Chereads / Lorex 19 / Chapter 15 - Tutup pintu

Chapter 15 - Tutup pintu

Suatu hari di sebuah kamp pengungsian darurat, yang terbuat dari batu. Roki duduk bersender sambil melihat ganasnya badai. Sesekali dia menatap lightsaber yang rusak, lalu mempar serta menangkapnya secara berulang-ulang. Menatap lightsaber yang sudah rusak, terasa seperti kehilangan kawan seperjuangan. Dia ingin sekali secepat mungkin, sampai ke kota Dolten untuk beristirahat dari semua mimpi buruk yang telah dia alami.

"Apa yang sedang tuan pikirkan?" Tanya Jhon.

"Memikirkan lightsaber milikku yang rusak, aku ingin secepat mungkin sampai ke kota Dolten untuk memperbaikinya. Juga membeli beberapa senjata baru, beserta persediaan pangan."

"Soal senjatamu, anda tidak perlu risau tuanku. Aku bisa memperbaikinya, hanya saja saya tidak memiliki material serta peralatan yang medukung. Tapi jika tuanku ingin senjata baru, aku bisa membuatkannya untukmu. Tinggal sebutkan saja senjata yang anda inginkan." Kata Jhon sambil mengasah katana miliknya.

"Thanks Jhon, mungkin aku akan memikirkannya sambil jalan."

Di sudut ruangan ia melihat Angela tertidur pulas, sambil merangkul senjata peninggalan kakaknya. Terdapat tiga buah apel merah tepat di sampingnya. Roki pun berjalan mendekatinya, lalu mengambil dua apel untuk dia nikmati seorang diri, sambil menikmati ganasnya badai di luar. Ia pun mulai mengupas kulit dengan sebuah belati yang sempat dia ambil di dalam parkiran. Satu jam sebelumnya, dia memanaskan belati tersebut dengan bara api. Setelah pisau itu dingin, ia menggunakannya dengan aman.

Selesai mengupas apel, kulitnya ia letakkan di atas batu. Setelah mengupasnya dia memotong apel itu kecil-kecil, kemudian meletakkan potongan apel tersebut di atas kulit yang sudah di kupas. Sepotong demi sepotong, mulai ia nikmati. Lambat laun Angela pun terbangun, dia pun berjalan mendekati Roki lalu memeluk tangannya dengan manja.

Kemudian gadis kecil itu kembali tidur di pangkuannya. Roki mulai mengelus kepala secara perlahan, terkadang ia memberikan sebuah kecupan manis padanya. Angela yang sedang berpura-pura tidur, merasa sangat senang lalu dia pun tersenyum menyembunyikan di atas pahanya.

Dari hembusan nafas, yang berhembus mengenai pahanya Roki pun tau, bahwa gadis kecil itu pura-pura tertidur. Roki pun tersenyum jahat, ia mengangkat dua jari ke atas langit. Dan dia pun berkata, " Jyuukenhou, Hakke Rokujuu Yonshou!" lalu dia pun mulang mengelitiki gadis kecil itu, dari ketiak hingga perutnya.

"Ha.ha.ha ampun kak geli!"

"Dua gelitikkan! Lima gelitikkan! Sepuluh gelitikkan! " Ujarnya terus mengelitikinya, hingga setetes air mata terjatuh.

Puas mengelitikinya, dia memberikan seribu kecupan pada seluruh bagian muka hingga pangkal leher Angela sambil berkata, "Lucu banget sih! Mengemaskan sekali kamu!" Ucapnya sambil terus memeri kecupan pada Angela. Raut wajah gadis kecil itu memerah, ia pun tertawa sambil menahan geli. Seketika suara sirine mengejutkannya, spontan Roki melirik kesana kemari mencari asal suara tersebut.

"FBI! FBI Angkat tanganmu!"

Roki secara spontan, mengangkat kedua tangannya setinggi mungkin. Seketika munculah Profesor Xenom dalam wujud hologram mini, duduk tepat di samping bahu kanannya. Beliau pun tertawa terbahak-bahak, hingga air mata berlinang.

"Ha.ha.ha begitu saja kamu sudah takut. Oh iya, di zamanmu joks ini sering digunakan untuk seseorang yang mempunyai obsesi pada anak-anak di bawah umur. Kalau tidak salah, orang-orang menyebutnya dengan istilah lolicon!" Ujarnya sambil menunjuk pada wajah Roki.

"Begitu, rupanya tuanku menyukai tipe gadis yang jauh lebih muda." Jhon dengan polos, sambil menganggukkan kepalanya.

"Tidak! Aku bukan lolicon! Aku tertarik dengan gadis yang sepantar denganku tau!" Ujarnya memalingkan pandangan, dengan raut wajah memerah.

"Ha.ha.ha aku percaya padamu nak. Meskipun di zaman ini menikahi seusia Angela adalah hal yang wajar, tapi jangan kamu nodai sebelum menginjak 18 tahun." Canda Sang Profesor sekaligus memberi saran.

Roki pun terdiam, lalu dia pun tersenyum memandang ganasnya badai pasir di luar. Sekilas dia melihat ada dua orang, berjalan dan bertingkah seperti orang linglung. Namun dia menganggap bahwa apa yang ia lihat adalah sebuah halusinasi. Tiba-tiba, sosok seperti manusia tanpa kulit masuk ke dalam camp. Sosok itu memiliki postur kerempeng, bergigi taring, serta memiliki mata yang cekung. Kedua tangannya memegang sisi pintu, menahan hembusan angin.

Sontak mereka semua terkejut, spontan Roki menendang kepalanya hingga kedua tangannya telepas terbawa oleh arus. Gadis kecil itu berdiri, lalu berlari mengambil senjata PM100 miliknya. Kemudian dia kembali, menenteng senjata dengan siaga. Begitu juga dengan Jhon, yang sudah siap dengan katana miliknya. Arah jam dua belas, kedua zombie mulai mendekat. Angela membidik senjata miliknya pada kedua zombie tersebut.

Door! Door! Door! Door!

Empat tembakkan, mengenai kening dan dada mereka. Dan akhirnya kedua zombie itu tewas. Di balik hembusan badai, beberapa zombie tak berkulit mulai terlihat. Mereka berjalan secara perlahan, dengan rasa lapar yang luar biasa. Angela terus menembaki mereka, Jhon pun membantunya dengan menembakki mereka dengan turet pada kedua lengannya. Sedangkan Roki bersiaga dengan sebuah belati yang ada di tangan kanannya.

"Mereka tidak ada habisnya kak!"

"Kamu benar, sepertinya kita butuh sesuatu untuk menutup pintu masuk."

Mendengar hal itu Jhon melakukan scanning, dengan apa yang ada di depan. Sebuah sensor menangkap, ada sebuah batu memiliki tinggi 1 m, berdiri kokoh dalam jarak 400 m.

"Tuan di sana ada sebuah batu besar, berada pada jarak 400 m."

"Bagus! Kita berdua akan mengambilnya kesana. Untukmu Angela, lindungi kami dari belakang. Oh iya, kalau tidak salah senjata ini ada mode sniper."

"Tapi aku tidak tau cara mengaktifkannya kak."

"Jika kamu ingin mengaktifkan mode sniper, silahkan tekan tombol yang ini." Ujar Sang Profesor menunjuk pada sebuah tombol kecil di samping, tak jauh dari pelatuk.

Gadis itu menekan tombol tersebut, PM100 secara bertahap berubah menjadi sebuah senjata sniper. Kakeran dengan panjang 40 cm, degan Barrel length 110 mm, dan berat 2 kg. Jarak pandang tertutup oleh pasir dan debu, membuat Roki khawatir tentang akurasinya dalam menembak.

"Jangan khawatir kak, semua itu bisa teratasi dengan kacamataku." Kata gadis kecil itu, sambil mengenakan kacamata dari atas helmnya.

Profesor menjelaskan bahwa kacamata itu bernama Ponglass. Kacamata itu bukanlah sembarang kacamata. Ponglass, memliki beberapa fitur canggih seperti penglihatan inframerah, mode scanning, pengukur tekanan suhu, arah angin, serta di lengkapi sisterm retas. Jika di kombinasikan dengan PM100, akurasi bisa melebihi seratus persen. Sayangnya kacamata milik Angela, tak tahan dengan air sehingga dia harus extra hati-hati dalam menjaganya.

Selesai mengenakan kacamata, Angela pun tiarap sambil memegang senjata dengan kedua tangannya. Pandangannya hanya terfokus pada target di depannya. Sebelum Roki melangkahkan kakinya, Angela memberikan sebuah syal merah miliknya. Kemudian Roki mengikat syal tersebut, untuk menutupi sebagian wajahnya. Setelah semuanya siap, Roki dan Jhon pun berlari menghampiri batu tersebut.

Hembusan angin yang kencang, serta minimnya penglihatan membuat Roki harus berhati-hati. Terpaksa dia harus memperlambat langkahnya, lalu fokus berjalan ke depan. Berbeda dengan Jhon, dia bisa melihat apapun di sekelilingya dengan jelas. Kedua Zombie secara tiba-tiba berlari ke arahnya. Ia pun menebas wajah salah satu zombie, berkali-kali hingga tak berbentuk. Zombie satunya mencengkram tangan kanan Roki dengan sangat kuat.

Dengan sirgap ia menusuk kepala zombie itu dari bawah. Darah pun mulai berkucuran, sebelum zombie itu menyentuh tanah, Roki melompat lalu membantingnya hingga tengkorak belakangnya hancur.

Sementara itu, ketiga zombie berlari mendekati Jhon. Cybong itu mengeluarkan katana, lalu menebas mereka berkali-kali hingga terbelah menjadi beberapa bagian. Tiba-tiba Zombie itu mencekik leher Roki dengan sangat kuat. Mulut zombie itu terbuka sambil meneteskan air liur, lalu mendekati leher mangsanya.

Door!

Sebuah tembakkan mengenai tengkuknya. Cengkraman zombie itu mulai melemah, tanpa pikir panjang Roki langsung menebas lehernya dengan sebuah belati. Mereka berdua berjalan lurus ke depan, hembusan angin di sertai pasir membuat pekerjaan mereka menjadi sulit. Di tambah para zombie yang terus menyerang mereka tiada henti.

Beruntung gadis kecil itu, melindungi serta menembakki para zombie dari belakang, sehingga mereka berdua sedikit tertolong. Berbagai hala rintang, telah berhasil mereka lewati. Entah sudah berapa zombie yang mereka bunuh. Akhirnya, mereka berdua sampai pada tujuan, yaitu sebuah batu besar.

"Biar aku yang mengangkatnya." Kata Roki.

"Apa tidak masalah tuanku, mengangkat seorang diri? Setidaknya biar saya bantu mengangkatnya." Jhon pun terbang dengan jet pada kedua kakinya.

Cybong itu lupa bahwa badai yang menerjang, dapat menerbangkan mereka berdua kapanpun. Dan benar saja, Jhon pun terbang terbawa oleh angin. Spontan Roki menjulurkan tangan kirinya, berteriak "Jhon!" Kulit beserta daging, pada lengan bawah mulai mengupas lalu keluarlah lima tentakel pada lengan Roki. Tentakel itu melilit seluruh tubuh Jhon, lalu menariknya sekuat tenaga hingga menyentuh tanah.

Selesai menarik Jhon, tentakel itu kembali kedalam lengannya. Rasa sakit, ketika mengeluarkan tentakel mulai dia rasakan. Tangannya terasa seperti teriris oleh pisau. Namun dalam waktu tiga menit, rasa sakit itu langsung menghilang.

"Tadi itu hampir saja, lain kali tolong hati-hati!" Ucapnya dengan khawatir.

"Maaf atas kecerobohan saya tuanku." Ujarnya meminta maaf.

"Yasudah, ayo bantu aku untuk mengangkatnya!" Perintah Roki.

Kemudian mereka bersama-sama mulai menggangkat batu, lalu berjalan secara perlahan hingga kembali ke kamp. Sialnya para zombie tak berkulit, namun bertubuh kekar mulai mengintari mereka berdua.

Door! Door! Door!

Gadis kecil itu terus menembak para zombie itu, sembari membuka jalan pada mereka berdua. Namun semua itu percuma, bagian belakang mereka tak terlindungi. Roki pun memerintahkan Jhon untuk melindunginya, selagi ia membawa batu. Jhon langsung melepas pegangannya, lalu dia kembali mengeluarkan katana miliknya. Para zombie itu langsung di tebas satu persatu, jika mendekati tuanya. Terkadang dia menembakki zombie, dengan kedua turet di kedua lengannya.

Baru seratus meter Roki berjalan, namun dia melihat kamp seolah-olah mulai menjauh. Roki pun terbatuk-batuk, karena udara yang di penuhi oleh pasir dan debu mulai memasuki hidung. Dia berusaha mempercepat langkahnya, agar segera sampai di kamp. Seketika dia terpikirkan sebuah ide. Lalu kedua kakinya mulai berancang-ancang, kemudian dia pun berlari dan melompat sejauh 250 m. Suara dentuman terdengar, ketika kedua kakinya berhasil menyentuh tanah.

Darah pun mengalir pada kedua kakinya. Rasa sakit yang luar kembali di rasakan. Namun dia terus membawanya, walau kedua kakinya sudah mencapai batasnya. Jhon pun berlari menyusul Roki dari belakang, lalu dia pun membantu mengangkatya. Tiba-tiba Roki pun terjatuh, Angela yang melihatnya spontan dia langsung berlari menghampirinya.

"Jangan! Jangan kesini! Terlalu berbahaya!" Perintah Roki.

Gadis kecil itu mengabaikan perintahnya, dia pun berlari lalu menarik kedua tangan Roki secara perlahan hingga masuk ke dalam kamp. Roki pun terbaring lemah, sambil menahan sakit pada kedua kakinya. Sementara itu Jhon sudah sampai di depan kamp. Lalu ia memanjangkan kedua lengannya, lalu menarik batu tersebut hingga menutup jalan keluar kamp.

Kemudian Jhon berlari mendekati tuannya, yang sedang terbaring lemah. Lambat laun pendarahan pada kedua kakinya pun terhenti. Rasa sakit pada kedua kakinya, telah usai. Kini kedua matanya mulai terpejam, lalu dia pun langsung tertidur dengan pulasnya.