Setelah meninggalkan Kota Festival …
"Haaaaaahhhhhh!" Albert menghela napas sangat panjang. "Aku berharap bisa menggunakan sapu terbang," ucap anak itu seraya menapaki tumpukan salju di sore hari. Sesekali ia memijat betisnya yang mengeras.
Kedua pengembara itu meninggalkan Kota Festival sejak beberapa pekan lalu. Kini mereka melakukan perjalanan menuju Rurall sesuai dengan yang dijanjikan. Akan tetapi si penyihir muda itu tidak berhenti mengeluh sejak siang tadi. Fuguel terus berjalan tanpa mengacuhkannya dan membiarkan Albert berwajah kusut. Sebetulnya, Albert tidak berlebihan ketika ia mengeluh. Perjalanan mereka memang sudah berlangsung berhari-hari dengan berjalan kaki. Dan sebagai orang yang dibesarkan di Istana, tentu saja sifat manjanya tidak bisa hilang begitu saja.
"Hey! Ayo lakukan sesuatu …," pinta anak itu sembari memiringkan kepala dengan tatapan memelas. Fuguel menggelengkan kepala dengan wajah datarnya.
Karena teman pengembaranya tidak peduli, pipi anak itu menggelembung cemberut. Ia terus menggerutu sepanjang perjalanan. Kakinya dihentak-hentakkan hingga membekas cukup dalam di atas tumpukan salju. Sayangnya, usaha untuk mencari perhatian itu tidak digubris sama sekali oleh Fuguel. Pria itu hanya berjalan dengan tatapan lurus seolah ada magnet yang menariknya. Ia sama sekali tidak teralihkan.
Beberapa lama setelah mereka berdua berjalan dan Albert terus mengoceh, Fuguel merasakan sesuatu. "Ssttt!" Pria itu tiba-tiba meminta Albert untuk diam dan tenang.
Telinga pria kuncir satu itu berkedut. Ia merasakan getaran di jalan yang ia tapaki. Fuguel kemudian berlutut sembari menyingkirkan tumpukan salju di jalan. Ia meletakkan telapak tangannya di atas tanah dan memasang telinganya dengan saksama. Perlahan tapi pasti getaran itu semakin jelas, terdapat sesuatu yang bergerak beberapa meter di belakang mereka. Fuguel mengisyaratkan anak yang berdiri di sampingnya untuk segera bersembunyi di balik pepohonan yang berbaris di pinggir jalan. Mereka berdua cukup waspada mengingat adanya insiden beberapa waktu lalu.
"Sreet … sreet …," suara itu terdengar seperti roda kendaraan.
"Tap … tap …," beberapa waktu kemudian tampak empat ekor kuda yang menarik sebuah karavan.
Ternyata sekelompok pengembara juga melewati jalan tersebut. Jalan yang menjadi satu-satunya jalan menuju Rurall, tampaknya orang-orang itu ingin ke sana. Fuguel memutuskan tetap bersembunyi dan berniat membiarkan orang-orang tersebut lewat. Sayangnya, anak yang bersembunyi di balik pohon seberang jalan memiliki niat lain. Matanya berbinar seolah menemukan ide cemerlang.
"Whooossshh!"
Kuda-kuda itu berlari seolah tak terkendali, akibatnya karavan tersebut bergerak lebih cepat. Penumpang di atasnya tampak panik dan kebingungan. Beberapa saat setelah itu mereka menabrak seseorang. Seorang remaja 13 tahun terhempas hingga tergeletak di atas tumpukan salju.
"Awwww!" Anak itu merintih seraya mengelus bokongnya yang mendarat terlebih dahulu.
Orang-orang di atas karavan kaget, adanya guncangan membuat mereka bertanya-tanya. Kusir kuda tersebut lebih terkejut lagi. Beberapa saat lalu tidak tampak orang sama sekali dan entah mengapa tiba-tiba saja ada seseorang di sana.
"Apa yang terjadi?" Tanya salah seorang penumpang, suaranya terdengar halus tetapi penuh ketegasan.
"Mo-mohon maaf …," Si pengendara kuda berkeringat dingin. Terdapat getaran dalam suaranya. "A-ada yang tertabarak," ucapnya terbata-bata. Mendengar penjelasan tersebut, salah seorang penumpang lainnya memutuskan turun dan memastikan keadaan.
Penumpang itu menapaki salju putih dengan sepatu kulit berwarna cokelat. Ia berjalan perlahan dengan keanggunan menunjukkan sesuatu yang tidak biasa bagi seorang pengembara. Mantel biru muda yang menjuntai itu berayun kaku. Ia mendekati korban kecelekaan itu, atau setidaknya tampak seperti korban.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya seorang pemuda berambut lurus sebatas pinggang. Ia menatap anak itu penuh kekhawatiran.
"Ti-tidak apa-apa …," balas anak itu seraya tersenyum canggung. Ia kemudian mencoba bangkit tetapi kembali jatuh karena kakinya seperti terkilir.
Melihat keadaannya, si pemuda berambut putih ivory itu berbalik ke arah kusir kuda memberikan isyarat. Isyarat untuk menangani keadaan yang sedang terjadi. Sementara itu, si anak yang berpura-pura terluka tersenyum kecil. Ia memandangi pria di balik pohon yang sedang bersembunyi. Tatapannya menunjukkan kesan jail. Anak itu seolah meminta agar pria tersebut mengikuti narasinya. Narasi untuk mengambil keuntungan dari insiden yang dibuatnya.
Fuguel menepuk jidat dan menghela napas, "Ceroboh sekali," katanya dalam hati.
Si Kusir melihat kaki Albert dengan teliti untuk mengetahui seberapa dalam lukanya. Ia memegangi pergelangan kaki anak itu cukup kuat hingga meringis kesakitan, "Ma-maaf …," ucap pria kurus itu setelah ditatap nanar oleh Albert.
Kusir malang yang mencoba menangani keadaan tersebut merupakan korban utama dalam insiden ini. Ia hanya menjalankan tugasnya dan terlibat rencana nakal anak itu. Tampang pria itu penuh rasa takut dan khawatir. Ia mungkin berpikir, setelah kejadian itu ia akan dipecat.
"Se-sepertinya dia akan sulit berjalan."
Pemuda yang berdiri di samping kusir tersebut bertanya kepada Albert, "Apa kau ingin ke Rurall?"
"I-iya …," Albert tersenyum tipis seraya menggaruk kepala.
Pemuda dengan bulu mata lentik itu memegang dagu menggunakan jari telunjuk dan jempol seraya berpikir. Ia sempat melihat ke karavan sebelum mengambil keputusan, "Bagaimana kalau kau ikut saja dengan kami?" Usulnya.
Tampang anak itu penuh ketidakberdayaan. Tetapi dalam hatinya, ia sangat senang. Jelas sekali ia merasa puas karena pemuda tersebut termakan jebakannya. Sekarang, tinggalah bagaimana cara ia membawa Fuguel bersamanya.
"Aha!" Anak itu seolah mendapat ide cemerlang lainnya. "Sebenarnya ada satu orang lagi bersamaku," kata anak itu.
"Satu orang?" Pemuda itu sedikit memiringkan kepala. "Lalu di mana orang itu? Tanyanya.
Anak itu sekali lagi melirik ke arah Fuguel sekilas dengan senyum tipis. Melihat itu, tubuh pria tersebut tiba-tiba merinding, seolah ia bisa merasa dingin. Reaksi Fuguel sebetulnya insting yang menandakan adanya bahaya.
"Ah …," arah pandangan Albert kini tepat ke bola mata pemuda yang berdiri depannya. Ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas, tampak senyum kaku bahkan mencurigakan harusnya. "Orang itu sedang buang ta*, maksudku buang air besar di hutan. Aku baru saja ingin mengecek keadaannya." Anak itu mengucapkannya dengan suara lebih keras. Cukup keras hingga terdengar ke telinga Fuguel.
"Ka-kalau begitu kita tunggu saja dia," ucap pemuda itu seraya tersenyum kaku.
Beberapa saat setelah itu Fuguel muncul dari arah tempat persembunyiannya. Ia berlari kecil seolah panik melihat keadaan anak tersebut. Pria itu berusaha keras untuk mengikuti alur rencana Albert. Tetapi mungkin saja orang-orang meragukan mereka karena Fuguel sama sekali tidak dapat berekspresi.
"Ada apa ini?" Tanya Fuguel, sekadar basa-basi.
Pemuda bersama kusir karavan tersebut mencoba menjelaskan keadaan yang terjadi. Sementara itu, Albert berusaha berdiri karena sejak tadi ia duduk di atas tumpukan salju. Mungkin saja ia mulai kedinginan karena bahan pakaiannya yang tidak cukup tebal. Namun, di tengah-tengah hiruk-pikuknya keadaan itu tiba-tiba terdengar suara. Suara halus yang mengalihkan pandangan semua orang.
"Aran, apa yang membuatmu begitu lama?"
Seketika, wajah pemuda itu menegang. Pembawaan tenang darinya hilang ketika mendengar suara itu memanggil. Ia bergegas menuju sumber suara dan menjelaskan kembali semua yang terjadi. Pemilik suara tersebut sepertinya merupakan tuan dari orang-orang yang ditemui Albert dan Fuguel.
Albert dan Fuguel saling melirik. Tatapan anak itu menunjukkan adanya usaha meyakinkan Fuguel bahwa semuanya pasti berjalan lancar. Sedangkan pria itu membalasnya dengan tatapan kosong yang mengisyaratkan ketidaksetujuan tapi pasrah dengan keadaan.
"Kalian bisa ikut," pemuda itu muncul setelah berdiskusi dengan penumpang karavan lainnya.
Fuguel membalasnya dengan senyuman. Senyum tanpa kerutan wajah dan kulit yang mengetat. Si pemuda bernama Aran dan Si Kusir bergidik, lagi-lagi orang merasa tidak enak melihat senyum pria itu. Tetapi pria itu berniat baik. Ia bahkan berusaha untuk bersikap ramah bahkan dengan kondisi wajah tanpa ekspresi seperti itu. Hal tersebut patut diapresiasi.
"Terima kasih karena mengizinkan kami untuk ikut," Fuguel mengulurkan tangan tanda ingin menjabat tangan pemuda itu.
Si pemuda setinggi 180 cm itu menatap tangan Fuguel cukup lama. "Kau bisa membopong anak itu ke karavan," ucapnya dengan senyum, tetapi alis dan hidungnya sekilas tampak mengerut. Pemuda itu berbalik dan berjalan meninggalkan keduanya di belakang. Fuguel menarik kembali uluran tangannya yang terasa dingin dan hampa---kesannya seperti itu. Sesuai yang diperintahkan, ia menggendong Albert layaknya tuan putri.
"Apa kau sudah mengeluarkan semuanya?" Bisik anak itu dengan nada penuh ledekan.
"Aku merasa sangat lega," balas Fuguel singkat dengan tatapan lurus ke depan. Sepertinya ia hendak melepaskan kedua tangannya dan membiarkan anak itu jatuh.
~