Dan disinilah Rosea berada. Di dapur Alaric, sedang berkecimpung dengan segala bahan masakan yang ada. Alaric merengek, memintanya untuk memasak bubur untuknya. Rosea yang merasa tidurnya terganggu tak ada pilihan. Dia masak dengan seadanya dan bibir yang melengkung kebawah.
"Lama sekali, My Rose." Suara Alaric terdengar, bersamaan dengan tangannya yang melingkar di perut ramping Rosea. Dia memeluknya dari belakang, membuat pergerakan Rosea kini mulai terbatas.
"Ini sudah selesai, Alaric sialan." Ketus Rosea. Sesekali, dia menguap karena merasakan kantuk yang luar biasa. Sesaat setelah makannya matang, Rosea memutar tubuhnya menghadap Alaric, memberikan semangkuk bubur buatannya.
"Silahkan dimakan, Tuan." Ketusnya.
Dia meninggalkan Alaric begitu saja, berjalan menuju kamar Alaric. Sedangkan pria yang dia tinggalkan kini tengah berjalan menuju meja makan, melahap bubur yang Rosea buat. "Terima kasih, My Rose!" Teriak Alaric.
Langkah kaki Rosea terhenti tiba-tiba di ruang keluarga. Ada Darren di sana dengan sebuah paperbag di tangannya.
"Pakaianmu, My Rose." Kata Darren, memberikan paper bag berisi pakaian Rosea.
"Kau yang memilihkannya sendiri?" Mata Rosea memicing curiga, menatap Darren dengan tajamnya.
Sedangkan yang ditatap hanya terkekeh sembari mengangguk. "Hm. Aku memilihkan bra berwarna merah yang sangat hot, My Rose." Goda Darren, berjalan melewati Rosea.
"Mesum!" Protes Rosea. Dia hanya bercanda. Sepenuhnya Rosea tahu bahwa Darren tidak mesum sama sekali. Dia bukan pria kurang ajar yang sesuka hati menebar sperma kesana-kemari seperti Alaric.
"Darren, kau sudah makan?" Rosea yang tadinya berniat kembali ke kamar Alaric kini tertarik pada Darren. Sepertinya pria itu sedang kurang sehat.
"Belum." Jawaban Darren sesuai dengan dugaan Rosea. Dia meletakkan paperbag tersebut di atas meja makan, kemudian kembali ke dapur.
"Telur mata sapi yang dibolak balik selama 8 kali dengan api medium dan mentega sebanyak dua sendok makan." Gumam Rosea, sembari memasak sarapan yang harus Darren makan.
Selama Rosea memasak, Darren tak henti-hentinya menatap Rosea, memperhatikannya dengan seksama dan mata yang berbinar. "Dia seperti bidadari." Gumam Darren tanpa sadar.
Menyadari Darren yang memperhatikan Rosea, Alaric ikut bergabung. Dia meletakkan sendoknya, duduk di samping Darren dan mulai memperhatikan Rosea dengan mata memuja. Tubuh sexy Rosea tak luput dari pandangan Alaric saat ini.
"Tubuhnya sangat memukau." Timpal Alaric.
Keduanya kemudian menghela napas bersama-sama dan mengatakan hal yang serupa dalam waktu bersamaan. "Sayang, hatinya entah untuk siapa."
Tawa mengalun indah di telinga keduanya, Rosea telah datang dan duduk di depan mereka. Diletakkannya piring berisi nasi dan telur untuk Darren, kemudian diarahkannya bubur Alaric sebelumnya.
"Selamat makan, Tuan-tuan. Ck! Aku benar-benar merasa menjadi pembantu. Sudahlah, aku mau tidur! Tidak ada yang boleh mengganggu. Bangunkan aku jam tujuh. Aku akan mulai mengambil alih perusahaan." Rosea meregangkan tubuhnya.
"Kau benar-benar akan menjadi CEO di perusahaan Ayahmu?" Pertanyaan ini membuat Rosea yang tadinya berniat kembali ke kamar mulai urung. Dia mengangguk pelan.
"Kenapa? Kalian tidak meragukanku bukan?" Rosea sangat tidak suka saat Alaric dan Darren meragukannya. Dia bukan perempuan lemah, seharusnya Alaric dan Darren tahu itu.
"Kau berjiwa bebas, My Rose. Terikat dengan perusahaan seperti bukan dirimu sendiri." Ucapan Darren ada benarnya. Rosea sampai tersentak mendengarnya, merasa tersindir.
"Mau bagaimana lagi? Aku harus mengambil alih. Oh iya, aku memiliki sekretaris baru, namanya Juan." Sontak, Alaric dan Darren tersedak secara bersamaan. Keduanya melotot, menatap Rosea dengan marah.
"Kenapa kalian? Apa ada yang salah dari ucapanku?" Tanya Rosea.
"Ya, salah. Pecat Juan sekarang juga!" Sentak Darren, membuat Rosea kebingungan.
"Akan kucari kan sekretaris perempuan yang bisa bela diri. Pecat si Juan itu." Timpal Alaric, menyetujui ucapan Darren.
Ah, sekarang Rosea tahu apa akar masalahnya. Cemburu. Sudahlah, mengurusi orang cemburu hanya bisa membuat hati merasa lelah.
Rosea beranjak, melambaikan tangannya. "Aku akan tidur dan tidak akan pernah memecat Juan. Dia sangat sesuai dengan kriteriaku. Babay pangeran-pangeranku!" Rosea berlalu begitu saja, dengan cepatnya sampai Alaric dan Darren tidak sempat berkata-kata.
"Juan sialan!" Geram Alaric sembari mencekram sendok di tangannya.
"Kita harus menemuinya, bukan?" Alaric bertanya pada Darren yang kini telah mencoba menghubungi seseorang.
"Cari tahu latar belakang tentang Juan, sekarang!"