Chereads / The Eternal Love : Raja Chandra / Chapter 31 - Mahaphraya's Mourning(Jahankara POV)

Chapter 31 - Mahaphraya's Mourning(Jahankara POV)

***

"Ayah."

Aku menoleh dan mendapatkan Gasendra berjalan mendekat ke arahku. Raut wajahnya sendu, matanya bengkak dan memerah, suaranya agak serak dan berdengung karena terlalu lama menangis. Sudut bibirku sedikit tertarik saat melihat langkah kecilnya yang imut, itu mengingatkanku pada mendiang Anindya.

Pluk

Dia memeluk kakiku dengan erat. Dan aku mengelus rambut hitamnya yang berantakan.

"Ada apa?"

"Ayo pulang. Ayah sudah berjam-jam ada di sini, nanti Ayah bisa sakit," ujarnya yang terdengar seperti rajukan.

Aku berjongkok dan menyejajarkan dengan dirinya yang masih berumur lima tahun.

"Ayah masih ingin di sini bersama Ibu dan adikmu. Kau kembali saja, ya?"

Dia menggeleng. "Ayo kembali. Ayah sudah di sini selama berjam-jam setelah Ibu dan adik dimakamkan. Kalau Ayah sakit, Ibu juga tak suka. Ibu akan marah pada Ayah karena tak menjaga kesehatan."

Jika Ibumu masih ada, mungkin dia akan menceramahiku sebagai tanda amarahnya dalam waktu yang lama. Walaupun setelah itu, dia tetap merawatku yang sedang sakit. 

"Dia tidak akan bisa marah, Gasendra. Kau kembalilah, pasti lelah kan?"

"Tidak mau. Aku harus kembali dengan Ayah. Aku lelah? Sepertinya Ayah lebih lelah daripada aku. Lihat saja wajah Ayah yang kuyu itu." Gasendra mengusap wajahku dengan tangannya yang lembut dan kecil. 

Sebuah senyuman tipis tercetak saat mendengar cara bicaranya yang mirip dengan Anindya. "Kau ini keras kepala sekali, sih. Pokoknya Ayah masih ingin di sini bersama Ibu dan adikmu." Aku berpaling darinya dan menatap gundukan tanah yang masih basah dan berbunga.

"Walaupun Ibu tak bisa marah pada Ayah, tapi ada aku yang bisa marah pada Ayah." Dari yang ku dengar, suaranya terdengar ketus. Dan itu membuatku tersenyum lagi. Ya Tuhan, Anindya ... kau meninggalkan satu bocah yang sangat mirip denganmu. 

"Jika Ayah tak mau kembali juga setelah aku marah, maka ada perdana menteri dan sekretaris yang akan memarahi Ayah."

"Heh, mana bisa." Aku tak yakin dengan raut wajah yang seperti apa tercetak sekarang. "Aku rajanya."

"Kalau begitu, rakyat akan marah pada Ayah karena tak menjaga kesehatan. Biar saja nanti Ayah diserang oleh para rakyat yang mengamuk." 

"Ya, marahi saja aku kalau mereka bisa masuk ke istana."

Dalam waktu yang cukup lama, aku tak mendengar protesan darinya lagi. Dan itu membuatku menoleh ke belakang untuk melihat Gasendra yang ternyata sedang menatapku dengan tajam. 

"Apa?"

"Kalau begitu aku akan membuka pintu gerbang istana agar rakyat bisa memarahi Ayah. Aku kan seorang pangeran."

"Kau ini ...!"

"Gasendra?" Terkejut saat melihat air matanya turun di hadapanku. Otomatis aku pun menghampirinya.

"Kenapa menangis?"

"Tidak tahukah kalau aku sangat khawatir pada Ayah? Sekarang aku hanya punya Ayah, satu-satunya keluargaku. Ibu dan adik sudah tak ada, hanya Ayah yang tersisa sebagai keluarga dan kita harus saling bergantung. Apa Ayah ... mau meninggalkanku juga?" Ucapannya mengecil di kalimat terakhir, hampir terdengar seperti gumaman.

"Apa semuanya akan pergi meninggalkanku sendiri?" 

Kepalaku seperti terhantam bongkahan batu saat mendengar pernyataannya. Situasinya sangat mirip denganku yang rapuh saat ditinggal oleh Ayah dan Ibu waktu itu. Lalu bagaimana bisa seorang anak laki-laki yang baru berumur lima tahun sudah berpikir sejauh itu dan kenapa juga dia beranggapan aku akan meningggalkannya?

"Aku juga sedih, sangat sedih. Tapi, kata Ibu dan guru, seorang pria dan pangeran tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Kata Ibu, aku harus kuat agar bisa menjaga Ayah, semua orang, dan Mahaphraya. Aku sangat sedih, tapi aku tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Ayah juga sama, tak boleh sedih dan sakit."

Aku hanya termangu mendengar keluhan yang diutarakannya sambil menangis. Dia mengusap air matanya, kemudian mengambil tangan kananku.

"Jadi, ayo kita pulang. Ibu akan marah kalau Ayah terus-terusan begini, sebenarnya sekarang pun aku sangat marah pada Ayah. Memangnya keluarga cuma Ibu dan adik saja? Kan masih ada aku."

"Gasendra."

"Ya, Ayah?"

Aku mendekapnya dan ku rasakan tubuhnya yang menegang karena terkejut. 

"Ay–Ayah, kenapa ini?"

"Sebentar saja. Gasendra mau membantu Ayah, kan?"

"I–Iya, aku akan membantu Ayah jika itu membuat Ayah senang." Ku rasakan tangan kecilnya terangkat dan membalas dekapanku. 

"Sstt, jangan bersedih lagi, Ayah, karena masih ada aku di sini." Tangannya menepuk-nepuk punggungku. Aku terkekeh mendapat perlakuan seperti anak kecil. Melepaskan pelukan dan mengusap bekas air mata yang tertinggal di wajah Gasendra. 

"Hngg, Ayah punya sapu tangan tidak? Aku ingin buang ingus," ucapnya dengan wajah polos tanpa dosa. 

"Ada, tunggu sebentar." Aku meraba kantung saku di dada dan mengeluarkan sapu tangan yang dirajut sendiri oleh Anindya. Tangannya menengadah meminta sapu tangan itu, tapi aku tak memberikannya. "Biar Ayah saja, ayo keluarkan."

"Hnggg, sudah." Aku menatap sapu tangan yang kini basah oleh cairan hidungnya dan memasukkannya lagi ke dalam saku. 

"Sudah menangisnya?" 

Dia menganggukkan kepala dengan malu-malu sebagai jawabannya. Lagi-lagi aku dibuat tersenyum dengan tingkahnya. 

"Nah, sekarang dengarkan aku."

"Baik, Ayah," balasnya menatapku dengan serius.

"Pertama-tama maafkan Ayah yang sudah membuatmu marah dan khawatir."

"Itu ... baiklah, wala–"

Aku menangkup wajahnya yang mungil. "Ayah menyuruhmu mendengarkan, bukan menjawab." Dia menganggukkan kepala dengan polosnya. 

"Lalu terima kasih sudah menyadarkan Ayah dengan nasehat dari Ibu dan gurumu. Tapi, Gasendra ... kau juga boleh menangis kalau sedih, kau juga tak perlu terlihat kuat di hadapanku karena itu membuat hatiku teriris. Dan ayo kita lakukan itu."

"Lakukan apa, Ayah?" Dia mendongak menatapku dengan tanda tanya. 

"Ayo kita saling bergantung. Oh, kau tak perlu melindungiku karena Ayah yang akan melindungi bintang kerajaan ini, mengerti?"

"Tapi, aku tak mengerti kenapa aku tak boleh melindungi Ayah, padahal kita kan keluarga."

Aku mengelus puncak rambutnya dan tersenyum. "Karena itu adalah tugas Ayah sebagai seorang raja dan Ayah."

"Tapi, Yah ...."

"Ssstt! Iyakan saja permintaan Ayah, ya?" 

Dia mengangguk ragu, ekspresinya sedikit kecewa dengan permintaan memberatkan dariku. 

"Jangan kecewa begitu. Omong-omong, kau sangat pintar ya." 

Matanya bercahaya dan ekspresinya berubah menjadi lebih semangat. 

"Benarkah Ayah?"

"Ya, sangat pintar untuk seukuran bocah laki-laki berusia lima tahun. Hah ... aku saja tak pernah mengira kalimat-kalimat tadi keluar dari mulutmu. Katakan padaku, kau belajar darimana? Dari buku?"

Dia tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Aku kan ingin jadi seperti mendiang nenek!"

"Hmm?" Memiringkan kepala sebagai tanda pertanyaan padanya. 

"Iya, aku ingin jadi seperti mendiang nenek yang sangaaaatt pintar! Hmm, Ibu pernah bilang padaku kalau mendiang nenek sudah membaca semua buku di Perpustakaan Istana."

"Oh, itu benar. Nenekmu sangat pintar dan cerewet, tapi sayangnya hanya Ibumu saja yang bisa membuatku jadi seorang pria yang lurus."

"Oh, bujangan brengsek yang bersinar?"

Mataku membola dan menatapnya dengan tak percaya. Aku memegang kedua pundaknya. "Kau ... kau tau darimana julukan itu?"

"Dari Eros. Memangnya benar, ya?"

"Hmm, itu benar." Aku berpaling dan bergumam, "uhh, dasar Eros!"

"Ayah?"

"Ya, Nak?" Aku kembali menoleh lagi padanya. 

"Ceritakan padaku kenapa Ayah bisa mendapat julukan seperti itu," pintanya tanpa tahu malu.

"Ohh tidak, maksud Ayah jangan di sini. Tadi kau ingin aku kembali, kan? Nah, ayo kita kembali ke istana, tapi sebelum itu beri salam perpisahan dulu pada Ibu dan adik."

"Iya, Ayah!" Aku berdiri, kemudian menggenggam tangannya dan berjalan mendekati tempat peristirahatan terakhir Anindya. 

"Ibu, Adik ... aku dan Ayah kembali dulu ya ke istana. Besok kami akan kembali lagi membawa Bunga Krisan dan Tulip kesukaan Ibu. Oya, aku sudah membuat Ayah tersenyum dan tak menangis lagi. Jadi, adik harus menjaga Ibu juga ya di sana."

Aku menatap Gasendra dengan bangga. Ini anak kita, Anindya, dia sangat pintar seperti neneknya. Entah kenapa saat ini aku merasakan hatiku berdenyut nyeri saat melihat perilaku atau mendengar perkataan Gasendra yang sudah seperti orang dewasa. Tapi tak bisa dipungkiri jika dia masih bocah berumur lima tahun yang masih imut dan belum tahu betuk dunia orang dewasa. Aku mendapat firasat jika dia akan menjadi bintang bersinar bagi kerajaan ini. 

"Sudah, Yah."

"Ya. Anindya, anakku, kami pulang. Ibu dan Ayah, tolong jaga istri dan anakku di sana. Dan seperti janji Gasendra, aku akan ke sini setiap harinya membawakan Tulip dan juga Krisan."

Tanganku digenggam erat oleh Gasendra. Dia menoleh padaku dan aku menoleh padanya dengan senyuman tipis yang masing-masing tercetak di wajah kami. 

"Ayo pulang!"

Kami berbalik dan perlahan menjauhi pemakaman khusus untuk keluarga kerajaan diiringi dengan angin sore yang berembus pelan. 

Aku bersumpah tak akan membiarkan Gasendra merasakan kehilangan istri seperti diriku. Aku kembali menatapnya dalam. 

Kau harus mendapatkan seorang istri yang mencintaimu, kuat, dan memiliki sihir yang hebat, Nak. Ayah janji akan mencarikan istri seperti itu untukmu.

***

Tengah Malam di ruang kerjaku

"Yang Mulia, saya sangat memohon pada anda untuk tetap berada di sini."

"Perdana menteri."

"Ya, Yang Mulia?"

"Memangnya kenapa kau berpikir aku akan meninggalkan tempat ini?"

"Itu ...."

Aku berdiri dan menghampirinya, lalu memegang salah satu pundaknya.

"Aku tak akan pergi dari tempat ini sampai ajal menjemput."

"Yang Mulia!"

"Oh, bukan maksudku untuk mengakhiri hidup seperti raja sebelumnya. Aku benar-benar tetap menjadi raja untuk Mahaphraya," tukasku dengan yakin, "dan menjadi ayah serta keluarga yang baik juga untuk Gasendra," gumamku setelahnya.

Terdengar perdana menteri menghela napas lega dengan pernyataanku.

"Tenang saja, aku tak akan pernah pergi." Aku berjalan kembali menuju meja kerjaku dan duduk berpaling di sana.

"Yang Mulia, maaf jika saya lancang. Tapi, apakah saya boleh bertanya?"

"Ya, tanyakan apa yang ingin kau tanyakan."

"Maaf, Yang Mulia, apakah anda tidak akan mengembara ataupun menyusul kepergian Sang Ratu?"

"Tidak, sudah ku katakan dengan jelas tadi. Itu adalah pilihan dan aku tak akan memilih keduanya. Ada lagi?"

"Lalu Yang Mulia, apakah anda akan meninggalkan Mahaphraya setelah Pangeran Gasendra sudah cukup umur untuk naik takhta?"

"Itu juga tidak. Aku akan tetap menjadi raja dan tinggal di Mahaphraya sampai ajal menjemputku."

"Sungguh, Yang Mulia?"

"Ya."

"Syukurlah ... saya sangat senang mendengarnya. Saya dan rekan-rekan sangat khawatir jika Yang Mulia juga mengikuti raja terdahulu." Ku lihat perdana menteri menyeka air matanya.

"Apa kalian khawatir padaku?"

"Itu adalah jawaban yang sudah sangat jelas, Yang Mulia! Kami kan sudah bersumpah dan mengabdi pada Yang Mulia. Bagaimana bisa kami tak merasa khawatir dan sedih dengan Yang Mulia yang sudah seperti bagian dari hati dan tubuh kami?"

"Hentikan, Perdana Menteri. Aku geli mendengar perkataanmu."

"Mohon maafkan saya, Yang Mulia."

"Hah ... apa semuanya seperti itu? Ku kira kalian akan berencana meracuni pikiranku untuk menyusul ratu."

"Yah, kalau itu ... ada beberapa yang seperti itu, Yang Mulia."

"Sudah kuduga. Sepertinya dalam jangka waktu dekat, akan ada banyak kepala yang terlepas dari tubuhnya."

"Astaga, Yang Mulia."

"Kenapa kaget begitu? Bukankah memang itu hukuman bagi para pengkhianat?"

"Itu benar, Yang Mulia. Oh, apa saya boleh bertanya lagi, Yang Mulia?"

Aku mengangguk kecil.

"Apa anda akan memberhentikan sekretaris pribadi?"

"Ya. Lagipula aku membutuhkan sekretaris untuk membantu pekerjaanku yang terlalu banyak agar bisa memantau kondisi ratu. Tapi kan sekarang sudah tak dibutuhkan lagi."

"...."

"Kenapa diam, Perdana Menteri? Kau tak setuju dengan kebijakan ku?"

"Tidak, Yang Mulia. Maksud saya bukan begitu. Saya hanya khawatir dengan kondisi Yang Mulia."

"Tak perlu terlalu khawatir. Dan kembalilah ke tempatmu, aku ingin istirahat di sini." Aku menyandarkan kepala pada bagian atas kursi.

"Apa Yang Mulia menginginkan kasur untuk dipindahkan ke sini?"

"Tidak, aku tak butuh. Kau kembalilah sekarang. Aku benar-benar hanya ingin sendiri."

"Daulat, Yang Mulia. Selamat beristirahat dan jangan tidur terlalu larut."

Aku hanya berdeham untuk menjawabnya. Kau benar, Gasendra. Banyak orang yang mengkhawatirkanku.

Aku menutup mata dan menikmati kesunyian yang melingkupi seluruh bagian ruang kerja ini.

Sepertinya aku akan tenggelam dan menghabiskan banyak waktu di sini sampai akhir hidupku.

———