah gak nanyain perasaan ibu gimana? Ayah juga jangan egois dengan nafsu dan sikap ayah kepada ibu?!" ucapku membela ibu.
" Kamu ya dari kecil di gedein. Terus udah gede malah ngelawan omongan orangtua. Sia-sia ayah sekolah kan kamu dari TK sampai kuliah tapi enggak ada sopan santunnya sama istri ayah" ucap ayahku marah.
" Terus aja yah belain istri kesayangan nya. Aku enggak pernah di bela sama ibu" ujarku melawan.
" Kamu ini anak yang gak tau terimakasih. Sudah di rawat dan di besarkan juga di sekolah kan tapi gak ada rasa hormatnya sama orangtua" ujar ayah sambil menampar wajahku.
" Sekarang aku baru tahu watak sifat ayah yang selama ini di bungkus topeng aja. Pantesan aja ibu selalu nangis tiap malam. Ya karena kelakuan ayah yang temperamental dan ringan tangan" ujarku emosi.
" Sudahlah. Ayah gak mau berdebat sama kamu. Ayah cuman mau bilang minta maaf buat bibi Imah saya tak bisa pekerjakan kamu lagi. Kamu kan sudah tau peraturan disini kalo ada pencurian dan tindak kriminal bakal di pecat. Dengan sangat terpaksa saya pecat kamu. Semoga kamu bisa dapat pekerjaan yang jauh lebih dari sini."
" Saya terima keputusan tuan. Meski berat dan kecewa. Tapi saya cuma mau bilang kalo saya tidak melakukan pencurian sama sekali tuan. Biar Allah yang bisa membuka mata hati tuan nantinya. Saya minta maaf kalo punya salah sama tuan, nyonya besar,nyonya muda dan mba Lolita. Jaga kesehatan semuanya ya" ucap mba Imah pamit sambil bergegas membereskan pakaian nya.
" Lihat kan kelakuan wanita Pelakor kesayangan ayah. Udah pecat bibi Imah yang di tuduh mencuri" ujarku sambil mengikuti bibi Imah ke kamarnya.
" Tuh kan mas. Aku bilang juga apa. Kalo kita kasih kesempatan dan memaafkan ntar pembantu jadi ngelunjak. Bisa jadi ntar kalo ada kesempatan nyuci lagi barang berharga" ujar Rafaela.
Dan ibuku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sedangkan aku membantu bibi Imah merapikan bajunya untuk pergi dari rumahku. Malam hari telah larut bibi Imah berpamitan pulang kampung. Aku yang tak tahan dengan sikap Rafaela memberikan handphoneku kepada bibi Imah agar bisa berkomunikasi jarak jauh. Lalu aku mengantar bibi Imah ke terminal terdekat. Sampai menunggu bibi Imah naek bus. Dan Sampai busnya berangkat. Setelah bus yang di naiki bibi Imah berangkat akupun kembali pulang ke rumah. Dan suasana di rumah menjadi memanas sejak kehadiran Rafaela yang menjadi sok berkuasa seperti istri tua di rumahku.