Mengawali pagi, minat bergegas untuk berangkat kuliah nampak menurun drastis bagi Susan. Ia menaruh harapan tinggi sang pangeran sebelah rumah yang berjanji datang untuk berkunjung.
Saking bergairah menyambut hari, Susan bangkit dari kemalasan pagi hendak membuka pintu kupu-kupu balkon kamarnya lebar-lebar dan membentang, tanpa sengaja ia membukanya cukup kencang.
BRAKK
BUGGG!
"Aduuuuh!!"
Terdengar suara lantang kesakitan dari balik pintu.
"Astagfirullahalazim!!" pekik Susan, sontak kaget tanpa sengaja menginjak kaki sosok yang teriak dari balik pintu.
Dicky terhuyung maju dari persembunyiannya dibalik pintu. Ia merunduk kesakitan memegang kening nya.
'Sial. mimpi apa ini pagi-pagi sudah jatuh tertiban tangga namanya, sudah terbentur diinjak pula'. bakat kental anak betawi, dalam hati saja ia berpantun.
"Kamu ngapain disini? dari kapan disini?" Susan panik bertanya.
"Aku dari habis subuh disini, makanya jangan kebluk! solat gak sih!" sindir Dicky, mengusap-usap keningnya yang masih terasa nyeri dan mulai nampak memerah.
"Duh, eh--he tadi tidur lagi ... sorry ya gak sengaja ... , sakit ya?" lirih Susan, mencoba mendekat melihat bekas benturan di kening Dicky.
Diusapnya pelan, meniup benjolan pada kening sahabatnya itu. Dicky sedikit membungkuk ke arah Susan karena kepalanya tertarik kebawah.
"Kok nanya, menurutmu bagaimana. Ssstt ... Mau coba sini ... "
"Ampun hehe, sudah ... gak apa-apa. Nanti aku kasih cream hangat ya!" ucap Susan, mengusap bekas benturan itu dengan ibu jarinya.
Sesaat mata Dicky melirik ibu jari yang menyentuh keningnya saat ini. Dalam situasi itu, posisi wajah mereka berdekatan.
Dicky mendongakan kepala memandang Susan dalam posisi terbungkuk. Tanpa sengaja Susan pun menatap balik matanya.
Dicky perlahan meraih, menggenggam jari yang masih menempel keningnya itu. Dan mengecup jari itu saat kembali berdiri tegak. Menatapnya hangat.
"Makasih ya ... " ucap Dicky lembut.
Susan mendelik menaikan sebelah alisnya masih tertegun dengan sikap Dicky kala itu.
Kemudian satu kecupan kilat mendarat di dahi Susan.
'Cupp!
Dicky tersenyum penuh percaya diri
PLAKK
Tapi, sekilat itu pula balasannya.
Spontan tamparan melayang di pipi Pria bongsor sahabatnya itu. Wajahnya kini memerah.
Antara geram dan malu Susan berjalan cepat menjauhi Dicky dan kembali menutup pintu. Dicky masih terdiam mengintip kedalam dari balik kaca pada daun pintu itu.
'Sial, tiga kali apes namanya ini' Dicky bermonolog.
Susan terduduk di sisi tempat tidur dan melirik tipis ke arah Dicky yang berusaha memanggilnya. Ia mengibaskan tangan menyuruh Dicky pergi.
'Beraninya cium-cium! Tatapan apa itu tadi. Kenapa jadi deg-deg an begini rasanya ya.' ucap Susan dalam hati.
Dicky tetap berusaha memanggil dan mengetuk pintu berkaca lebar itu namun tetap tidak digubris sama sekali dari dalam.
Susan terpaksa bangkit dari duduknya dan berpura-pura masuk ke toilet pada kamar itu. Berharap Dicky tidak lagi berusaha mengetuk dan segera pergi dari balkon kamarnya.
'Baru kali ini tatapannya sehangat itu, kalau saja tingkah konyol dan tawamu yang cengengesan tidak kulihat setiap hari, ketampananmu tidak membuatku Illfeel dan bisa menganggapmu lebih dari ini.' ratap Susan dalam hati.
Susan bersandar dibalik pintu kamar mandi dan terduduk malu atas kejadian tadi.
Dicky yang terdiam bersandar pada pintu kini menyadari sikap spontannya itu.
'Dia kesal sekali hingga menamparku tadi. Apa penolakannya karena pria asing yang kulihat semalam hingga perlahan kini aku dilupakan?' ratap Dicky penuh tanya dalam hati.
Dicky menyeret langkahnya dan turun dari balkon itu. Berlari kecil menuju rumahnya dan masuk ke halaman belakang. Masih berkutat dalam pikiran tentang hal yang sama sembari memandangi sejajaran tanaman Indah yang tersusun rapi.
Sejajaran pot kecil tersusun rapi bertanamkan bunga Rose dengan bermacam-macam warna. Sebagiannya masih kuncup dan sisanya lagi mulai merekah cantik.
Tiba-tiba ...
PLUK
Kepala Dicky tertoyor dari belakang oleh tangan seseorang. Tentunya itu kak Dheta, kakak perempuan satu-satunya yang sangat menyayanginya. Meski mereka selalu saja bertengkar seperti kucing depan jalan. Entah kenapa Dicky dimana-mana selalu dekat tapi suka berdebat.
"Jangan diapa-apakan ya! awas kalau rusak! itu Impor tau!" tegas kak Dheta, berkacak pinggang mengingatkan.
"Iyaa ... , Eh!" jawab Dicky, mengingat sesuatu.
'Susan kan suka warna putih! ya ... yang putih! ' ucap Dicky dalam hati.
"Kak, boleh minta satu ya?" tanya Dicky
"Buat apa. Beli saja sana!" jawab Kak Dheta, merasa tidak yakin dengan maksud ucapan adiknya kali ini
"Buat Susan, ya?!" ucap Dicky menyambar omongan dengan wajah memelas pura-pura.
Kak Dheta memandang Dicky dan melihat bunga Rose putih yang terlihat masih dalam kondisi kuncup disitu. Menimbang-nimbang kejujuran perkataan adiknya.
"Oke, tapi jangan bohong ya! kalau minta harus jaga baik-baik. Kau urus sendiri kalau kau mau ... ini beberapa hari lagi baru merekah." tegas Kak Dheta.
Dicky tersenyum dan berbalik menghampiri pot bunga Rose putih tadi.
Kak Dheta memperhatikan dari belakang menggeleng-gelengkan kepala melihat adiknya yang nyaris tidak pernah menyentuh tanaman-tanaman itu sebelumnya, tidak seperti kali ini.
Janggal sekali untuk seorang Dicky yang suka asal-asalan.
'Heh, kenapa ini anak. Jangan-jangan dia kesurupan nanti bunganya mau dimakan' ucap Dheta dalam hati menaruh curiga.
****
Pagi itu.
Dicky merebahkan tubuhnya kembali dalam kamar sambil mendengarkan musik pada aplikasi ponselnya.
Pikiran dan hatinya campur aduk. Tidak paham kenapa mencoba memberanikan mengecup jari dan kening sahabatnya sendiri. Mungkin, ia mulai dewasa dan merasakan insting sesungguhnya sebagai seorang laki-laki terhadap wanita.
Dicky tahu betul bagaimana orang yang dia kenal selama ini. Tidak ada laki-laki yang berani menyentuhnya kecuali kak Edo, kakak kandung Susan sendiri.
Bahkan ia tidak habis pikir meminta setangkai Rose putih untuk memberikannya kepada Susan.
'Apa aku sudah gila. Dia kan kaya laki! bisa dibilang apa aku ... Homo komplikasi?" Batin Dicky yang merasa aneh dengan sikapnya sendiri. Karena rasa sayang yang berujung pada rasa suka.
Teringat kejadian semalam saat dia berdiri di balkon kamar memperhatikan Susan berbicara dengan seorang pria asing. Berkecamuk lagi dalam pikirannya.
Muncul rasa keruh dalam hati, cemas, marah, tidak terima, tersingkir, seakan ingin melemparkan granat kepada dua orang tersebut.
'Tapi tidak. Jangan ada Susan nya Haaaaahh ... tapi tidak bisa! menyesal aku mengintip mereka!' hati Dicky membela.
****
Susan membalas beberapa pesan dari teman kampusnya yang bertanya-tanya kenapa dia absen hari ini. Tanpa kabar.
Delta [ Oy San! kenapa gak masuk? ]
Susan [ Sorry, badanku agak kurang sehat hari ini, maaf ya... ]
Delta [ Sakit apa kamu? kok dadakan sih, baru kemarin kita rencana mau nonton bareng kan pulang kampus ]
Susan [ Yah, aku gak tau. Kepala ku sedikit berat, dadaku rasanya panas, mungkin karena latihan karate kemarin habis tanding, badanku sakit-sakit ]
Delta [ Ya sudah, kabari ya kalau sudah enakan, gak seru kalau kita cuma berempat nonton bareng! Adrian, Urip dan chicha juga nanyain, apalagi Adrian ngomel-ngomel tuh! ]
Delta [ Ah, Adrian sih gak aneh. Yaa ... iya maap. Salam buat mereka, nanti biar aku kabari, oke ]
'Terpaksa bohong, kalau tidak habislah aku!' ucap Susan dalam hati.
Susan tertegun sejenak melihat layar ponsel dan memeriksa pesan-pesan yang masuk, tidak ada satupun pesan dari Dicky.
'Apa dia marah, ya? apa aku sudah keterlaluan karena menamparnya tadi' batin Susan khawatir salah dengan sikapnya.
Berusaha mengalihkan pikiran, detik-detik semakin terasa lama penuh rasa takut akan harapan palsu, si Pangeran Amrik yang mau datang berkunjung atau kah Pangeran kadaluarsa dari seberang sana.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Susan terkejut menghela napas, ternyata kak Edo.
"San, gak ke kampus??" tanya kak Edo.
"Nah kak Edo, kok ga kerja??" jawab Susan
"Setengah hari ... ngapain balik tanya-tanya? kan aku yang tanya kamu! jangan bilang karena Eli mau kesini ya ... nanti sore aku mau pergi sama Zac jadi kalian jangan dirumah berduaan!" tegas Kak Edo
"Kalo berduaan emang kenapa, kan enak langsung ketangkep trus dinikahin hehehe" canda Susan atau insting berbicara tanpa sengaja.
"Mesum! udah sana turun, mandi sudah siang begini ... eh, Mama-Papa pulang besok pagi, rapihkan rumah dari sekarang ... aku mau siap-siap ini keburu kesiangan!" pinta Kak Edo.
Susan hanya melirik malas seiring kak Edo berlalu dari dalam kamarnya karena terburu-buru berangkat kerja.
****
Sore itu, Susan berdandan rapih dengan kaus dan celana jeansnya. Memang hanya kostum semacam itu yang ia punya sehari-hari, dress hanya sebatas acara resmi saja.
Susan menyimak suara kak Edo yang sedang menerima kedatangan seseorang di teras depan rumahnya.
Dan itu sepertinya suara yang diharapkan sedari tadi ...
'Ternyata Tuhan menjawab Doa ku ... Eli datang ke rumah! Pangeran ku tidak ingkar janji, dadaku berdegup kencang lagi'