Sejak hari pertemuan antara ketiganya, Dicky membuat Susan semakin tidak nyaman dengan perilaku posesifnya.
Selama perjalanan pulang dari kafe tidak ada percakapan antara mereka berdua. Merasa canggung untuk membuka topik satu sama lain, karena sikap Dicky yang berlebihan membuat Eli memutuskan untuk pergi lebih dulu meninggalkan lokasi dan itu membuat Susan kecewa hingga ilfeel dengan sikapnya.
'Dua minggu lagi menuju pertandingan antar Dojo, meski tubuh ini merasa siap tapi batinku tidak'. ratap Susan
'Hari-hari kulewati dengan kekosongan, sedikitpun aku tidak berusaha untuk mengirim pesan pada Dicky, begitupun ia sebaliknya, Eli pun nampaknya sedang tidak dapat kuhubungi entah perihal sinyal atau kepentingan lainnya aku tidak mau tau dan mengganggu kesibukannya.'
'Hari pertama dan kedua kami masih saling menghubungi melalui Video call namun hingga nyaris berjalan satu minggu kami tidak bertukar suara dan cerita dalam bentuk apapun'
'Minggu sore ini aku akan bertemu kembali dengan pria dari cerita lalu ku, berharap ia lebih menerima perasaan memudarku ini'
_ Susan _
****
Karate
"Hari ini pemanasan 15 menit, keliling 10 putaran lapangan, lanjut push up atau skipping. Kumite satu jam sebelum pulang. " jelas Senpai Rauf, memberi arahan sore itu.
"Laki-perempuan atau Laki-laki Perempuan-perempuan Senpai?" tanya Rusdi.
"Ya yang sejenis sajalah ... enak kamunya yang laki-laki! bonus melulu." sindir Senpai Rauf, semua serentak tertawa.
"Kirain ... Pai ... " ucap Rusdi tertawa menahan malu.
"Tapi begini, ini ada berapa jumlah yang hadir ... siapa yang absen hari ini?" Senpai Rauf menambahkan.
Kami semua saling memandang sekeliling menghitung dan mencari teman yang absen latihan hari ini, sepertinya aku menyadari sesuatu.
"Winnie ya, tolong kabari dia soal minggu depan, jika berhalangan hadir atau sakit infokan pada saya beberapa hari sebelumnya, biar saya tau siapa saja peserta Kumitenya" jelas Senpai Rauf.
'Oh ya benar. Winnie, hari ini dia absen' Susan menoleh ke arah Nana. 'Sepertinya Nana menangkap pikiranku yang sama dengannya, Winnie kenapa ... '
"Nanti setelah pemanasan nama-nama pasangan kumite nya senpai umumkan"
****
Selama pemanasan berlari keliling Adi berusaha selalu mensejajarkan larinya disamping Susan, tidak berada jauh dibelakang Deny juga berusaha stabil dalam larinya memperhatikan mereka berdua.
Deny adalah pria yg sedang berusaha di comblangi Winnie untuk memisahkan Susan dengan Adi, tapi nampaknya dia tidak paham betul bagaimana hubungan mereka berdua yang terbilang dingin. Jadi untuk Susan sayang sekali jika Winnie harus repot-repot bermain dibelakang seperti ini.
Susan berlari sambil melirik dengan sudut matanya ke arah Adi yang berlari disebelahnya.
'Kenapa dia disampingku terus sih!' Susan bergumam dalam hati.
"Hey itu! Adi! pepet melulu. Lari ... larii ! jangan kayak perempuan larinya ..., hey! mau latihan apa pacaran ... ayo ... hey! hey Deny! kamu paling tinggi segitu saja lari kamu!" Senpai menegur memperhatikan mereka bertiga.
Terpaksa Adi mempercepat larinya diikuti Deny menyusul dari belakang.
Setelah serangkaian pemanasan, Senpai menyebutkan nama pasangan Kumite kami masing-masing, Susan dipasangkan dengan Nana, Adi dengan Rusdi, Wahyu dengan Deny dan nama-nama lainnya yang disebutkan Senpai.
Susan menepuk lengan Nana "Ah ... kenapa kamu sih, mati aku nanti! Jangan keras-keras ya!"
Nana memang terbilang punya tenaga lebih kuat dari Susan, dia memang tidak terlalu tinggi namun postur tubuhnya saja lebih terlihat kekar nyaris tidak mirip perempuan sama sekali.
Latihan kumite dimulai, kami semua duduk bersila berjarak satu sama lain dan berseberangan.
Suara support antar teman dekat terdengar dengan riuhnya terutama saat Adi berpasangan dengan Rusdi yang notabene adalah sahabat karib Deny.
"Ayo Rus ... aku dukung! hajaar saja! terus ... ayo terus ... "
Deny bersorak-sorak tanpa henti yang sibuk mendukung sahabatnya untuk menghabisi Adi dalam latihan kumite kali ini. Dari posisi seberang Susan memandang aneh kepada Deny.
'Dasar bocah!' Susan memandang sepintas ke arah Deny.
Meskipun terdengar jelas namun nampaknya Adi tidak terganggu konsentrasi bertanding saat itu.
Skor dinyatakan seri, mereka membungkukan badan saling memberi penghormatan dan berlanjut pada karateka lain yang sudah dipasangkan masing-masing hingga waktu selesai.
Kemudian latihan ditutup dengan beberapa arahan untuk persiapan kumite antar Dojo minggu depan dan Doa bersama.
Keluar dari lapangan Susan bergegas pulang disusul Nana dari belakang karena selalu pulang bersama. Susan mencoba berjalan lebih cepat menghindari situasi yang tidak diinginkan yaitu bicara dengan Adi.
Benar saja, beberapa puluh meter dari lokasi awal menuju Jalan raya ketika mereka menunggu kendaraan umum, Adi menyusul cepat dari belakang, segera menangkap dan menarik pelan tangan Susan.
Nana menyingkir cepat membiarkan mereka berdua.
"San, boleh mampir sebentar ke rumahmu, aku mau bicara" Adi terlihat sedikit memaksa dengan berusaha melihat ke arah mata Susan.
"Disini saja, aku sedang kurang enak badan, Di ... " posisi kami setengah berhadapan, "Ada apa sebenarnya ... " lanjut Susan, tetap berusaha bersikap acuh, membuang muka.
"Aku sulit menghubungimu akhir-akhir ini, ada apa?"
"Aku ... aku hanya sedang banyak urusan, biasalah kuliah ... " jawab Susan klise.
"Urusan ? apa susahnya mengangkat teleponku, bisa bilang kan ... jadi setidaknya kau cerita masalahnya apa aku bisa memaklumi, San"
"Rumit, untuk saat ini aku tidak ingin terlibat dengan siapapun, termasuk kamu ... jadi maaf ... " Susan tertunduk menjawab pertanyaan Adi yang tidak ingin ia ungkapkan sama sekali.
Adi menghela napas berat merasa tidak puas dengan jawaban Susan.
"Apa se-rumit itu tugas anak kuliahan? Jujur ... jangan berbohong. Kau masih ingin ini berlanjut atau tidak!" Adi mulai tidak sabar.
"Oke, putuskan aku sekarang!" memotong dengan cepat.
"Apa alasannya coba?" tanya Adi merasa kurang terima dengan permintaan Susan "Dari kemarin kamu bersikap dingin pun aku tidak masalah, kalau dari awal kamu tidak ada perubahan kenapa tidak kamu tolak aku saja! jangan menggantung begini ... padahal aku yakin kita bisa memperbaikinya ... " bujuk Adi kemudian, lalu memegang kedua lengan susan.
Tiba-tiba seorang pria dengan sebuah Motor Sport berhenti tepat disamping Adi. Dengan cepat menyodorkan helm ke arah Susan hingga tangannya berada persis tepat depan wajah Adi.
Susan dan Adi sontak kaget melihat pengendara motor berwarna hitam itu yang tidak mau membuka kaca helmnya.
"Heh! Apa-apaan ini, Siapa kamu, heh?!" menepis lengan Dicky yang nyaris mengenai batang hidungnya.
"Kamu mau ikut sekarang atau tidak! " kembali menggoyangkan helm yang disodorkannya tanpa menggubris pertanyaan Adi, Susan yg masih kelihatan bingung menghampiri pengendara itu.
"Woy! Buka! " mengetuk kaca helmnya.
"Cepat naik!" Dicky membuka kaca helmnya.
"Apa-apaan nih! turun sini kalau berani!" Adi menantang.
Namun Dicky lagi-lagi malas menanggapi, tetap tidak bergeming dari atas motornya.
"Dicky!! ngapain kamu disini?" tanya Susan yang sontak kaget kalau pria itu ternyata adalah Dicky.
"Apa kamu mau terus digombali laki-laki brengsek macam ini, Hah?!" Dicky menurunkan tangannya dan merubah pandangannya ke arah Adi kali ini. "Hei kamu anak kecil! sekali lagi kulihat tangan kotormu menyentuh Susan ... jangan harap mulutmu besok masih bisa makan nasi!".
Adi tertawa sinis.
"Hahaha apa nih San? pacar baru kamu? jadi ini alasannya !!"
"Dia sahabatku! enak saja menuduh sembarangan!" tegas Susan.
"Oh begitu? sahabat tapi ngatur-ngatur begini, jangan ikut campur ya!!"
Dicky mematikan motornya dan turun dari atas motor, mendekat ke arah Adi yang tingginya tidak lebih dari dagunya.
"Jadi kau mau apa? pukul?? ayo pukul. " Dicky makin maju menantang jauh lebih dekat hingga wajah Adi nyaris menempel pada dadanya.
Adi pias melihat orang didepannya ternyata jauh lebih tinggi dan besar.
"Ya ampun Dicky sudah lahhh ... apaan sih?" Berusaha menengahi mereka berdua.
"Yang begini anak karate?! Hahaha ... ," menyenggol tas ransel Adi hingga terlepas sebagian dari pundaknya. "tidak perlu kujelaskan kan kenapa kau pantas dibilang brengsek, sayang nanti mau ditaruh dimana mukamu itu!"
Memandang tajam kearah Adi, matanya seakan memberi isyarat Adi untuk lebih baik diam atau siap dibongkar topengnya.
"Dicky! Sudah!" Susan berusaha melerai menyela ditengah-tengah mereka berdua.
"Khusus untuk harga diri kamu hari ini, aku beri bonus untuk tidak ku umbar perilakumu dengan banyak perempuan disekolah ini, playboy kelasan curut!" menyentuh dahi Adi dengan ujung jari telunjuknya.
"Brengsek!" menepis jari Dicky "apa buktinya! jangan sok tau kamu! Susan, jangan dengarkan dia!"
"Tidak usah banyak, nih kusebutkan satu-satu ya, siapa itu Dian, Sinta, Indah ... Fina dan ... ah, sudahlah ... kasian nanti kau malu, Bro! clear ya!"
Adi terhenyak kehabisan kata-kata.
Dicky segera mengambil helm tadi dan memakaikannya ke kepala Susan dan kembali ke motornya.
Susan yang tadinya ragu-ragu dan merasa iba melihat Adi, kini akhirnya ikut memandangnya sinis, lalu maju dan ikut menaiki motor duduk dibelakang Dicky.
Dicky menoleh ke belakang memastikan Susan duduk dengan aman dan menarik kedua tangan susan dari ndepan untuk menaruhnya erat ke pinggangnya dan menambahkan kata-kata lagi ke arah Adi.
"Heh! lain kali cari perempuan seusiamu, kalau sampai macam-macam lagi dengannya ... kuturunkan satu batalyon anak kampus ku untuk mengincarmu ... kubuat jadi Dedek (makanan ayam) kamu nanti!" tegas Dicky, langsung menarik gas motornya dan melaju cepat.
Di motor, dalam perjalanan pulang
"Dicky jangan ngebut-ngebut!" Susan memukul-mukul punggung Dicky dengan kepalan tangan.
'Kalau tidak kucepatkan laju motor mana mungkin kau memeluk pinggangku' batin Dicky.
"Makanya lain kali cari pria yang seumuranmu, jangan anak SMA yang ganteng gak seberapa tapi lagaknya sudah seperti playboy kelas kakap" sindir Dicky.
"Kamu tau apa tentang Adi!" tanya Susan.
Dicky diam sejenak tidak mau menjawab.
"Kamu tidak perlu tau apa-apa, dengarkan saja kalau kau mau hidupmu selamat" jelas Dicky tetap tidak mau menjelaskan bahwa selama ini Dicky memata-matai Adi tanpa sepengetahuan Susan untuk menghargai perasaannya.
"Kamu mau buat kita berdua mati!"
"Iya, gak apa-apa"
"Jangan bicara sembarangan kamu! kalau mau mati ... mati saja sendiri!"
mengetuk helm Dicky dari belakang.
"Pegang yang erat nanti kamu jatuh!"
Motor melaju dengan cepat lagi dan Dicky malah tersenyum karena semakin cepat laju motornya pelukan di pinggangnya semakin erat.
'Ingin rasanya ku memutar ulang perjalanan ini 10 kali lagi agar kau bisa lebih lama memelukku erat seperti ini' batin Dicky