Chereads / Lorex 19 / Chapter 16 - Terbawa angin

Chapter 16 - Terbawa angin

Badai semakin menggila, hembusan angin yang menerpa dapat menerbangkan apapun. Suara guntur mulai menggema di angkasa, tanah pun bergetar serta dentuman semakin terasa. Zombir-zombie di luar sana, satu persatu terbang tertiup angin. Beberapa ada bertahan, dengan memegang sebuah batang kayu kering. Namun semua itu tak berlangsung lama, kedua tangannya yang kurus seketika terputus. Darah pun mulai bercucuran, sembari melayang terbawa angin.

Di dalam kamp, suara rintihan menahan sakit nyaring terdengar. Kemudian gadis kecil itu, memberikan sebuah sapu tangan untuk meredam suaranya. Jhon pun mengurut kedua kakinya, agar posisi urat kembali pada jalurnya. Meskipun tubuhnya mengalami mutasi, tetapi butuh waktu bagi dirinya untuk beradaptasi. Roki pun menggigit kuat-kuat, sapu tangan pemberian Angela sembari menahan sakit.

Yang lebih mengerikan dari itu semua, Jhon mengurut kedua kakinya tanpa satu minyak satu tetes pun. Mengurut sepasang kakinya, tanpa perasaan tentu membuatnya semakin menjerit kesakitan. Air matanya mulai menetes, raut wajahnya terlihat agak pucat. Gadis kecil itu terus menggenggam tangannya kuat-kuat. Angela pun ikut menangis, sembari membayangkan rasa sakit yang dia alami.

Setelah perjuangan yang begitu berat, akhirnya Jhon telah selesai. Roki pun melepas gigitannya, lalu dia berbaring sembari mengatur nafasnya. Mengingat apa yang dia rasakan barusan, dirinya merasa seperti di taring oleh sepasang tangan besi yang sangat kuat. Padahal pergelangan tangan Jhon sendiri, terbuat dari campuran silikon serta bahan khusus. Tetapi rasa sakitnya masih terasa.

"Lega rasanya, kupikir aku akan mati," kata Roki sembari berbaring mengatur nafas.

"Tubuhmu masih perlu beradaptasi Nak, mungkin dalam kurung lima hari kedepan. Rasa sakitmu tak terlalu terasa seperti biasanya."

"Apa maksud anda Profesor?" Tanya Jhon.

"Menurut data yang kudapat dari Genix, seluruh sel di dalam tubuhnya mengalami evolusi. Jadi jangan kaget, bila tuanmu bisa ngubah wujud tubuhnya sendiri menjadi bentuk lain."

"Profesor!" Bentak Roki, mengingatkan Profesor atas perkataannya sendir seputar membeberkan informasi.

"Maaf keceplosan," ucapnya dengan santai.

"Maaf bila hamba lancang, sebenarnya tuan itu berasal dari mana?" Tanya Jhon dengan rasa penasaran.

"Ceritakan padaku, tentang negeri kakak yang indah itu. Anggela ingin mendengarnya!" Seru Anggela, penasaran ingin mendengar ceritanya.

Sementara itu monster bertangan empat seperti capit, bermata tiga, sebagian tubuh dan kakinya seperti kalajengking, gigi taring, serta memiliki tinggi 4 m berjalan mendekati kamp. Monster itu menatap kamp dengan tatapan tajam, berjalan sembari menahan kencangnya angin. Sejak pelarian merkea, zombie itu terus mengikuti mereka. Monster itu mengaung, sembari meneteskan air liur.

Kencangnya angin, membuat air liurnya tak sempat menyentuh tanah. Belum sempat Roki bercerita, monster itu mengangkat tangannya setinggi mungkin, lalu menghancurkan kamp dalam sekali hantaman. Spontan Roki membopong Angela, lalu dia dan Jhon berdiri di atas batu. Seluruh barang miliknya, sudah di masukkan pada sebuah tabung kecil milik Angela, atau orang di zaman ini menyebutnya Bagscan.

Hembusan angin yang sangat kencang, membuat keseimbangan mereka goyah. Tubuh mereka semua terangkat, lalu mereka berpegangan pada sebuah lempengan batu yang sangat kuat.

"Ini gawat! Jika kita melepaskannya, kita semua akan terbawa angin." Kata Jhon.

"Apa yang harus kita lakukan?!" Tanya Angela dngan suara lantang.

Roki pun terdiam, menatap monster itu yang akan mengubah mereka menjadi daging presto. Monster itu secara tiba-tiba, menyemburkan cairan dari dalam mulutnya.

"Awas menghindar!" Perintah Roki agar bergeser menghindari serangannya.

Beruntung cairan itu mengenai mereka. Jhon pun melihat, sebongkah batu yang berlubang akibat cairan tersebut. Lambat laun kedua tangan Angela mulai terasa pegal, serta terasa nyeri pada jari-jarinya. Sedikit demi sedikit, pegangannya mulai melemah dan akhirnya dia pun terlepas. Dengan sirgap Roki memegang tangannya.

"Bertahanlah! Cepat merangkak ke tubuhku, dan pinjamkan aku senjata milik kakakmu!" Perintah Roki.

Mendengar hal itu, Angela pun mengangguk lalu ia merangkak menaiki tubuh Roki, setelah itu dia mengambil salah satu Bagscan pada gespernya, yang paling kanan. Kemudian dia menekan salah satu ujungnya, seketika tabung itu berubah menjati MBT LAW100. Roki dengan sirgap mengambil, dengan satu tangannya lalu ia membidik ke arah monster tersebut.

"Jhon! Sudah waktunya kita melakukan rencana B."

"Rencana B?!"

"Iyah! Aku akan melompat, lalu menghancurkan monster sialan ini! Lalu kita akan biarkan tubuh kita, terbawa oleh arus."

"Itu sangat berbahaya Nak!" Kata Profesor dalam wujud hologram mini.

"Maka dari itu, aku butuh bantuan Jhon agar ia mendaratkan kami berdua dengan selamat!"

"Baik tuanku, aku mengerti!"

Angela pun mempererat pelukannya pada Roki, layaknya memeluk sebuah pohon. Roki pun melompat, kedua tangannya memegang MBT LAW100 dengan sangat erat. Kemudian dia berkonsentrasi membidik monster sembari berkata,"Take care son of a b*tch!" Lalu dia langsung menembaknya.

Boom!!

Monster itu langsung hancur berkeping-keping, sedangkan Roki dorong ke atas layaknya peluncur roket. Dengan sirgap, Roki langsung memasukkan senjata kembali kedalam Bagscan. Gadis itu terlepas, lalu Roki langsung memeluknya dengan sangat erat. Sementara Jhon terbang, mengawal mereka berdua dengan jet pada punggung dan kedua kakinya.

Mereka semua, melayang-layang terbawa angin dalam ketiggian 1200 m di atas permukaan laut. Setiap kali ada sebuah batang pohon, yang ingin menghantam. Jhon dengan sirgap langsung menebas dengan katana miliknya. Tubuh Roki terasa sangat ringan seperti kapas, kepalanya terasa pening setiap kali melihat ke bawah. Kedua tangannya mulai gemetar, jantungnya pun mulai berdebar begitu kencangnya.

Dia sangat takut, jika ia beserta lainnya tak bisa mendarat dengan selamat. Berkali-kali dia mengusir rasa takut, dengan cara memejamkan mata. Namun tetap saja, dia tak bisa menghilangkan seluruh rasa takutnya.

"Tenang nak, jangan takut semua akan baik-baik saja." Ujar Sang Profesor, dalam wujud hologram mini, melayangkan tubuhnya sembari menyemangatinya.

"Kak Roki jangan takut, ada Angela disini." Kata Gadis kecil itu sembari mempererat pelukkannya.

"Tuan jangan lupakan aku," kata Jhon.

"Thanks," ujarnya lalu ia pun tersenyum.

Sebatang kayu, tiba-tiba saja menghantam kepala Roki. Darah pun mulai mengucur, lambat laun ia pun tak sadarkan diri. Sebelum dia benar-benar menutup kedua matanya, ia sempat mendengar mereka bertiga memanggil namannya. Sekian lama dia tak sadarkan diri, lambat laun dia pun mulai membuka mata.

Dia melihat langit biru, yang membentang luas di angkasa. Lalu ia melirik ke arah gadis kecil itu, memeluk tangan kanannya dengan sangat erat. Kemudian dia terbangun, sembari memegang kepalanya yang terasa pening.

"Syukurlah, anda sudah bangun." Kata Jhon, duduk bersila menunggu kesadaran tuannya.

"Begitulah, kita ada dimana sekarang?" Tanya Roki sembari menatap sekelilingnya.

"Entahlah, saya juga tidak tau. Yang pasti, tempat ini tidak ada satu pun kehidupan."

"Bagus, setidaknya kita tidak perlu menjadi buruan para zombie itu. Ngomong-ngomong, kota Dolten apa masih jauh?"

"Hmmm... butuh satu minggu dari sini untuk sampai kesana."

"Apa? Tidak!!" Ujarnya mendongkak wajahnya ke langit, menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari berteriak.

Sontak gadis kecil itu terbangun dari tidurnya, lalu dia berlari dan langsung memeluknya. Gadis kecil itu mulai berlinang air mata, pelukannya semakin erat. Dalam pelukkannya ia takut, dirinya akan kembali merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.

Melihatnya yang sedang menangis, Roki pun mengusap kepalanya sembari berkata, "Jangan khawatir, kita bisa melalui ini semua bersama." Ujarnya menunduk, menatapnya sembari memberikan sebuah senyuman. Gadis kecil itu, tak mengeluarkan sepatah kata pun lalu ia pun mengangguk. Kemudian, mereka bertiga mulai melangkah dimana matahari terbit.