Chapter 11 - REALITA

Mungkin perlu untuk berlapang dada, menerima dengan ikhlas dan juga rela. Meskipun tidak terjadi, bukan berarti Tuhan enggan untuk memberi yang kita perlukan. Kadang memang bukan itu pemberian terbaik dari Tuhan tentang hal yang diinginkan.

••••••••••

Harus aku akui, tentang asa masa depan bersamamu mungkin bukan kado terbaik dari Tuhan sepanjang hidupku.

Tapi aku yakin, jika memang yang hak untukku Tuhan pasti memberinya tanpa aku minta.

Tuhan memberinya tanpa aku suruh, bukan berarti aku hanya berdiam diri. Aku perlu mempersiapkan semuanya, jauh sebelum Tuhan memberikannya.

Kamu, memang yang selalu aku inginkan. Tapi Tuhan memberitahu, bahwa kamu sedang dalam proses penyamaran.

Tentang apa? Tentang seseorang yang kamu sembunyikan.

Aku tak pernah tau tentang orang itu, mungkin jauh sebelum kita dekat orang itu yang selalu ada untukmu.

Aku tidak menyangka, bahwa harapanku padamu harus pupus setelah aku mengetahuinya.

Mungkin tidak perlu diperjelas lagi, karena aku yakin kamu mengerti tentang bagaimana perasaanku.

Keinginan, itu yang selalu aku harapkan. Untukmu, bukan untuk orang lain.

Harapan, itu yang selalu ada saat bersamamu. Bersamamu, bukan bersama orang lain.

Tapi sepertinya, takdir tidak berpihak pada apa yang aku mimpikan.

Mungkin aku harus rela, untuk membenamkan segala asa masa depan saat bersamamu.

Aku perlu untuk ikhlas, untuk tidak lagi berharap lebih kepadamu.

Menyakitkan memang, jika yang selalu kita inginkan harus terpaksa kita pendam. Karena takdir, tidak begitu tertarik untuk mewujudkannya.

Sudah waktunya untuk sadar, mengharapkan yang diinginkan terkadang bukan yang terbaik untuk menjadi pilihan.

Pada saat kesadaran itu muncul, mungkin perlu untuk pergi dan tidak lagi mengharapkannya.

Meski sulit, tidak mudah dan menyakitkan. Tapi percayalah, Tuhan selalu memberi apa yang diperlukan.

Waktu kamu mengatakan bahwa ada seseorang selain aku, pada saat itu aku merasakan jantungku berhenti berdetak.

Aku seakan mati, tidak lagi hidup saat kamu memberitahuku.

Betapa remuk hatiku waktu itu, kamu mengatakannya pada saat harapan-harapan yang aku buat seperti akan menjadi kenyataan.

Aku seperti bermimpi waktu itu, tapi ketika aku sengaja menampar pipiku, aku merasakan sakit. Aku sadar, bahwa aku sedang tidak bermimpi.

Begitu kejam kenyataan yang aku terima, dikala harapan yang aku buat terasa seperti mimpi yang sedang aku nikmati.

Tapi mengapa, kamu membertahuku tentang seseorang itu saat kita bersama?

Bukan saat kita berpisah saja, agar aku tau bahwa kamu sudah menemukan penggantiku?

Mungkin aku tidak akan keberatan saat kamu memberitahunya nanti, agar aku sadar bahwa anganku padamu hanya sebatas harapan.

Harapan itu aku buat, karena aku sangat yakin dan percaya.

Padamu, bukan pada orang lain.

Tapi kenyataan sepertinya harus aku terima, bahwa yang aku harapkan tidak selalu menjadi hal yang Tuhan kirimkan.

"Seandainya Tuhan selalu memberi apa yang kita harapkan, mungkin kita tidak akan belajar menerima takdir dan kenyataan"