Di sebuah hamparan pasir dan tanah gersang tak berujung. Enam jam lamanya mereka bertiga berjalan kaki. Panasnya trik matahari, membuat Roki serta gadis kecil itu berkeringat. Kedua kaki mulai terasa pegal, karena lamanya berjalan. Namun semua itu tak berlaku bagi Jhon. Tubuhnya yang terbuat dari titanium dan silicon. Membuat dirinya tak merasakan apapun. Rasa jenuh, mulai tumbuh pada diri Roki. Melihat hamparan tanah tandus tak berujung, membuat Roki semakin jengkel.
Meskipun begitu ia tak punya pilihan lain. Lagi pula jika ia mengeluh, dia akan sangat malu pada gadis kecil itu. Melihat ia hanya diam tersenyum, menikmati perjalanan dengan senang hati. Tanpa ia ketahui, di balik senyumannya Angela menahan sakit pada telapak kakinya. Kedua telapak kakinya, mengalami luka lecet akibat gesekan pada sepatunya, karena terlalu lama berjalan. Apalagi dia membawa beban senjata di punggungnya.
Gadis kecil itu tak ingin beban Roki bertambah. Jadi dia lebih memilih untuk diam. Sementara itu Roki, yang sudah dilanda rasa jenuh mulai mengepalkan tangan kirinya. Kemudian ia tempelkan pada bibirnya. Setiap langkah kakinya, ia hentakkan dengan cukup kuat lalu dia pun melakukan Rap, untuk menghilangkan rasa bosan.
Melihat hal baru bagi mereka berdua, merasa terheran-heran serta bertanya-tanya dengan apa yang sedang dia lakukan. Beberapa menit kemudian, ia pun berjalan mundur layaknya penyanyi legendari Michael Jackson. Lalu dia pun berkata.
"Pizza! Pizza! Oh yeah Pizza!" Ia pun berjalan mundur, sambil menggerakkan bokongnya.
Dia terus melakukannya, sepanjang hari dengan raut wajah konyol. Angela terus memperhatikan apa yang sedang Roki lakukan. Lambat laun akhirnya gadis polos itu, mulai mengikutinya. Sementara itu Jhon terdiam, mencari data dengan fenomena yang di alami oleh tuannya. Khawatir tuannya mengidap penyakit atau hal lainnya. Pada akhirnya Jhon tidak menemukan informasi apapun, di benak kepalanya.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi, pada tuanku? Mengapa ia bertingkah aneh seperti itu?" Tanya Jhon, pada Profesor Xenom dalam bentuk hologram mini, yang sedang duduk di bahu kirinya.
"Sepertinya syaraf otaknya, mengalami gangguan akibat cuaca panas." Ucapnya dengan asal.
"Kalau begitu, kita harus lakukan sesuatu agar kondisi kesehatannya kembali pulih."
"Tidak-tidak! Yang aku katakan barusan hanyalah jokes." Ujarnya meluruskan kesalah pahaman.
Mendengar hal itu Jhon pun terdiam. Melihat tingkah Jhon membuat Profesor menepuk wajahnya sendiri. Ia sadar telah mengeluarkan perkataan bodoh, yang membuat Cybong salah paham. Sementara itu Roki terus bertingkah konyol, sampai-sampai ia pun terhenti melihat gadis polos itu mengikutinya. Roki menepuk keningnya dengan rasa malu. Melihat gadis itu menggoyangkan pinggul serta bokongnya, dia teringat dengan beberapa remaja 12 tahun ke bawah di kampung halamannya, sekitar wilayah Asia tahun 2020.
Para remaja itu berjoget pada sebuah situs, dengan pakaian serba ketat, serta raut wajahnya yang konyol. Mereka berjoget dengan durasi singkat, memperhatikan lekuk tubuh serta memperlihatkan kebohohan mereka pada sebuah lensa kamera. Melihat mereka melakukan hal itu, rasanya urat malu mereka sudah terputus. Jangan sampai Angela masuk ke dalam golongan mereka.
Jika hal itu terjadi, ia akan merasa bersalah kepada Wiliam karena mengabaikan amanatnya. Dia langsung berpikir, bagaimana caranya mengganti dengan sesuatu yang lebih berfaedah untuk gadis seusianya. Seketika dia terpikirkan sebuah ide, ketika mengenang masa kecil.
"Bisakah kau hentikan itu?"
"Kenapa kak?" Tanya balik gadis itu.
"Dari pada kita melakukan hal yang tidak jelas, bagaimana kalau kita bernyanyi?"
"Wah! Apa kakak bisa bernyanyi?"
"Tentu."
"Angela ingin dengar suara merdu kakak."
"Tapi janji yah, habis ini kita nyanyi bersama."
Kemudian Roki menarik nafas, lalu ia menghebus dengan sebuah nada serta irama yang indah. Irama mengingatkan dirinya ketika semasa kecil. Masa sebelum mengenal kejamnya dunia. Dunia yang di penuhi oleh keceriaan serta fantasi. Sebuah lagu yang sering dia dengar, pada sebuah opening animasi Ninja Hatori yang ia dengar setiap hari minggu. Mendengar lantunan lagu yang indah, membuat gadis kecil itu ikut bernyanyi.
Lambat laun suasana di perjalanan, berubah menjadi penuh dengan keceriaan. Mereka berdua bergembira serta tertawa bersama. Walau panas serta rasa sakit pada kedua kaki mereka. Sementara itu Jhon dan Profesor, tersenyum menikmati keceriaan yang mereka berdua buat. Pada akhirnya manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka tak bisa melakukannya secara terus menerus.
Hari sudah semakin sore. Nyanyian mereka berdua, lambat laun mulai terhenti. Rasa lelah yang luar biasa, mulai menyelimuti mereka berdua. Berjalan menelusuri hamparan pasir serta tanah gersang, dengan berjalan sempoyongan. Tiba-tiba Angela pun tersandung dengan sebuah batu. Ia pun terkapar di atas tanah. Pada akhirnya, ia pun tak bisa menutupi apa yang dia rasakan. Spontan Roki pun berhenti, lalu mengakat gadis kecil itu dengan kedua tangannya. Raut wajahnya terlihat sangat kelelahan, tubuhnya sedikit gemetar.
"Kita akan bermalam disini." Perintah Roki pada Jhon.
"Baik tuan." Jhon menempelkan lengan ke dadanya, lalu membungkuk memberi hormat.
Jhon pun pergi meniapkan tempat peristirahatan. Batu kerikil dan ranting ia singkirkan. Beberapa lempengan batu, ia tata serapih mungkin membentuk sebuah alas persegi panjang. Jika ada sebuah lekukan, dia mengubah pergelangan tangan kanannya menjadi mata gerinda. Kemudian ia haluskan sedikit demi sedikit hingga rata. Dan begitulah seterusnya, hingga seluruh permukaan batu menjadi rata.
Sementara itu Roki melepas kedua sepatu Angela. Luka lecet pada kedua kakinya, terlihat sangat jelas. Melihat hal itu Roki, merasa bersalah karena terlalu lama membiarkan gadis kecil itu berjalan. Kemudian dia pun bertanya, mengapa gadis kecil itu menutupi apa yang sedang dia rasakan. Semua itu sengaja dia lakukan, agar tidak menjadi beban bagi Roki. Sudah terlalu banyak hal buruk yang ia rasakan. Jangan ada lagi, permasalahan membuat dirinya menanggung beban yang lebih berat. Mendengar hal itu Roki pun berkata.
"Padahal jika kamu merasa sakit, sebaiknya katakan saja tidak ada yang namanya beban disini. Semua saling menjaga satu sama lain. Lagi pula, sudah kewajibanku untuk menjagamu. Jadi jangan pernah kamu pikirkan hal itu lagi."
"Tapi kak."
"Sudah pokoknya, apapun yang terjadi jangan pernah sembunyikan apapun dariku. Janji?!"
Gadis itu menganggukkan kepala, sebagai janji yang dia buat di dalam hati. Meskipun begitu, gadis kecil itu tetap bertekat untuk melakukan segala sesuatu, seorang diri agar tidak terlalu bergantung orang lain. Jika ada suatu pekerjaan di luar kemampuannya, barulah ia akan mengandalkan orang di dekatnya.
Hari sudah mulai gelap Jhon sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tiga buah alas memiliki panjang 200 cm, serta lebar 100 cm tersusun dari lempengan batu yang tipis, mengintari tumpukan ranting. Roki pun membuat api unggun dengan tumpukan ranting tersebut. Akhirnya tempat peristirahatan telah selesai dibuat.
Kemudian Roki membopong gadis kecil itu, lalu meletakkannya di alas batu. Jhon pun berjalan mendekat, lalu menyemprotkan sebuah cairan antiseptik, kepada kedua telapak kakinya. Gadis kecil itu berterima kasih kepadanya, Jhon tersenyum lalu ia kembali ke tempat duduk tak jauh dari perapian. Lalu Jhon membersihkan kunai dan suriken, dengan sebuah lap miliknya. Sementara itu Roki mulai memijat kedua kaki Angela. Andaikan dia memiliki minyak tawon, hasil pijatannya akan semakin maksimal.
Urat-urat kakinya yang kencang, dia pijat dengan sangat hati-hati. Ia sangat bersyukur, pengalaman memijat yang dia dapatkan dari kedua orang tuanya, sangat berguna. Terkadang gadis kecil itu merintih menahan sakit. Kedua tangan Roki ketika melakukan pijatan, terasa seperti batang kayu.
"Apa masih sakit?"
"Tidak terlalu kak," jawab gadis kecil itu.
"Bersabarlah, sebentar lagi kedua kakimu akan membaik."
Mendengar hal itu Angela menganggukkan kepala, lalu ia pun tersenyum manis kepadanya. Lambat laun gadis kecil itu tertidur pulas. Melihat raut wajahnya yang tertidur, membuat Roki tersenyum. Di hari kiamat, ia masih sempat memberikan sebuah kebaikan. Seiring kobaran api, ia semakin bertekat untuk memulangkannya kembali ke kota Dolten. Sudah seharusnya gadis kecil itu, menikmati masa bahagia disana.