Sesuap daging terasa nikmat, jika di nikmati bersama-sama. Gadis kecil itu terus bercerita mengenai kehidupan damai bersama keluarganya. Mereka bertiga, tersenyum mendengarkan gadis kecil itu bercerita hingga puas. Kini sudah waktunya, giliran Roki untuk bercerita namun dia hanya terdiam sembari menatap mereka bertiga dengan ragu.
"Ayo kak, sekarang giliran kakak untuk bercerita," ujar gadis kecil itu tak sabar mendengar kisahnya.
"Entahlah tidak ada kisah menarik, untuk aku ceritakan," kata Roki dengan rasa ragu.
"Coba ceritakan saja seingatmu sana nak," kata Profesor memberi Saran.
"Tapi ceritaku tidak menarik," ucapnya dengan tidak percaya diri.
"Meskipun tidak menarik kami pasti akan mendengarkannya hingga akhir," kata Jhon sedikit memberi semangat dengan perkataannya.
Pemuda itu merapatkan kedua jarinya, sembari menghembuskan nafas tapi sebelum dia bercerita, Genix pada lengan kanannya terlepas secara perlahan lalu berubah bentuk persegi dengan lensa depan layaknya infokus. Hanya saja lengan kanannya terborgol pada benda itu layaknya seorang tahanan.
Roki pun kebingungan, atas apa yang dia lihat lalu Profesor itu menjelaskan, bahwa Genix merubah bentuknya menjadi sebuah mesin animator. Jadi ketika dia sedang bercerita, Genix akan menangkap sinyal gelombang otak, lalu mengubahnya menjadi hologram dua dimensi bergerak.
Selain dua dimensi, tiga dimensi atau apapun bisa ia lakukan tergantung permintaan. Dengan adanya Genix, membuat animasi tak perlu susah-susah menggambar serta membuatnya dalam waktu yang sangat lama, cukup bayangkan saja maka Genix yang akan mengerjakannya. Beliau juga menjelaskan, bahwa selain mengandalkan gelombang otak, Genix juga bisa menggunakan sistem scanner.
Caranya cukup letakkan setumpuk kertas, berisi naskah yang ingin di jadikan film maka Genix akan langsung menscan seluruh kertas tersebut satu persatu. Hanya saja Si Penulis harus menjelaskan secara detail agar Genix mudah untuk membacanya.
"Gila! Canggih sekali," ujarnya dengan heboh.
"Tentu saja, ciptaanku ini sangat hebat. Tidak seperti di tempatmu, yang hanya mengandalkan tenaga manusia," kata Sang Profesor dengan sombong.
"Profesor memang hebat! Angela semakin tidak sabar, mendengar dan melihat kisah Kak Roki," ujar gadis kecil itu dengan tidak sabar.
"Tentu saja gadis kecil, sebentar lagi kamu akan melihat sebuah keajaiban yang tidak kamu lihat. Sebuah tayangan, yang tak akan kamu lupakan," ujarnya berubah wujud sembari mendekat dalam wujud hologram dewasa.
Beliau pun menatap Roki, lalu ia pun menganggukkan kepala sebagai isyarat di mulainya cerita. Kisah bermula, ketika masa dirinya menduduki bangku SMK Tunas Bangsa, sebuah sekolah yang berlokasi pinggiran Kota Kembang. Baju putih berlambang OSIS (Organisasi Intra Sekolah) di dada kiri, dengan kancing terbuka sehingga terlihat kaos dalam hitam, membentuk dadanya yang bidang.
Celana panjang berwarna abu-abu, yang sedikit robek di tutup oleh hansaplast, memegang sebuah pemukul baseball di tangan kanan, pangkal ujungnya berpangku pada bahu kirinya. Sedangkan tangan kiri, memegang sebuah rantai yang terikat pada sebuah gear motor, menatap tiga puluh pelajar dari sekolah bermuka seram turun dari sebuah angkutan umum.
Memimpin teman-temannya, dalam melakukan aksi tawuran di lampu merah. Begitulah keseharian-nya sebagai seorang pentolan di sekolahnya. Melakukan aksi tawuran, serta membuat keonaran pada penduduk sekitar. Semua itu dia lakukan, karena sebuah provokasi untuk menunjukkan seberapa besar murid di sekolahnya dalam menunjukan taring.
Melakukan baku hantam, sesama pelajar sudah menjadi sarapan sehari-hari. Setiap kali temannya mempunyai masalah, seputar berandalan mereka semua mengadu pada Roki. Namun tidak sembarang, Roki mengabulkan keinginan mereka. Dia selalu menyelidiki terlebih dahulu, mengenai akar permasalahan yang sebenarnya.
Setelah mengetahui kebenarannya, dia pun bisa memutuskan apakah harus membantunya atau tidak. Seperti suatu permasalahan temannya, yang dia ingat ketika menduduki bangku kelas dua, dimana temannya bernama Ferdi di pukuli oleh sekelompok pelajar di gang dolar.
Ketika di selidiki, rupanya akar permasalahannya bermula, dari saling ejek antar suporter sepak bola. Tim lawan mengalami kekalahan, lalu dengan sombongnya Ferdi mengolok-olok tim tersebut. Maka terjadilah tawuran, yang mengakibatkan beberapa pelajar dan warga mengalami luka-luka.
Mengetahui hal itu Roki pun mengabaikannya. Suatu hari ketika, Roki sedang makan di kantin seorang gadis berambut hitam bergelombang, berkulit seputih salju, body yang aduhai datang menemuinya. Gadis itu duduk berhadapan dengannya, sembari mendongak meja hingga membuat Roki sedikit terkejut.
"Sepulang sekolah, antar aku sampai ke rumah," ucapnya pada Roki.
Setelah itu dia pun pergi begitu saja, lalu berjalan kembali bersama teman-temannya menuju kelas. Sementara Roki terdiam, sembari menatapnya dengan rasa bercampur aduk antara malu, terkejut dan kesal. Dinda adalah teman semasa kecil. Kedua orang tua mereka cukup dekat, sehingga setiap kali mereka berkunjung mereka selalu membicarakan anaknya masing-masing.
Tak terasa jam tiga sore telah tiba, Roki menunggu gadis itu di depan gerbang bersama motor RX KING COBRA yang sedang ia tunggangi. Teman-temannya satu persatu sudah kembali pulang, meninggalkan seorang diri depan gerbang. Sebenarnya dia ingin menunggunya di depan kelasnya, namun karena ia merasa malu akhirnya dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk menunggu di depan gerbang sekolah.
Sebelum itu Roki sempat memberitahunya, gadis itu mengiyakan apa yang Roki katakan. Namun sudah 30 menit lamanya ia menunggu, tetapi gadis itu belum kunjung terlihat. Lalu ia memutuskan untuk pulang seorang diri, tapi baru saja angkat standar motor miliknya gadis itu baru saja keluar dari gerbang.
Dia pun berlari sembari melambaikan tangan padanya, lalu ia meminta maaf kepadanya karena telah lama menunggu. Rupanya 30 menit yang lalu, secara mendadak Dinda diminta untuk menghadiri rapat OSIS, jadi mau tidak mau dia harus menghadirinya.
Dan perjalanan pun dimulai, pandangan mereka fokus melihat jalan. Roki pun tersipu malu, ketika dia memeluknya dari belakang namun dia berusaha untuk fokus dengan apa yang ada di depannya. Tidak terasa mereka berdua hampir tiba di tujuan, tiba-tiba Dinda meminta Roki untuk menemaninya makan di sebuah kedai mie ayam pinggiran danau tak jauh dari sini. Sesampainya di lokasi, mereka berdua langsung memesan dua porsi, lalu menikmati bersama sembari menatap indahnya danau.
"Sudah lama kita berdua tidak makan berdua seperti ini," kata Dinda.
"Iyah, terakhir kali sewaktu kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama). Itu pun jarang, karena dulu kamu masih berpacaran dengan Andi. Jadi mana sempat aku mengajakmu, makan berdua setiap saat. Lagi pula kasian Andi, nanti dia cemburu aku yang kena," ucapnya sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya.
"Dulu semasa SD, kamu itu cengeng banget. Di bentak dikit langsung nangis, endingnya jadi babu teman sekelas. Sampai SMP pun masih jadi babu, tapi sekarang kamu sudah berubah," ujar gadis itu menatap Roki dengan raut wajahnya yang manis.
"Berubah? Maksudmu menjadi lebih tampan?" Ucapnya sembari tebar pesona.
Dinda pun mendekat, jantungnya mulai berdegup kencang serta tersipu malu ketika wajahnya semakin mendekat. Gadis itu tersenyum manis padanya, lalu ia mulai menatap dirinya dari ujung kepala hingga kakinya. Kemudian dagunya bersender pada kedua telapak tanganya, sembari menatap serta memberikan sebuah senyuman.
"Kalau dilihat-lihat, ternyata kamu tampan juga. Aku ragu, jika tidak ada seorang gadis yang tertarik padamu," ucapnya pada Roki yang sedang tersipu malu.
"Ha.ha.ha bisa saja kamu sapu jagat, kau lihat sendiri hingga sekarang aku masih menjomblo," ujarnya sembari melebarkan kedua tangannya.
"Tentu saja kamu jomblo, berbincang dengan wanita pun jarang. Apalagi kelasmu yang mayoritasnya laki-laki. Aku sangat yakin, kamu pasti tidak berani menggenggam tangan wanita manapun," kata Dinda meremehkannya.
"Berani!" Ucapnya dengan tersipu malu.
"Buktikan kalau kamu memang berani, coba kamu genggam tanganku," pinta gadis itu pada Roki agar menggenggam tangan kirinya di atas meja.
Tangan kanannya mulai gemetar, serta raut wajahnya semakin memerah ketika ia hampir menyentuhnya lalu ia dorong tangannya sendiri menggunakan tangannya yang satu lagi. Sedangkan gadis itu tersenyum manis sembari menahan tawa, melihat tingkahnya. Tanpa dia sadari, gadis itu sedikit menggeser tempat duduknya sembari menatapnya. Roki pun tak kuasa menahan semua ini, dan akhirnya dia pun langsung membalikkan badan dengan tersipu malu. Melihat reaksinya Dinda pun langsung tertawa, sembari menunjuk dirinya yang sedang menahan malu.
"Dasar cemen begitu saja sudah menyerah, bagaimana kamu mau punya pacar? Terus ada apa dengan raut wajahmu itu? Merah seperti kepiting rebus, jangan bilang kamu salah tingkah padaku ha.ha.ha." Ujarnya sembari menertawakannya.
"Tentu saja! Bagaimana tidak salah tingkah, dengan gadis secantik dirimu. Dengar yah! Seharusnya kamu tau, bahwa kamu itu adalah gadis paling cantik. Sudah sepuluh tahun aku menahannya! Ups, timbalnya menunjuk gadis itu sembari menahan rasa malu. Dia sadar atas kejujuran yang ia ucapkan, spontan Roki menutup mulut dengan kedua tangannya.
Mendengar hal itu, Dinda pun tersipu malu lalu ia menatap kebawah tanpa sepatah katapun. Melihat tingkahnya membuat Roki semakin salah tingkah, lalu dia pun membalikkan badan karena malu. Tiba-tiba Dinda pun menggeser tempat duduknya sehingga punggung mereka berdua saling menempel. Diam-diam para pelanggan mulai membicarakan mereka berdua, sembari menatap iri.
Sedangkan penjual mie menunggu mereka, berdua dengan rasa jengkel sebab sudah waktunya baginya untuk tutup. Namun mereka berdua menghiraukan, apa yang ada di sekitarnya seolah dunia ini milik mereka berdua.
"Thanks," jawabnya dengan singkat membuat Roki tersenyum.
"Tidak perlu berterimakasih, kuyakin pasti kamu sering mendengarnya," ucapnya dengan rendah hati.
"Itu tidak benar. Dua kali aku berpacaran, selain kata sayang kedua mantanku tidak pernah mengatakan bahwa aku gadis cantik, seperti yang kamu katakan sebelumnya,"
"Benarkah? Kamu pasti bergurau," ucapnya dengan rasa tidak percaya.
"Aku mengatakannya dengan bersungguh-sungguh, tidak bergurau sedikitpun,"ujarnya sembari membalikkan badannya. Sehingga Roki sedikit terjungkal ke belakang.
"Thanks," ucapnya sembari menatap raut wajahnya yang manis.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, para pelanggan silih berganti namun mereka berdua tetap terdiam dengan raut wajah tersipu malu. Melihat suasana yang mulai semakin gelap, mereka berdua pun memutuskan untuk berpindah tempat. Tidak lupa membayar makan terlebih dahulu, dan Roki pun mulai melaju mengantarkan gadis itu kembali pulang.