Chereads / SILVER TIME / Chapter 15 - Orang-Orang Sukses di Dekatku

Chapter 15 - Orang-Orang Sukses di Dekatku

Suasana malam semakin sepi di jalan kampus, hingga tembus jalan raya ....

Saat itu, sebelum mbak Sarah pulang dia berkata, "Semoga orang secantik dirimu bertemu orang yang tepat."

Maksud perkataannya itu ....

Siapa ya, orang yang tepat untukku?

Aku terus kepikiran hingga terbawa mimpi.

Aku tidak bisa berpikir jernih.

Aku amiinin aja dalam setiap doaku, saat aku beribadah.

Sebenarnya, aku niat kuliah apa mencari cinta sih?

****

Beberapa hari yang lalu, Ivy berterus terang padaku kalau dia sekarang sudah bekerja. Waktu itu, dia kerja lembur sampai-sampai tidak masuk kuliah saking lemburnya.

Ivy bekerja sebagai content creator tertentu, dia menjadi freelance dengan bayaran yang cukup besar. Dari uang hasil kerja kerasnya itu, dia akan membayarkan uang kuliahnya sendiri selama satu semester. Dia sudah melakukannya dari semester dua yang lalu, dan dia sudah berpengalaman setahun menangani proyek sebagai pekerja lepas ini.

Ivy sudah mandiri, berbeda jauh denganku yang masih menggantungkan orang tua untuk membayar kuliah.

Kapan ya, aku bisa menjadi seperti itu?

Orang tua Ivy sudah meninggal sejak dua tahun lalu dan dia yatim piatu. Dia sekarang tinggal bersama nenek dan kakaknya.

Salah satu kakak Ivy yang pertama dulunya diadopsi oleh seseorang, semenjak orang tuanya meninggal ... orang tua yang mengadopsi kakak pertamanya ini dipertemukan. Sekarang secara tidak langsung Ivy juga dianggap sebagai anaknya sendiri juga.

Walaupun Ivy mencoba sendiri untuk hidup mandiri.

....

Aku kagum dengan teman-temanku yang baru kutemui kini begitu hebat. Aku begitu kagum, dengan diriku yang tidak bisa apa-apa.

Aku mencoba mengingat lagi diriku yang waktu SMA waktu itu, memang benar jika aku terlalu percaya diri akan sesuatu maka aku akan kehilangan apa pun.

Sebenarnya untuk apa prestasiku selama ini?

Aku tidak pernah tahu jawabannya, entah itu suatu saat nanti akan jadi berguna atau tidak.

....

Di sini sekarang, di pagi hari yang cerah, aku mencoba mengerjakan tugas kuliah yang bisa disebut dengan kalkulus.

Jujur saja sebagian besar orang menganggap kalkulus apalagi trigonometri adalah suatu pelajaran yang sulit.

Namun, bagiku ini seperti sedang menyelesaikan teka-teki hingga terbukti kebenarannya.

Akhirnya aku menyelesaikannya dengan mudah, dan lagi-lagi aku menyelesaikannya dengan mudah.

Setelah mengerjakan tugas di pagi hari, aku membantu pekerjaan ibuku. Walau ayahku petani, ibuku memiliki pekerjaan sampingan yaitu penjual kue. Dia setiap harinya menitipkan kuenya ke sekolah-sekolah. Berhubung aku juga sudah lulus SMA, aku juga membantu mengantarkan kue-kue ini ke tempat jualnya.

Waktu itu, ketika semuanya telah di kemas, dan aku juga mengantarkannya dengan naik motor, dan kuenya ditaruh dikeranjang belakang.

*sekarang si MC bisa naik motor awokawokawok, beli scoopy keluaran terbaru.

Selama ini aku memang malas-malasan, terkadang ayah saja yang mengantarkan ini ....

Tapi, jika aku berusaha lebih giat, aku berguna bagi orang lain. Aku hanya anak tunggal dan satu-satunya buah hati mereka. Semoga walaupun aku sudah sering merepotkan mereka, aku tidak ingin mengecewakan mereka.

Waktu itu di depan GM, aku bertemu dengan teman lamaku. Dia menjual kebab di sekitaran telkom depan toko Rere (setahuku author nama tokonya itu dekat toko jual jam pokoknya).

Aku menyapanya, dan karena tidak afdol kalau dengan menyapa sambil motoran, akhirnya aku mencoba mampir. Dia teman SMP-ku, Hafidz namanya ....

Walau dia tidak terlalu ganteng, dulu dia pernah duduk di belakangku. Kini dia menjadi penjual kebab. Aku kira dia adalah karyawan yang tukang jual kebab ini, ternyata dia pemilik kebab ini.

Dia memiliki 3 cabang sekarang di Lumajang.

"Wah~ hebat." Celetukku sambil menyimak ceritanya.

"Ah~ tidak hebat kok, hanya saja itu dulunya berawal dari coba-coba akhirnya jadi berkah, ahahahaha." Dia begitu ramah saat mengobrol denganku, dia tertawa dan tersenyum dengan tampang bodohnya.

Dia sekarang jauh lebih sukses dariku.

"Eh~ tapi, itu pasti penuh dengan perjuangan yang besar ya~" kataku dengan santai sambil menikmati kebab yang dia suguhkan.

*Author sendiri belum pernah mencoba bagaimana rasanya kebab itu.

Kebab original yang disuguhkan Hafidz padaku. Karena saat aku mencoba memesan tadi aku bingung dan aku hanya bilang rasa apa saja.

Saat aku menikmati satu gigit, dan melanjutkannya ke dua gigit, rasanya itu enak apalagi dimakan ketika hangat. Teksturnya lembut dan cacahan dagingnya rapi. Dibalut dengan saus sambal yang pedas manis dan mayones di atas daging itu, aromanya juga wangi.

Sungguh~

Sungguh enak!

Meskipun aku tahu harga yang terpampang di rombong kebab itu murah dari kebanyakan kebab yang lain tapi rasanya tidak murahan. Hafidz mempertahankan kualitasnya, dan ternyata ... aku kemari pas sedang sepi-sepinya, itu memang baru buka.

*Bukanya jam 10 pagi.

"Kamu sekarang kerja apa gimana?" tanya Hafidz padaku.

"Oh~ aku sedang kuliah." Jelasku, sembari ada mbak-mbak datang yang ternyata karyawan kebabnya Hafidz.

"Oh~ kamu kuliah, ya? Di mana?" tanyanya serius.

"Di STKIP PGRI Lumajang." Jawabku sungguh-sungguh.

"Hmm, keguruan ya, memang kamu ingin jadi guru?" kata Hafidz dengan tidak yakin, "Tapi, kamu hebat juga sih tidak denganku yang hanya bisa menjadi penjual kebab." Kata Hafidz membandingkan, dan dia sedang memujiku.

"Ah~ apaan sih, kamu juga hebat, kok. Aku tidak pernah terpikir untuk menjadi Guru, hanya saja aku suka matematika." Ujarku sambil tersenyum ceria.

Hafidz membalas senyumanku dengan ceria juga.

Semakin lama, pelanggan kebabnya semakin rame, aku jadi tidak enak saat duduk berdua di depan kebabnya berbincang-bincang. Mereka (pembeli) mencuri-curi pandang melirik kami berdua ....

Aku agak risih.

Kemudian, di saat sudah agak tenangan ... aku berdiri di depan Hafidz, hendak pamit pulang.

Hafidz mendongak keheranan memandangku, "Loh mau ke mana?" tanyanya, padahal kami masih berbincang-bincang.

"Ah~ anu, aku mau pamit dulu." Kataku yang mengatakannya dengan sedikit ragu.

"Oh~" Hafidz berdiri juga dan mengikutiku ke sepeda motor.

Dia melihat keranjang yang ada di boncengan motorku.

"Jadi, ini ... barusan kamu jualan roti?" tanya Hafidz yang mengira aku penjajah kue di area kota Lumajang.

"Ah~ tidak kok, aku hanya di suruh ibu untuk mengantarkannya di tempat yang sudah ditentukan." Jelasku dengan agak gugup.

"Oh~" jawab Hafidz lagi dengan santainya.

Ah! Iya, aku hampir lupa! Mumpung belum naik motor, aku harus memberikannya ... uang untuk kebabnya.

"Anu fiz, aku lupa tadi—" Aku sedang sibuk mencari uang di saku jaketku kemudian Hafidz memotongnya dengan perkataannya dan senyum ramahnya.

"Ah~ kamu mau bayar, kan? Tidak usah!" dia mencegah tanganku untuk memberikan uang padanya.

"Ta-tapi—" aku tergugup saat mengatakannya pada Hafidz menjadi sungkan dan tidak enak sendiri, sudah menyapanya tanpa diundang mampir sendiri dan sudah gitu lupa bayar, baru mau bayar ditolak.

Hafidz memotong perkataanku lagi dan dia mengembalikan uang itu dalam genggamanku lalu meletakkannya di saku jaketku.

Dia tersenyum ramah, "Tidak usah bayar, anggap saja ini ... sebagai jamuan dari pertemuanku denganmu setelah sekian lama."

Tak kusangka, selain benar-benar ramah, dia juga baik. Apa semua orang yang sudah sukses, seperti ini ya?

________

*Orang sukses sebaik Hafidz ....

-To be Continued-