Sinar mentari menjulang tinggi, sudah dua jam lamannya Roki, berbaring pada sebuah kursi tua di dalam gerbong. Memandang tanah tandus, sejauh mata memandang. Tak ada satu pun kehidupan, selain tulang belulang serta pohon yang sudah mati. Angin berhembus kencang, memasuki pentilasi udara tak jauh dari tempat duduknya.
Sementara itu Angela sedang tertidur pulas tepat di sampingnya. Trauma dengan kejadian semalam, gadis itu tak mau melepaskan pelukannya. Sedikit saja pergerakan darinya, membuat Angela langsung terbangun.
Pukul tiga dini hari, Roki meminum 700ml air milik Angela. Lalu dua jam kemudian, ia ingin ke belakang untuk hajam. Kemudian ia pun beranjak dari tempat tidurnya. Angela yang sedang tertidur, tiba-tiba saja terbangun. Gadis kecil itu langsung berlari, lalu memeluknya sangat erat.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" Tanya Roki.
Namun dia hanya terdiam. Setiap pertanyaan yang sama, membuat pelukannya semakin erat. Melihat hal itu, Roki menghembuskan nafas panjang lalu menatap dengan raut wajahnya yang datar.
"Dengar gadis kecil, aku tidak akan meninggalkanmu. Hanya pergi sebentar untuk membuang air. Sumpah, hanya sebentar." Roki berlutut lalu memegang kedua pundaknya.
"Masa bodo, pokoknya aku ingin ikut!" Ujarnya sambil mempererat pelukannya.
Mendengar hal itu Roki menepuk wajahnya sendiri. Ia menundukkan pandangan, serta menutup wajah dengan satu tangan. Kemudian kepalanya terangkat kembali, menatap kesana kemari, mengetuk lantai dengan kaki kirinya berkali-kali, serta menghembuskan nafas.
"Ayolah! aku sudah di ujung. Izinkan aku pergi sebentar saja." Pinta Roki pada gadis kecil itu, sambil menahan kencing.
"Pokonya aku mau ikut!" Kata gadis itu dengan keras kepala.
Terpaksa Roki mengizinkannya, untuk ikut menemaninya buang air kecil. Sesampainya di ujung gerbong, Roki pun langsung berjongkok lalu ia membuka seleting celananya secara perlahan. Ia pun melirik ke arah gadis itu yang sejak tadi terus menatapnya. Dia pun merasa sangat malu, di perhatikan olehnya. Beruntung burungnya tidak keluar dari sangkarnya, jika itu terjadi tentu akan sangat memalukan.
"Bisakah kamu berbalik?!" Perintah Roki.
"Kenapa?"
"Kenapa? Tentu saja itu sangat memalukan. Ayolah! Biarkan aku menikmati waktu privasiku."
Perintah Roki membuat, dirinya semakin menjadi-jadi. Kemudian ia memegang kedua pundak gadis kecil itu, lalu meyakinkan bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkannya. Sebagai tanda bukti, Roki pun berjanji dengan sebuah jari kelingking. Angela pun tersenyum, dan ia pun berbalik dengan senang hati. Akhirnya ia bisa menikmati waktu privasinya seorang diri.
Selesai membuang hajat, dia berjalan kembali sambil bergandengan kembali ke tempatnya. Roki pun kembali tertidur, menikmati waktu nuansa pagi hari yang indah dan damai. Sementara gadis itu, berbaring di kursi yang bersebrangan dengannya. Dia tertidur, dengan sebuah tas berisi apel sebagai bantalan. Sama halnya dengan Roki, tidur menghadap jendela menatap langit biru yang cerah.
Lambat laun matanya kembali terpejam. Saat ia kembali terbangun, gadis kecil itu tiba-tiba sudah berada tepat di samping kirinya. Matanya terpejam sambil memeluknya dengan cukup erat. Tak ingin berpisah walau hanya sejengkal, dengan rambut yang terurai ke bawah. Helmnya, ia tinggalkan bersama senjata miliknya di kolong bangku. Entah mengapa laju kereta, semakin lama semakin melambat. Hingga akhirnya Sang Masinis memberhentikan kereta di tengah hamparan luas tanah yang gersang.
Roki pun beranjak dari tempat tidurnya. Kedua tanganya menempel pada jendela, melihat kesana-kemari tanah gersang di sekitarnya. Angela pun terbangun dari tidurnya. Melihat Roki yang tak berada di sisinya, membuat gadis kecil itu beranjak dari tempat tidurnya. Kemudian ia pun berlari mendekati Roki, lalu ia pun langsung memeluknya dari belakang.
"Coba lihat, tak kehidupan sejauh mata memandang. Mengerikan bukan?"
"Sejak Angela berumur 5 tahun, tempat ini selalu seperti ini Kak. Memang, bagaimana di kampung halaman Kak Roki? Bukanya sama saja?"
"Kampung halamanku, sangat indah dan jauh dari tempat ini loh. Hamparan rumput hijau yang luas, berbagai jenis tumbuhan dan binatang. Tapi yang terbaik dari itu, kampung halamanku sangat subur."
"Benarkah itu kak?" Tanya gadis itu dengan rasa penasaran.
"Iya itu benar, saking suburnya sebatang kayu di tancapkan ke dalam tanah. Tumbuh menjadi tanaman, yang sehat dan indah."
"Wah! Angela ingin pergi kesana kak!"
"Ha.ha.ha. Kapan-kapan kakak ajak kamu pergi kesana." Kata Roki.
Kemudian suara ketukan pintu terdengar, lalu Cybong itu berjalan masuk ke dalam. Ia pun berjalan perlahan mendekati mereka berdua.
"Maaf mengganggu pembicaraan kalian. Aku tidak tau kalian berdua ingin pergi kemana, tapi sayangnya jalur perlintasan kereta sudah terputus." Ujarnya mejelaskan sesuatu yang terjadi.
"Begitu rupanya. Rencananya kami ingin perki ke kota Dolten."
"Kalian salah jalan, kota Dolten berada di Timur." Cybong itu menunjuk ke arah yang di maksud.
Mendengar hal, itu raut wajahnya semakin datar. Ia tak menyangka bahwa, menaiki kereta membuat jarak perjalanannya semakin jauh. Melihat tanah gersang, di selimuti oleh pasir serta suhu panas di luar. Membuat dirinya tak ada pilihan lain.
"Sudahlah nak, jangan banyak mengeluh dan nikmati saja perjalanannya." Ujar Sang Profesor muncul secara tiba-tiba dalam hologram mini.
"Terserah. Oh iya bagaimana denganmu Tuan Cybong?"
"Sudah aku putuskan. Aku akan mengikutimu."
Cybong itu langsung berlutut, lalu dia menancapkan katana sambil menunduk. Roki pun kebingungan melihatnya. Lalu Cybong itu kembali berkata.
"Tuan ketulusan hatimu dalam menjaga gadis keci itu, telah menggetarkan hatiku. Maka tuan, jadikanlah aku pengikutmu. Akan aku lakukan segala perintahmu, serta patuh dan setia hingga akhir hayat" Cybong itu mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
"Tunggu dulu apa ini maksudnya?! Apa dia sedang bercanda Profesor?" Tanya Roki pada Profesor.
"Dari perkataanya, dia sangat bersungguh-sungguh nak. Tapi aku curiga, jangan-jangan dia mata-mata. Tidak mungkin seorang Cybong seperti dirinya, berada di kota tanpa maksud dan tujuan bukan?"
"Propesor memang benar, tapi kakaku sering bilang agar selalu berperasangka baik." Kata gadis kecil itu dengan polosnya.
"Aku sungguh bukanlah mata-mata, jika kalian tidak percaya silahkan kalian periksa sistemku." Kata Cybong.
Roki serta Sang Propesor, masih tidak percaya dengan perkataannya. Kemudian Genix, tangan besi di lengan kanannya, mengeluarkan sebuah kabel USB (Universal Serial Bus). Kabel USB tersebut ia sambungkan pada kepala Cybong. Dengan teknologi super canggih, Genix memeriksa seluruh sistem dengan sangat teliti.
"Jika kalian masih tidak mempercayaiku, akan kuberikan sebuah sistem penghancuranku."
Cybong itu secara sukarela, mengirimkan sistem pengancuran tersebut. Sistem itu bekerja layaknya sebuah remot kontrol. Cukup menekan sebuah tombol, atau sebuah sandi suara maka Cybong itu langsung meledak. Mendengar perkataannya membuat hati Roki tersentuh. Ia merasa seperti orang yang jahat, membiarkan Cybong yang tidak berdosa melakukan hal tersebut. Sama halnya dengan Propesor, diam mematung dengan rasa bersalah telah menunduhya seorang mata-mata.
"Baiklah kamu boleh ikut, tapi aku tidak bisa membayarmu atau apapun." Kata Roki.
"Melayanimu dengan setulus hati, begiku sudah cukup tuanku."
"Ok mulai sekarang, kamu adalah pengikutku. Lakukan apapun perintahku, dan bergunalah untukku."
"Terimakasih tuanku, aku pasti akan setia dan menuruti segala perintahku. Tapi sebelum itu maaf, anda harus selesaikan administrasi terlebih dahulu." Cybong itu mengatakannya sambil berlutut.
Cybong itu berdiri, lalu ia meminta Roki menyentuh telapak tangannya. Sistem pada dirinya menscan telapak tangan pemiliknya. Identitas dimulai nama, golongan darah hingga tanggal lahir, tersimpan di memory. Sebagai tanda kepemilikan, Cybong itu meminta Roki untuk memberi nama. Kemudian ia memberi nama Jhon Luwis. Dan akhirnya Jhon secara resmi, menjadi pengikutnya.
Baru saja Roki menghirup oksigen, tiba-tiba sesuatu menghantam gerbong dari bawah. Gerbong itu terpental, dan terguling sejauh 1 km. Spontan ia memeluk Angela, serta melindunginya dari benturan. Mereka semua tak sadarkan diri selama beberapa menit. Darah mengucur dari keningya, serta terdapat luka memar cukup parah. Jhon berdiri menahan, lempengan besi yang akan mengenai tuannya. Sedangkan gadis kecil itu tak sadarkan diri, dengan lecet, serta memar di kepalanya.
Tak butuh waktu lama tetesan darah pun terhenti. Luka memar serta sayatan kembali pulih seperti sediakala. Roki pun bangkit, lalu ia membobong Angela dengan kedua tangannya. Dia pun melompat ke atas gerbong, melihat apa yang sebenarnya terjadi. Seekor cacing raksasa berdiri layaknya seekor ular. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan ribuan gigi yang sangat besar dan tajam.
Air liurnya menetes, serta moncongnya yang mirip seperti capit. Membuat sosoknya, layak untuk di takuti. Moncongnya buka-tutup, memberi sebuah isyarat kematian pada mangsanya. Cacing itu memiliki tubuh serta panjang, seperti lokomotif yang mempunyai delapan gerbong. Lambat laun gadis kecil itu sadar, lalu ia menurunkannya secara perlahan. Kemudian dia teringat kartun yang sering ia tonton di pagi hari. Lalu ia menunjuk ke arah cacing itu, dan berkata.
"Terkutuklah kau, cacing besar alaska!" Ujarnya dengan suara lantang.
Kemudian cacing besar itu memutar tubuhnya, lalu masuk ke dalam tanah layaknya mesin bor. Bumi pun bergetar, tanah mulai membukit seiring dengan pergerakan cacing tersebut. Seketika nyalinya menjadi ciut, ketika teringat bahwa dia tak memiliki senjata apapun di tangannya. PM100 serta MBT LAW100 berada di dalam gerbong. Jhon pun melompat lalu, mendarat dan berlutut layaknya sosok ninja.
"Perintahmu?"
"Bantai!" Perintah Roki.
Mendengar hal itu Jhon langsung mengudara, menggunakan roket pada telapak tangan, dan kakinya. Dia pun terbang hingga sepuluh kaki di udara. Cybong itu mendaratkan, sebuah pukulan meteor hingga tanah pun terbelah. Akhirnya cacing besar itu kembali keluar. Tak menyianyiakan kesempatan, Roki pun masuk kembali ke dalam gerbong. Mengambil barang-barang tertinggal di dalam gerbong. Kemudian dia melompat, lalu ia mendarat tepat di samping Angela. Setelah itu dia memberikan senjata PM100 serta MBT LAW100 peninggalan kakaknya.
Cybong itu mengeluarkan sembilah katana dari sangkurnya. Ia pun melompat lalu menebas keempat moncongnya satu persatu, sebelum cacing itu kembali masuk ke dalam tanah. Kemudian Roki meminta gadis kecil itu menembak cacing raksasa, dengan senjata MBT LAW100 miliknya.
Door!
Tembakan yang di keluarkan, membuat gadis kecil itu hampir terpental. Beruntung dengan sirgap, Roki langsung menahannya. Akhirnya kepala cacing raksaya itu hancur, lalu Jhon kembali memasukkan sembilah katana ke dalam sangkurnya. Kemudian kedua turet pada lengan Jhon, menembakkan sinar laser. Kini cacing itu terbelah menjadi dua puluh bangian, dengan tubuhnya yang hangus. Dan akhirnya kali ini, mereka selamat dari bahaya.
Roki pun bernafas lega. Ia pun membawa barang, sambil membopong gadis kecil itu turun dari gerbong. Lalu ia pun menurunkan Angela secara perlahan. Disana dia melihat lokomotif yang sudah terguling, dengan jarak cukup jauh. Akibat serangan tersebut, membuat dirinya terpaksa harus berjalan kaki dengan jarak yang lebih jauh. Melihat wajahnya yang lesu, gadis itu berkata.
"Tenang kak, pasti kita bisa melalui ini semua." Ujar gadis kecil itu, dengan raut wajahnya yang semangat.
"Thanks." Ujarnya.
Setelah itu mereka berdua berjalan menghampiri Jhon. Dan petualangan pergi ke kota Dolten pun dimulai.