Chereads / When Love Comes to Me / Chapter 11 - Kebimbangan

Chapter 11 - Kebimbangan

Tidak banyak menyempatkan waktu diluar bersama Eli, kami memutuskan sekedar bermalas-malasan berkeliling mampir di beberapa kedai minuman dan makanan kecil sekitar kampus.

Masih lelah dengan perjalanan malam tadi, satu hari tapi terasa satu minggu. Tidak berlebihan dengan menganggap seperti setahun, karena masih ragu pada hubungan kami yang terhitung dini.

Lagi-lagi tidak berani berpikir lebih, jalani saja, nikmati indahnya perasaan ini. Susan

***

Menjelang pukul 18.00 Eli dan Susan sudah kembali ke rumah, mobil jenis city car seharga rumah komplek itu terparkir manis di halaman rumah Eli. mereka kembali ke rumah masing-masing.

"El, kau sudah kembali!" kak Zac yang sedari tadi menunggu kedatangan Eli di ruang tengah. nampak cemas.

"Yes, ada apa ini Zac ... " mengernyitkan dahinya memandang ekspresi.

"Kau sudah lihat apa yang terjadi dengan rekening tabungan kita?!" mengusap wajah sambil memejamkan mata.

"Tidak. Seharian aku melakukan transaksi dengan cash, ada apa dengan tabunganmu?"

"Cek aplikasi Banking mu! lakukan transfer ke rekeningku, berapa pun nominalnya"

Beberapa saat Eli membuka ponsel dan mengikuti arahan kak Zac.

"Kenapa ini! kenapa tidak bisa" mencoba berulang-ulang pada aplikasi itu.

"Dad membekukan rekening kita" kak Zac menjawab cepat "dia memaksaku untuk menyuruhmu kembali, kau tidak pulang ke rumah 'kan, saat kembali ke LA?"

Eli menggeleng pelan

"Dad masih saja memaksa! kenapa harus aku?! dia tidak pernah melibatkanmu untuk segala kepentingannya, 'kan? Hhhh ... Sial!!" kali ini Eli benar-benar mengumpat.

kak Zac tidak berani membujuk atau pun berkata-kata melihat adiknya dikorbankan untuk kondisi keuangan mereka. Eli terdiam menahan emosinya.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang ... " kak Zac bersandar kasar menghentakkan kepala ke sandaran sofa.

"Biarkan aku berpikir. Jangan ganggu aku dulu!" Eli bangkit dari sofa tanpa menghiraukan kak Zac, berjalan menuju kamar.

****

Aku bergegas membersihkan diri dari aktifitas seharian, berpakaian dan merebahkan diri ditempat tidur, sekilas iya menyadari benda yang ku letakan di atas meja di kamar, MAWAR ITU!

Terduduk kembali dan meraih mawar mengenaskan itu. Berpikir lebih dalam, siapa pemilik mawar ini? kenapa dibiarkan terbengkalai dengan kondisi seperti itu. Terlebih lagi kondisinya tergeletak di balkon. Hanya ada beberapa orang memungkinkan berada di balkonnya adalah ...

Dicky!

Sangat tidak mungkin seorang maling membawa mawar, maling romantis macam apa??

Maling tentu membawa peralatan keras, benda tajam atau semacamnya.

Masih berkutat dalam pikiran.

Menganalisa situasi.

Segera kuraih ponsel mengurungkan niat untuk menghubungi Eli, kucoba menghubungi seseorang yang memungkinkan tau perihal mawar ini.

"Halo, Assalamuallaikum 'Kak. Kak Dheta, Dicky ada??"

"Waalaikum salam, ya San. Dicky gak ada 'San, dia gak ngabarin kamu?"

"Gak. Dari kemarin malam dia nggak ada kabar. Biasanyaa ... dia selalu mengabari kalau mau kemana-mana" aku mulai menyadari kejanggalan disini.

"Itu dia 'San, dari pagi pun dia sepertinya pergi tapi tidak mengabari kemana. Motornya pun nggak ada dirumah, mama juga mengubunginya tapi tidak ada balasan"

'Kemana dia. Apa yg terjadi dengannya.' Batinku khawatir dan bertanya-tanya

"Boleh aku tanya sesuatu 'Kak?"

"Iya, ada apa?"

"Hmmm ... Apa tante kehilangan salah satu bunga mawar?"

"Oh. itu! Iya ... kamu sudah terima, ya?!"

Aku terhenyak mendengar pernyataan kak Dheta saat itu. Jantungku berdebar.

"Bagaimana maksudnya kak?"

"Iyaaa. Sekitar minggu lalu dia memang minta, katanya buat kamu. Memang baru berkembang sekarang sih, tapi dijaga baik-baik ya."

'Bagaimana jaga baik-baik, kondisinya hancur begitu.' gumamku

"Ah, iya kak. Hehehe biar aku urus." aku merasa canggung "aku belum bilang terima kasih sama Dicky soal bunga itu, makasih juga ya kak". Aku berusaha menutupi keadaan sebenarnya.

"Iya San, sama-sama ... "

"Ya sudah kak. Itu saja, eh ... maap mengganggu, Assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Aku mengakhiri pembicaraan. Menatap kembali bunga mawar itu. Seketika mataku terasa panas dan mulai dialiri airmata yang muncul perlahan kala memandangi detail mawar itu.

'Dicky, apa yang terjadi padamu ... kenapa kau menghilang tanpa kabar.'

Perasaan kehilangan begitu menyelimutiku saat ini. Ada beban terdalam atas keacuhan ku terhadap Dicky selama ini.

****

Seminggu berjalan pasca kejadian malam itu. Entah apa yang terjadi antara kami berdua, hanya Eli lebih terlihat berbeda dari biasanya. Kami jarang melakukan aktifitas bersama, hanya sesekali pulang bersama setelah pulang dari kampus. Sekian kali ku lihat mobilnya tidak berada dilokasi saat malam hari. Hatiku tidak luput dari rasa curiga.

Aku masih melihat sorot mata yang sama hangatnya. Meski sudah jarang ada percakapan panjang diantara kami, aku merasa ada yang sedang ia sembunyikan dari karakternya yang tertutup itu.

Eli bahkan beberapa kali membujuk ku untuk keluar dari perguruan karate ku.

'Olahraga tidak perlu saling menyakiti, masih banyak olahraga lain yang lebih feminin ketimbang itu, mulailah bersikap seperti perempuan dan stop berdandan seperti laki-laki' ucapnya kala itu.

'Itukan Ilmu bela diri! aku tidak akan mungkin tiba-tiba jadi transgender cuma gara-gara itu! jelas-jelas apa yang kurasakan padamu masih layaknya normal perempuan! ' batinku, saat Eli menyatakan itu.

Keputusanku turut disesali sahabat-sahabat satu perguruan, kuputuskan mengundurkan diri sebelum pertandingan.

Aku merasa mulai tidak nyaman atas perubahan sikapnya. Antara over protektif atau hanya bersikap egois terhadapku.

Kini kucoba mengalihkan banyak pikiran dengan memenuhi aktifitas di kampus. Mulai minggu ini aku terpilih menjadi bagian dari sepuluh orang pada sesi konseling di kampus.

***

Kampus

Memasuki ruangan yang diperuntukan bagi rapat antar mahasiswa jurusan, kursi yang di atur sedemikian rupa membentuk satu lingkaran. Kami mengambil posisi masing-masing pada kursi tersebut.

Ibu Ike terlihat membawa beberapa lembar kertas yang dibagikan kepada kami satu persatu. Berisikan kode etik untuk mengikuti sesi konseling saat itu. dua diantara isinya adalah :

* Konselor berhak merahasiakan identitas, data diri dan kondisi kejiwaan konseli dalam jalur yang profesional.

* Konseli berkewajiban mengikuti setiap sesi konseling demi keberhasilan potensi yang akan dikembangkan.

Bla bla bla ...

Kami menyematkan tanda tangan masing-masing di sudut bawah lembaran kertas paling akhir.

"Terima kasih untuk kesediaan rekan-rekan mahasiswa disini untuk mengikuti Sesi pertama konseling" Ibu ike memberi sambutan. Serta basa-basi pembukaan sesi saat itu.

Aku berusaha mengabaikan pikiran untuk tetap menjalani rutinitas normal sebagai mahasiswa diantara masalah yang sedang kuhadapi.

Perkenalan pun dimulai.

Masing-masing dari kami saling menyapa setiap kali salah satu dari kami menyebutkan nama, sampai detik Bu Ike memperkenalkan konselor yang terlibat disitu tapi aku masih banyak terlarut dalam lamunan.

"Baik. Sebelum sesi dimulai, saya akan memperkenalkan konselor yang akan turut membantu memberi pengarahan untuk kalian, mengenai permasalahan yang akan dibuka nanti. Saya persilahkan Bapakkk ... Pak ... ?! Pak Brian?"

"Ya??"

Wajah yang dari setadi bersembunyi dari balik layar laptop itu muncul dan Sontak mengejutkanku.

'Ya Tuhan! si Gajah Afrika!!'