Chapter 17 - SIA-SIA

Memperjuangkan sesuatu yang tidak pasti hanya akan membawa kita pada penyesalan, karena telah membuang banyak waktu demi hal-hal yang memang bukan hak kita.

••••••••••

Rupanya, yang aku nanti tidak juga kunjung datang. Sepertinya, yang aku harapkan tidak menjadi dengan apa yang aku inginkan.

Tapi entah mengapa, menantimu kembali masih selalu menjadi pekerjaan yang aku lakukan. Walau aku tau, kamu tidak mungkin bisa untuk kembali.

Aku tau, kamu sudah pergi dan mustahil untuk kembali. Namun, aku masih bersikukuh untuk tetap menantimu pulang. Pendirianku memang terlihat bodoh, tapi percayalah tak ada orang lain yang aku harapkan selain kepulanganmu.

Aku menantimu, itu harus kamu tau. Meskipun aku tau, itu hanya akan menyiksaku dengan ketidak-pastian.

Banyak waktu yang aku buang percuma, semua demi seseorang tapi tidak juga datang. Banyak kesempatan yang aku lewatkan, karena sebuah penantian.

Aku masih berada dibalik pintu, mengharapkan kamu yang mengetuknya sebagai seorang tamu. Aku berdiam diri tanpa sepatah kata yang terucap, bukan karena enggan hanya saja ingin dimengerti. Meski kaki sudah terasa pegal, tidak aku hiraukan demi kedatangan seseorang.

Tapi sepertinya, sia-sia adalah hal yang aku dapat, karena tidak kunjung ada jawaban dari setiap pertanyaan.

Kesadaranku tercipta dari hak yang memang bukan untukku.

Aku ditegur, oleh harapan yang tidak jadi nyata.

Aku diingatkan, lewat kenyataan yang menyakitkan.

Aku sebodoh itu, karena kamu yang membuatnya.

Mungkin, kepergianmu kala itu adalah jawaban dari pertanyaan yang sering aku tanyakan pada Tuhan.

Aku meminta yang terbaik kepadanya, tapi Tuhan memisahkan 'kita' sebagai bukti bahwa kamu tidak akan pernah menjadi bagian dari tulang rusuk-ku.

Terkadang, yakin tidak selalu membuat kita mencapai apapun itu. Ada baiknya, kita menyerah dan mengikuti keadaan.

Jika 'tidak' adalah jawaban yang ingin kamu sampaikan, maka baiklah, biarkan penantianku terhadapmu menjadi hal yang sangat sia-sia.

Jika keputusanmu pergi tanpa ada niat kembali, biarkan aku saja yang merasakan betapa rumitnya merindukan.

Aku merasa lelah ketika menantimu tidak kunjung kembali, dibalik pintu yang aku buka rupanya tak ada sedikitpun niatmu untuk mengunjungi.

Apa perlu aku tutup lagi pintu rumahku itu? Agar kedatanganmu ditandai dengan ucapan salam yang selalu aku rindukan.

Bahkan setelah aku antar pulang kamu waktu itu, sang laron yang selalu berbondong-bondong masuk kedalam rumah, kini tidak satupun tampak kedatangannya. Sepertinya 'sang laron' tau, sekarang seakan percuma karena tidak ada lagi hubungan yang harus ditemani.

Sangat disayangkan memang, mengharapkan kehadiran seseorang adalah bentuk kesia-siaan.

Aku tau aku salah, salah dalam mengharapkan kehadiran seseorang. Kembalinya kamu adalah hal yang mustahil.

"Aku tidak menyesal ketika terus menerus menunggumu, tapi aku sadar menantimu adalah hal yang sia-sia"