[Cuplikan bab sebelumnya]
"Yang Mulia, Ratu Anindya sedang dalam proses melahirkan."
"Undur agendaku untuk hari ini," perintahku pada sekretaris, "dan atur ulang kembali agendanya."
***
Aku tiba tepat beberapa langkah dari ranjang tempat Anindya akan melakukan proses persalinan. Beberapa orang di sana sibuk berlari kecil dan membantu Anindya untuk menahan rasa sakit yang dideritanya.
"Yang Mulia sudah datang!" seru salah satu dayang yang melihat kehadiranku.
Beberapa orang di sana mengalihkan atensinya padaku, begitu juga Anindya yang langsung tersenyum di sela-sela wajah pucat dan keringat yang bercucuran.
Langkahku tergesa-gesa sampai ke ranjang. Aku duduk di dekat Anindya dan mengambil tangannya untuk digenggam. Sedikit tersentak saat pori-pori tanganku merasakan suhu dingin dan lembab yang terasa saat tangan kami bersentuhan.
"Tanganmu sangat dingin," tukasku dengan khawatir. Bersiap untuk mengeluarkan mana agar dia merasa hangat, namun dihentikan oleh tabib yang membantu persalinannya.
"Jangan, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu tidak boleh diberikan mana sebelum dia melahirkan," larangnya dengan wajah ketakutan.
Jantungku seakan berhenti berdetak untuk sementara. Aku melupakan hal yang sangat penting untuk wanita yang akan melahirkan.
Kurasakan elusan pelan di pundak. Aku menoleh dan mendapati Anindya yang mengangguk kecil sambil tersenyum padaku.
"Tidak apa-apa," lirih Anindya mencoba menenangkan aku yang terdiam sejenak karena terkejut.
"Maaf, Anindya. Aku lupa akan hal itu," ucapku sambil menciumi satu per satu jemarinya.
Dia mengangguk pelan. Hatiku teriris saat kembali melihat Anindya yang menahan rasa sakitnya dengan keringat dingin yang terus bercucuran. Ada perasaan yang tak bisa ku ungkapkan saat melihat Anindya kesakitan karena aku tak bisa ikut merasakan dan hanya bisa menguatkannya.
"Terima kasih," singkatku pada tabib yang tadi mengingatkan. Mungkin jika dia tak mengingatkan, penderitaan Anindya akan bertambah berpuluh-puluh kali lipat. Dan pastinya aku akan tambah menyesal sampai mati jika hal itu terjadi.
Tabib itu terlihat sedikit terkejut, sebelum akhirnya dia menunduk hormat padaku.
Atensiku kembali ditarik pada Anindya. Aku melepaskan genggaman tangan yang sejak tadi dicengkram oleh Anindya dan mengambil sapu tangan dari saku celana yang selalu ku bawa ke mana-mana.
Kami menautkan tangan lagi, kemudian aku mengelap dahi, pelipis, dan wajahnya yang bercucuran keringat. Senyumannya terukir, walaupun hanya segaris tipis.
"Jahankara, jangan lupakan apa yang sudah kita bicarakan setiap malam selama lima bulan terakhir," katanya dengan napas yang agak berat.
"... ya," balasku dengan tatapan sendu. Faktanya kalimat-kalimat yang terlontar dari bibir Anindya saat ini adalah kalimat yang ambigu.
Butir-butir air keluar dari matanya yang menatapku dengan perasaan tercampur. Aku mengeraskan rahang, kemudian menarik napas panjang sebelum mengusap air matanya.
"Jangan menangis," imbuhku di sela-sela mengusap air matanya.
Dia mengangguk berkali-kali. Sangat terlihat jika Anindya menahan tangis agar kesedihannya tak diperlihatkan padaku. Dan aku bisa menebak jalan pikirannya saat ini. Dia pasti berpikir bahwa aku lah yang jauh lebih sedih karena ditinggal secara sepihak, walaupun selama lima bulan terakhir kami sudah banyak menghabiskan waktu bersama.
"Jangan pikirkan aku. Pikirkan dirimu dan anak kita," ujarku mengalihkan kesedihan di antara kami.
Pupilnya bergetar, senyumnya yang tinggal segaris menghilang, kemudian dia mengangguk.
"Apa Gasendra akan datang ke sini?"
"Mungkin saja, tapi aku juga tak tau dia sudah mendapatkan kabar atau belum."
"Larang dia. Jangan biarkan Gasendra datang ke sini," peringat Anindya. Dia mencengkram tanganku lebih erat sehingga aku mengeraskan otot-ototku.
"Kenapa?"
Dia menggeleng pelan, lalu berpaling. "Aku tidak ingin dia mengalami hal buruk di depan matanya," gumamnya, tapi masih bisa terdengar olehku.
Bibirku terbungkam rapat. Bukan kah sama saja? Gasendra juga akan melihatnya setelah itu. Mungkin akan ada rasa penyesalan pada Gasendra jika dia tak berada di sisi ibunya untuk terakhir kali.
"Aku tidak berpikir seperti itu."
Dia menoleh padaku dan masih bisa menatap tajam di sela-sela rasa sakit yang dia rasakan.
"Jadi kau ingin melihatnya hancur?"
"...."
"Tolong, Jahankara. Ini permintaan terakhirku. Aku ingin egois demi Gasendra, ku mohon ...."
Aku bergeming, memikirkan permintaan Anindya di detik-detik terakhir atau tetap pada pendirianku. Keputusan harus cepat diambil karena bisa saja Gasendra sedang dalam perjalanan ke kamar ini.
"Jahankara ...."
Aku mendengar panggilannya yang lirih, namun suara kepanikan dari tabib utama membuatku menghiraukan Anindya untuk sejenak.
"Ini gawat! Tubuh Yang Mulia Ratu tak mendukung untuk proses melahirkan."
Mataku terbelalak dan menatap tajam pada tabib itu. Dia merunduk dengan tubuh gemetarnya.
"Ampun, Yang Mulia ...."
"Ulangi ucapanmu!"
"Ttubuh ... uhh ... Yang Mulia Ratu ttidak mendukung un ... untuk proses melahirkan," ulangnya dengan suara gemetar.
Prang!
Bejana keramik berisi air di nakas terpental karena ulah manaku yang menguar dengan acak. Pecahan beling tersebar di mana-mana dan serpihannya sukses mengenai salah satu dayang yang berdiri tak jauh dari sana.
"TINGKATKAN KONDISI TUBUHNYA! ENTAH ITU DENGAN OBAT ATAU BERKAT PENDETA! CEPAT!" Napasku memburu setelah memberikan titah pada mereka.
Anindya semakin erat menggenggam tanganku. Hawa dingin menyelimutinya sampai dia menggigil hebat.
Aku menelan saliva, kemudian memeluknya. Berharap agar pelukanku dapat membuatnya sedikit hangat. Beberapa pelayan membawakan bejana berisi air, kemudian mengompres tubuhnya agar tidak menggigil lagi.
"Tidak bisa," gumam seseorang yang anehnya terdengar jelas di telingaku. Menoleh ke belakang dan mendapatkan Eros berdiri menatap kami dengan wajah dan tatapan datarnya.
"Tidak bisa, Yang Mulia," ulangnya dengan bergumam dan lagi-lagi terdengar jelas di telingaku walaupun jaraknya sejauh itu.
"Maksudmu apa, Eros?" tanyaku dengan menggeram.
"Yang Mulia Ratu tidak bisa."
"Apa yang kau maksud tidak bisa?" tanyaku dengan tatapan dingin padanya. Aku menoleh dan memberikan atensi penuh saat Anindya berteriak sambil menggenggam erat tanganku.
"Anindya!"
Napasku tercekat saat genggaman tangannya perlahan melonggar dan bibirnya semakin biru. Tatapan matanya juga kosong, seakan-akan dia tak lagi melihat langit-langit di atasnya.
"Anindya?" Aku menggenggam tangannya yang terasa seperti bejana berisi air yang sangat dingin.
"Yang Mulia Ratu sudah tidak ada."
Isak tangis dari para dayang dan tabib yang membantu persalinan Anindya terdengar seperti musik pengantar kesedihan di telingaku.
Anehnya aku tak bisa marah ataupun menangis saat mendengar berita duka dari tabib utama. Aku hanya melihat Anindya dengan tatapan kosong dan masih menggenggam tangannya yang sedingin es dengan erat.
Aku ingin menangis dan melampiaskan kesedihan serta rasa nyeri di hati, tapi mengapa tak ada satu bulir air pun yang jatuh sebagai tanda kesedihan dan kehilangan ini? Apa karena aku marah padanya yang melakukan pengorbanan sia-sia atau karena aku sudah berjanji padanya agar tak menangis? Padahal semua orang yang berada di ruangan itu menangis saat mendengar kabar duka tanpa terkecuali, tapi kenapa hanya aku ... kenapa hanya aku ... yang tak bisa meneteskan setitik pun air mata?
"Bayinya?" tanyaku dengan suara getir.
"Ya, Yang Mulia?"
"Bayinya?"
Tabib itu bersimpuh dengan tubuh dan jawaban yang bergetar. "Mohon ampun, Yang Mulia, kami pantas untuk dibunuh."
"Tidak, pergilah. Eros, kemari."
Seolah sudah menebak, Eros ternyata sudah berdiri tak jauh dariku.
"Kenapa bisa?"
"Kekuatan sihirnya meledak di dalam, Yang Mulia. Dan kebetulan elemen terkuat yang dimilikinya adalah es, sehingga membekukan semuanya, termasuk jalan lahir."
Eros penyihir yang sangat hebat. Apakah dia bisa memakai sihir terlarang untuk menghidupkan Anindya lagi? Aku menatap Anindya dengan secercah harapan.
Tidak, tidak. Sihir terlarang tidak boleh dilakukan di Kerajaan ini. Mungkin lain cerita jika pendeta yang melakukannya.
"Pendeta."
Pria yang berpakaian putih di dekat pintu langsung mendekat padaku.
"Kau bisa menghidupkan mereka lagi?"
"Mohon ampun, Yang Mulia. Saya tidak memiliki kehendak untuk itu."
"Bahkan dengan kekuatan sucimu juga tak bisa?"
"T–tidak bisa, Yang Mulia."
"Bagaimana jika hanya bayinya?"
"Mohon ampun, Yang Mulia, sa—"
"Pergilah," ucapku mengusir mereka dengan ekspresi datar, kemudian kembali menatap Anindya.
"Kau dan aku bodoh," ujarku dengan lirih, "kenapa kita mempertahankan anak yang bahkan tak bisa dilahirkan?"
"Kenapa kau harus berkorban dengan sia-sia seperti ini?"
"Kenapa begini? Kenapa, Anindya? Harusnya akhir dari ini tidak begini, kan?"
Harusnya kita tak boleh menaruh harapan padanya. Secercah harapan yang kecil itu salah, karena mampu membuatku bertambah hancur.
Tubuh yang sangat dingin ini ... kenapa kau harus merasakan penderitaan di akhir hidupmu? Ini lebih buruk, Anindya ... lebih buruk dari apa yang kau janjikan padaku.
Aku kehilangan keduanya. Kalian meninggalkanku begitu saja. Ini lebih buruk, takdir ini sangat buruk.
———