Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul dua pagi. Sudah tiga jam lamanya Roki tertidur. Kedua matanya terpejam, sambil meneteskan air liur, terkadang ia pun mendengkur. Sementara itu Jhon duduk berjaga, sambil menajamkan pedangnya dengan batu asahan berwarna hitam, berbentuk seperti balok kecil. Batu itu dia ambil di dalam sebuah gua, sewaktu ia mengembara seorang diri.
Dia mengasah katana miliknya dengan penuh perasaan. Tidak heran ketajaman katana miliknya, dapat memutuskan kepala zombie dalam sekali tebas. Sebelum Roki tertidur, ia mengusulkan dirinya untuk tidur terlebih dahulu selama tiga jam. Setelah tiga jam barulah giliranya untuk berjaga. Namun Jhon menolak usulanya, ia lebih memilih untuk terus berjaga hingga pagi hari. Ia menjelaskan waktu tidurnya hanya seminggu sekali, dalam dua belas jam. Selama dua belas jam, Jhon harus mengistirahatkan sistemnya.
Jika di paksakan, sistemnya akan mengalami masalah dalam beberapa hari ke depan. Api mulai padam, dengan berinisiatif Jhon beranjak dari tempat duduknya. Lalu dia mengambil beberapa ranting kayu, serta apapun yang bisa di bakar. Kemudian melemparnya pada perapian secara perlahan agar apinya bertambah. Selesai dengan pekerjaanya, Jhon kembali fokus berjaga.
Hembusan angin malam, serta hangatnya perapian membuat tidur mereka berdua semakin lelap. Entah mengapa lambat laun hembusan angin semakin kencang. Radar kecil keluar dari lengan kirinya, menangkap sinyal bahaya pada dirinya. Jhon pun beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan membangunkan tuannya.
"Tuan bangun tuan!" Menepuk kaki Roki secara berkali-kali.
"Ada apa?" Tanya Roki melirik ke arah Jhon, dengan raut wajah mengantuk.
"Ada bahaya mendekat!"
"Hah?! Bahaya apa?!" Roki pun bangkit dengan rasa cemas.
"Sekitar tiga puluh menit lagi, badai pasir akan mendekat."
"Waduh gawat, disini tidak ada gua atau semacamnya! Apa yang harus kita lakukan?!"
"Saya ada solusi, untuk keluar dari permasalahan ini."
"Cepat katakan!"
"Bagaimana kalau kita bagun sebuah ruang persegi panjang, dari tumpukan batu itu." Jhon menunjuk ke arah bebatuan besar di balik perapian.
"Boleh, bagaimana kita membuatnya?"
"Aku bisa membuatnya, jika berkenan tuan boleh membantuku."
"Baiklah kita kerjakan bersama-sama. Cepat waktu kita tidak banyak!"
Kemudian Jhon melayangkan tubuhnya, dengan menggunakan sepasang jet pada kedua kaki dan punggungnya. Ia mengeluarkan katana dari sangkurnya, lalu membentuk sebuah garis persegi panjang, dengan lebar 4 m dan panjang 6 m. Pembuatan garis yang dilakukan oleh Jhon cukup dalam. Sehingga tak perlu khawatir bila garis itu hilang tertiup angin.
Jhon pun meletakkan sebuah batu besar satu persatu, dengan tinggi 2 m pada garis yang sudah dia buat. Batu itu sangat berat, sehingga dia tak bisa melakukan pekerjaanya dengan cepat. Sementara itu Roki, menyusun batu tipis, dalam garis yang sudah di buat layaknya puzzle. Rencananya lempengan batu itu ia gunakan sebagai alas. Sebab tidak nyaman rasanya, hanya beralaskan tanah.
Lambat laun suara dentuman, membangunkan Angela yang sedang tertidur lelap. Gadis kecil itu langsung berdiri, lalu melirik kesana-kemari bagaikan orang linglung. Dia pun mendekati mereka berdua, yang sedang membangun sesuatu.
"Apa yang sedang kakak lakukan?" Tanya gadis kecil itu.
"Membangun tempat perlindungan darurat, tinggal 20 menit lagi badai pasir akan menerjang kita." Kata Roki menyusun batu itu, dengan sedikit tergesah-gesah.
"Angela ingin bantu!"
"Bagus! Baiklah bantu aku menyusun batu." Perintah Roki pada Angela.
Mendengar hal itu, Angela langsung membantunya menyusun batu. Berkat bantuan gadis kecil itu, pekerjaanya menjadi sedikit cepat. Tinggal sepuluh menit waktu yang tersisa, angin pun berhembus semakin kencangnya. Raut wajah panik mereka berdua mulai terlihat, ketika melihat hanya dua garis batu, yang sudah menempati posisi. Di saat Roki terdiam dengan rasa panik, Jhon terus melakukan pekerjaanya seorang diri.
Roki pun berjalan menuju padang batu, tak jauh dari tempat perapian. Lalu munculah Profesor Xenom dalam bentuk hologram mini. Profesor itu duduk tepat di samping bahu kirinya.
"Di depanmu, ada sebuah batu memiliki tinggi 2 m. Coba kamu angkat dengan kedua tanganmu." Perintah Profesor.
"Tapi batu ini besar sekali, bagaimana mungkin aku mengangkatnya?"
"Kalau tidak di coba, mana tau hasilnya." Ujarnya.
Dia pun berjalan mendekat, mencoba mengangkat sebuah batu besar di hadapanya. Kedua tangannya, memegang erat batu itu. Hal tak terduga pun terjadi, ia pun berhasil mengangkat batu itu dengan kedua tanganya. Otot kedua tanganya membesar, seluruh urat pada kedua tanganya mulai terlihat. Rasa sakit dan nyeri tak terlalu dia rasakan. Dia pun membawa batu tersebut, lalu meletakkanya sesuai tanda garis. Lalu merapatkanya dengan batu yang ada di sampingnya.
Setiap kali dia mengangkat batu, terasa seperti mengangkat lima buah buku. Gadis kecil itu menatapnya dengan penuh pesona. Berkali-kali ia berikan pujian sebagai tanda kagum padanya. Roki pun membalasnya dengan tebar pesona, sambil unjuk gigi. Angin berhembus semakin kencang, butiran pasir mulai berterbangan. Tinggal empat menit lagi, waktu yang tersisa sebelum badai menerjang. Ia pun mengeluarkan seluruh kemampuanya, mengangkat seluruh batu serta menatanya hingga rapih. Setelah dua menit akhirnya pekerjaanya telah usai.
Kini mereka tinggal mencari sesuatu, untuk menutup bagian atas. Dalam waktu yang sedikit, mereka harus mencari sebuah solusi sebelum badai menerjang. Kemudian Angela mengambil salah satu tabung kecil di gespernya. Lalu menetan setiap ujungnya. Seketika tabung kecil itu berubah menjadi Glue Gun. Setelah itu ia memberi sebuah solusi, agar menutup bagian atas dengan lempengan batu.
Caranya menyusun beberapa lempegan batu, dengan sebuah Glue Gun pada gespernya. Mendengar usulan gadis kecil itu, tanpa pikir panjang mereka melakukanya. Satu persatu mereka susun lempengan batu, menjadi persegi panjang. Kemudian di rekatkan menggunakan Glue Gun, setiap tetesan Glue gun sangat kuat. Saking kuatnya Glue gun milik Angela dapat menempelkan dua lempeng baja.
Dan akhirnya atap telah selesai di bangun. Jhon dan Roki pun langsung meletakkanya di atas. Tidak lupa memberikan Glue Gun supaya tidak terlepas. Begitu juga dengan bagian yang lainya. Selanjutnya mereka tutup bagian celah, dengan beberapa batu. Terakhir Angela mengambil kembali, sebuah tabung kecil pada gespernya kemudian ia tekan kedua ujungnya. Seketika tabung kecil itu berubah menjadi sepasang tongkat, berukuran 100 cm.
Tongkat itu bernama AF-10 atau Air Filter generasi ke sepuluh. Angela di bantu Roki, memasang AF-10 pada pintu utama. Kedua ujung AF-10 saling terhubung, membentuk sebuah daun pintu transparan. Akhirnya pekerjaan mereka benar-benar selesai. Mereka semua langsung berbaring, di atas lempengan batu. Sial, mereka baru saja teringat oleh barang-barang mereka di dekat perapian. Roki pun langsung berlari sekencang mungkin, mengambil dua tas beserta persenjataan sekaligus.
Tinggal sepuluh detik lagi, badai pasir akan menghantam dirinya. Ia pun berlari sekencang mungkin di kejar oleh waktu. Kemudian dia pun melompat seiring dengan terjangan badai. Dia pun berguling hingga keningnya membentur dinding. Keningnya yang benjol, ia usap hingga sakitnya mereda. Sungguh tadi itu hampir saja, jika seandainya dia tidak melompat mungkin dia akan terbang terbawa arus badai.
Seketika suasana di luar menjadi gelap gulita. Benda-benda di luar, beserta bintang di langit tak terlihat sama sekali. Pasir dan debu berterbangan dengan ganasnya. Amukanya yang ganas, dapat menerbangkan sebuah batang pohon yang berukuran cukup besar. Tak ada setitik cahaya pun yang terlihat, yang ada hanyalah kegelapan semata. Kemudian Jhon, mengeluarkan sebuah tabung kecil dari dalam perutnya.
Tabung kecil itu berubah menjadi sebuah tungku api kecil. Ia pun menyalakan api, dengan tumpukan ranting di sampingnya. Akhirnya suhu dingin berubah menjadi hangat. Mereka bertiga berjalan mendekati tungku api itu, lalu menjulurkan tangan untuk menghangatkan diri.
"Akhirnya tubuhku menjadi hangat." Kata Angela.
"Ini semua berkat Jhon, jika bukan karenanya mungkin kita akan terbawa oleh angin."
"Itu tidak benar, semua ini berkat kerjasama kita. Sehingga kita bisa melakukan pekerjaan mustahil dengan tepat waktu." Ujarnya dengan rendah hati.
"Baiklah sebelum kita kembali tidur, mari kita rayakan dengan sebuah apel." Roki mengambil sebuah apel di dalam tas, lalu mengangkatnya setinggi mungkin.
Mereka mulai merayakan keberhasilan, atas kerja keras dengan sebuah aplel. Setiap gigitan ia nikmati dengan sepenuh hati. Menghilangkan lapar serta haus dengan seteguk air milik Angela. Sayangnya karena Jhon adalah Cybong, ia tak ikut menikmatinya. Dia pun duduk memandang, amukan badai di luar. Menanti petualangan yang akan mereka hadapi selanjutnya.