"Aku juga mencintai Darren. Aku mencintai kalian berdua. Jadi, berhentilah berdebat. Mengerti?" Wajah Rosea yang tadinya gembira dan penuh cahaya kini mulai surut dan redup. Dia melirik Alaric yang sudah sangat kesal, merasa menjadi korban dari harapan palsu yang Rosea berikan. Berbeda dengan Alaric, Darren justru tertawa ganteng. Dia tertawa hingga menunjukkan sebuah lesung pipi di sebelah kanannya.
"Kasihan sekali kau. Sudah diterbangkan setinggi langit, berakhir jatuh ke dalam rawa." Ledek Darren pada Alaric.
"Diamlah bodoh." Balas Alaric tidak terima. Rosea tertawa terbahak-bahak melihatnya. Mereka berdua benar-benar sangat lucu saat sedang bertengkar.
"Apa yang kau lakukan pada Bajingan itu ngomong-ngomong?" Darren menarik tangan Rosea, menggenggam nya sangat erat sembari mengusapnya perlahan. Merasa tak mau kalah, Alaric juga menggenggam tangan yang sebelahnya. Mengusapnya lebih lembut dari usapan yang Darren berikan.
"Aku hanya memperlihatkan tontonan yang sangat menarik." Rosea menyeringai, matanya melirik Darren dan Alaric bersamaan.
"Tak terasa, sudah seminggu sejak kejadian itu. Jangan pernah keluar sendirian lagi, My Rose. Aku akan selalu meluangkan waktu untuk mengantarmu kemanapun." Ujar Darren, memberi tawaran.
"Aku juga. Waktuku pasti luang untukmu. Bahkan, kau boleh menggangguku saat sedang mandi." Alaric, si mesum itu kembali berulah.
"Ck! Tidak sudi aku melihat milikmu yang hanya sepanjang kelingkingku." Ledek Rosea.
Alaric mendelik, tidak terima. "My Rose! Milikku ini sangat besar dan hot. Mau melihatnya?"
Rosea bergidik ngeri, segera memutar kepalanya menuju Darren. "Kau sekarang sudah mulai luang karena sekretaris barumu?" Tanya Rosea, lebih ke menggoda Darren.
"Ck! Kau cemburu My Rose?" Pertanyaan ini terdengar sangat memojokkan Rosea. Membuatnya tertawa terbahak-bahak. Untuk apa dia cemburu jika dirinya tahu dengan baik bahwa cinta Darren hanya untuknya semata?
"Tidak mungkin aku cemburu, Darren." Balas Rosea, menyikut lengan Darren pelan.
Darren terlihat tidak suka jika Rosea mengungkit masalah perempuan lain di percakapan mereka. Terlebih saat Rosea mulai menjodohkan dirinya seperti saat ini. Yang dia inginkan hanya Rosea, bukan yang lain.
"Namanya Ashana bukan? Cantik sekali namanya." Kata Rosea, mulai memancing Darren.
"Diamlah. Aku malas mendengar namanya. Entah apa yang sedang dia kerjakan saat ini." Darren sudah mulai naik pitam. Meski begitu, dia menahannya dengan baik demi Rosea semata.
"Dia juga cantik, Darren." Lanjut Rosea, semakin membuat Darren panas dan nyaris mendidih.
"Apa dia sangat cantik, My Rose?" Alaric yang sejak tadi diam kini mulai bergabung. Menanggapi ucapan Rosea, ikut menggoda Darren.
"Ya. Dia sangat cantik. Hanya gay yang akan menolaknya." Rosea masih saja terus menggoda Darren tanpa henti.
Rosea saja berhasil membuat Darren naik pitam. Sekarang, di tambah dengan Alaric berhasil membuatnya berapi-api kemarahan.
"Wah, kau yakin tidak akan menyesal menyia-nyiakanya begitu saja?" Alaric masih saja terus menggoda Darren meskipun tahu bahwa Darren mulai merasa marah.
"Kalau begitu, untukmu saja. Rosea biar kumiliki." Dirasa sudah tidak sanggup lagi, dia memilih untuk menjauh, membuat Alaric dan Rosea tertawa bersamaan.
"Lihatlah, dia selalu sensitif jika menyangkut perempuan lain." Rosea mengangguk, menyetujui ucapan Alaric.
"Kau benar. Itu karena Darren sangat setia padaku, Alaric. Bukan sepertimu yang selalu.... saja tancap sana-sini." Rosea tersenyum, kemudian meninggalkan Alaric seorang diri dengan bibir yang cemberut.
***
Pagi-pagi sekali, Rosea mendengus kesal. Dia sudah mengoceh tanpa henti karena Alaric menghubunginya berkali-kali. Mengatakan bahwa perutnya terasa sangat sakit. Rosea tahu Alaric hanya beralasan. Meski begitu, tetap saja gadis itu memutuskan untuk datang ke kediaman Alaric di jam lima pagi.
Matahari bahkan masih malu-malu untuk terbit, namun Rosea dengan baju tidurnya yang berwarna putih sudah berhasil menempuh jarak uang cukup jauh hanya untuk mengurus sahabatnya satu ini.
Dia masuk ke dalam rumah Alaric, di sambut banyak pelayan di sana. Tanpa basa-basi, dia langsung menaiki lift, menuju kamar Alaric.
Lift khusus mengantarkannya langsung ke dalam kamar itu. Rosea tidak perlu susah payah mengoceh sembari melewati anak tangga satu persatu.
Ting!
Denting lift berbunyi. Bersamaan dengan pintu terbuka, suara ocehan Rosea di pagi hari kini terdengar ke telinga Alaric. Membuatnya terkekeh tanpa dosa.
"Apa?! Apalagi apa?! Astaga... kau menelfonnya sebanyak dua ratus empat puluh sembilan kali!" Kesal Rosea. Dia mendekati ranjang Alaric, melemparkan ponselnya di sana.
"Wah, kurang satu ternyata. Sebentar, aku akan membuatnya genap dua ratus lima puluh." Tanpa basa-basi, ponsel Rosea kini berbunyi. Siapa lagi pelakunya jika bukan Alaric sialan ini?
"Wah... aku tidak menyangka Alaric." Rosea geleng-geleng kepala. Dia membanting tubuhnya sendiri ke ranjang; menenggelamkan wajahnya ke bantal Alaric. Harum aroma shampo Alaric tercium olehnya.
"Perutku sakit, My Rose." Alaric bertingkah seperti bocah. Rosea yang tadinya berniat tidur kembali kini mengangkat wajahnya. Persetan dengan dress nya yang tersikap hingga ke paha.
"Kau seharusnya memanggil dokter, Tuan Cashel yang terhormat." Sindir Rosea.
Alaric menggeleng. "Aku bukan sakit karena luka waktu itu. Tetapi, karena ingin merasakan masakanmu."