"Pangeran Albert …," seorang wanita meletakkan punggung tangannya di kening anak yang tengah berbaring. "Suhu tubuhnya masih sangat tinggi," gumam wanita itu. Ia kemudian meletakkan kain basah di kening Albert.
Wanita itu beranjak seraya membawa pergi troli berisikan sarapan pagi Albert. Anak itu sepertinya tidak akan bangun dalam waktu dekat. Begitulah pikir Rosalie, pelayan wanita yang telah mengurus anak berambut pirang itu sejak kecil.
"Ro-sa …," Albert tampak bergumam dalam tidurnya.
"Pangeran Albert …," wanita itu kembali mengecek keadaan Albert. "Anda baik-baik saja?" Tanya wanita itu seraya mengerutkan keningnya. Ada ekspresi khawatir yang terpancar.
"Bantu aku bangun!"
"Tapi Anda harus beristirahat."
Tanpa bantuan pelayannya, anak itu berinisiatif untuk bangkit sendiri. Ia kemudian menunjuk troli berisikan sarapan pagi. "Berikan!" Katanya. Rosalie, pelayan wanita dengan gelungan rambut berwarna cokelat itu menarik troli tersebut. Ia memberikan segelas air kepada Albert.
"Glug, glug, glug …," anak itu menenggak air tersebut hingga tandas. Tangan yang memegang gelas itu dibalut perban. Setelah ia selesai minum perlahan darah segar merembes ke dalam kain putih yang melingkar di tangan kanannya.
Rosalie menatap punggung tangan anak itu. Banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan dalam benaknya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tertahan. Ekspresi wajah anak di hadapannya terlihat tidak ingin ditanyai sama sekali. Jauh lebih buruk dibanding semua ekspresi yang Albert pernah tunjukkan. Kali ini kilau cahaya matanya benar-benar menghilang.
Seusai menyantap sarapan pagi, anak itu berdiam diri di atas kasur. Menatap langit di balik jendela yang terbuka lebar. Angin Ririas menerpa hingga dedaunan memasuki kamarnya. Dedaunan berwarna kuning kemerahan yang gugur satu per satu. Ketika angin menyentuh kulit pucat anak itu, ada rasa mencekik.
"Aku tidak ingin berada di sini," pikirnya.
Lama sekali anak itu berdiam diri. Ia tidak mengizinkan siapa pun memasuki kamarnya. Ia terus merenung seraya menatap keluar. Matahari terbenam dan langit mulai gelap. Meski begitu, Pangeran Albert tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Malam hari mulai mengembuskan udara dingin yang menusuk. Pakaian tipis anak itu tidak akan pernah cukup menghalaunya. Tapi ia tidak mengindahkan hal itu dan membiarkan semuanya tetap seperti itu. Pergerakan pertama akhirnya ia tunjukkan ketika kakinya dengan kaku menuruni kasur. Ia berjalan perlahan ke arah jendela.
"Hahahaha …," anak itu tiba-tiba tertawa. Ia memandangi kamar tidur yang megah milik seorang pangeran. Setiap sudut tak luput dari pengelihatannya. Dinding putih penuh ukiran dan lantai berbahan marmer mahal, semua itu adalah hal yang sudah biasa ia lihat. Berpijak di tempat mewah adalah hal yang lumrah. Itulah arti menjadi seorang pangeran.
"Selamat tinggal," ucapnya dalam hati.
Setelah memantapkan hati ia mengambil mantel dan sapu terbangnya. Anak itu bergegas pergi. Ia melewati jendela kamar dan membiarkannya terbuka lebar. Hampir tengah malam, ia meninggalkan istana tanpa sedikit pun rasa berat hati.
"Krak, krak …," Albert memasuki hutan ek, tempat Iriel berada.
Anak itu berlari menyusuri hutan gelap hanya ditemani cahaya bulan. Meski begitu langkah kakinya tidak terhenti. Tentu saja karena ia sudah terbiasa melewati jalan itu. Jalan yang sebentar lagi tidak akan ia pijaki dalam waktu dekat.
"Hah, hah …," napas anak itu terngah-engah setelah sampai di depan pintu rumah Iriel.
Sayangnya, rumah itu gelap. Tak ada tanda-tanda penghuni di dalamnya. Albert kemudian membuka pintu perlahan. Derit pintu terdengar jelas tetapi tidak ada yang merespon. Dengan begitu, Albert yakin bahwa masternya tidak sedang di rumah.
Anak itu menyalakan lentera di meja kerja Iriel. Meja kayu itu tampak berantakan penuh dengan buku dan kertas berisi tulisan masternya. Terakhir kali anak itu ke sana, rumahnya sangat rapi. Sepertinya, Iriel sempat kembali sebelum ia kembali pergi. Terakhir kali Albert melihat wanita itu saat perayaannya berlangsung. Albert sangat menyayangkan karena ia tidak bisa bertemu dengan masternya untuk menyampaikan salam perpisahan secara langsung.
Anak itu mengambil kertas dan pena yang tergeletak di atas meja. Ia mulai menuliskan sesuatu. Sebuah pesan perpisahan untuk sosok yang ia hormati. Sebuah pesan singkat untuk satu-satunya orang yang menerima diri Albert apa adanya.
Kepada Iriel,
"Terima kasih karena telah mengajariku sihir dan berbagai hal lainnya. Terima kasih karena telah bersamaku selama tiga tahun terakhir. Aku bersenang-senang dan merasa menjadi seperti anak-anak pada umumnya. Sayangnya, hari ini aku sadar bahwa aku tidak seperti mereka. Selama ini aku hidup di atas kebohongan. Ririas membuatku sesak. Menghirup udaranya saja rasanya aku tidak sanggup. Maafkan aku tapi aku harus pergi. Selamat tinggal, semoga kita bertemu suatu hari nanti di manapun itu."
Albert
Punggung anak itu perlahan menghilang, menyatu dalam kegelapan. Ia meninggalkan kota kelahirannya, meninggalkan negerinya, meninggalkan kerajaannya, dan meninggalkan gelarnya. Bagi Albert, saat itu tidak ada lagi Albert Edler di sana. Tidak ada lagi anak yang merengek kepada Raja Ririas. Merengek meminta kasih sayang. Merengek meminta kehormatan. Merengek meminta pengakuan. Satu-satunya yang tersisa adalah kenyataan bahwa ia telah pergi.
Albert terbang menembus awan kumulus, melewati langit malam tanpa sekalipun berbalik. Setelah melewati perbatasan, matahari akhirnya mulai menyingsing. Anak itu berjalan menyusuri hutan, menyeberangi sungai, kemudian kembali ke jalan setapak. Sesekali ia berteduh di bawah pohon rindang seraya memakan buah-buahan yang terjatuh.
Berhari-hari ia terus melanjutkan perjalanan tanpa arah. Satu-satunya tujuannya saat itu adalah pergi sejauh mungkin ke tempat di mana ia tidak ditemukan. Terbang jauh hingga tak satu pun orang dapat mengenalinya. Hingga pada suatu waktu anak itu singgah ke sebuah desa yang amat kumuh. Di sana ia beristirahat dan mencari makanan. Sayangnya, setelah beberapa hari anak itu menyadari satu hal. Rasa makanan yang ia santap sama sekali tidak ada. Tak satu pun makanan dapat memuaskan lidahnya.
"Apa karena aku hanya terbiasa makan makanan istana," pikir anak itu kemudian terkekeh.
Sekali lagi anak itu melanjutkan perjalanan, terus terbang membelah awan. Embusan angin di setiap tempat tidak selalu sama. Ada kalanya terasa lembut, sejuk, tetapi kadang kering dan menyesakkan. Setelah pergi dari Ririas banyak sekali pemandangan berbeda yang ia lihat. Perumahan, interaksi, perawakan, ekspresi, semuanya, semua hal berbeda dan baru. Tapi tidak satu pun dari hal yang anak itu lihat dapat memuaskan batinnya. Kebahagiaan tidak ada di manapun.
Tengah hari Albert beristirahat di sebuah rumah makan yang tampaknya sudah bobrok. Hanya beberapa pelanggan yang terlihat di tempat itu. Jumlahnya bahkan bisa dihitung jari. Ia meminta segelas air dan sepotong roti. Sekali lagi ia mencoba merasakan dengan saksama dengan lidahnya.
"Sudah kuduga, sama saja," pikir anak itu. Lagi-lagi makanan yang ia santap tidak ada rasanya.
"Aku benar-benar melihatnya!" Suara anak perempuan itu terdengar nyaring. Anak itu berdiri tepat di samping meja Albert berada.
"Hei bocah, kau terlalu banyak mengkhayal."
"Aku yakin … aku melihat seseorang terbang di atas langit."
"Hahahahaha …," pria berewokan yang tengah memegang segelas brem itu tertawa terbahak-bahak. "Hik! Kurasa kau sedang bermimpi di siang bolong," ucapnya kemudian menenggak habis minuman yang ia pegang.
Wajah gadis kecil itu menggelembung. Tentu saja ia cemberut karena ia sangat yakin melihat seseorang terbang di langit. Tapi sayangnya dia hanya anak-anak. Di sana, tidak ada orang dewasa yang benar-benar mempercayainya.
"Aku percaya padamu …," ucap seorang pemuda berambut panjang yang diikat. Ia tiba-tiba muncul dari belakang. "Kau juga berpikir begitu kan?" Pemuda itu duduk di samping Albert kemudian merangkulnya.
"Sret!" Albert melepas rangkulan pemuda itu dan berdiri. Sebelum anak itu menghabiskan makanannya, ia meletakkan sejumlah koin di atas meja kemudian meninggalkan tempat itu.
Saat berjalan keluar, beberapa orang menggunakan kufiya berdiri di dekat pintu. Mereka terlihat mengikuti Albert. Mereka tampaknya sudah menunggu di sana sejak anak itu memasuki rumah makan. Pemuda berambut panjang tadi turut keluar mengikutinya. Menyadari hal tersebut, Albert mempercepat langkah.
Suasana gersang dan deru angin di siang hari memperburuk keadaan. Debu berterbangan membuat pengelihatan tidak jelas, sedangkan anak itu tidak tahu harus ke mana. Antara melawan atau kabur, jelas Albert memilih kabur. Namun, di tengah cuaca yang mulai memburuk, pilihan untuk kabur menjadi sangat sulit.
"Hei!" Terdengar suara dari salah seorang gerombolan yang mengikuti Albert. Wajah mereka sulit dikenali karena kufiya itu melilit kepala dan wajah mereka. "Berhenti!" Albert mengabaikannya. Langkahnya justru semakin cepat saja.
"TANGKAP DIA!"
"Sial," ucap anak itu dalam hati kemudian berlari. Ia lalu mengeluarkan sapu terbang yang sejak tadi ia sembunyikan di balik mantel. Anak itu mencoba untuk meninggalkan mereka tetapi angin bertiup sangat kencang. Saat Albert mencoba untuk terbang, ia terhempas hingga tersungkur.
"Aww!" Albert merintih kesakitan. Lima orang sedang mengerumuni anak yang tengah tertelungkup di atas pasir.
"Ikat dia!" Perintah pemuda berambut panjang itu.
Albert diringkus dan dibawa ke segerombolan kafilah. Kain hitam tampak digunakan sebagi penutup mata, anak itu dalam kegelapan. Saat gerombolan itu pergi, Albert telah dilucuti. Hampir semua benda yang dia bawa dirampas. Selama perjalanan, anak itu mendengar bahwa dirinya akan dijual.
"Kau seorang penyihir kan?" Tanya pemuda berambut panjang itu. Albert diam. "Hei … jangan dingin begitu. Kau tahu kan keadaan di negeri ini, hidup memang berat. Salahkan saja nasibmu karena harus bertemu dengan kami," jelas pemuda itu.
"Salahkan nasib katamu? Jangan bercanda!" Ujar anak itu dalam hati.
Albert diikat dan dibiarkan tengkurap di atas unta yang berjalan melewati gurun. Pemuda yang berbicara degannya menarik unta itu dan memastikan Albert tidak kabur. Namun, selama perjalanan berlangsung, lambat laun langit mulai berwarna kecokelatan dan angin menderu semakin keras.
"SEMUANYA BERSIAP-SIAP!" Teriak pemimpin kafilah itu. Mereka memastikan agar debu yang bertebaran tidak masuk ke dalam mata dan saluran pernapasan.
Semakin jauh mereka berjalan, tekanan udara semakin menurun. Perlahan-lahan angin ribut itu berputar pada satu titik dan membumbung tinggi ke atas langit. Badai pasir mulai menerjang. Orang-orang tidak mampu melihat dengan jelas. Albert tidak melewatkan kesempatan itu dan melepas ikatan tali menggunakan gesekan angin layaknya pisau. Setelah tangannya terlepas ia membuka penutup matanya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak yakin dapat bertahan dalam badai ini. Tapi … aku harus mencobanya," pikir anak itu.
Ia menjatuhkan diri dan membiarkan tubuhnya menggelinding di atas pasir. Sayangnya, pemuda itu menyadari tindakan Albert. Meski badai menerjang, pemuda tersebut berusaha untuk menangkap kembali tawanannya.
"Di mana kau bocah sialan!" Sosok anak itu tidak kelihatan.
Orang-orang mulai mencari dirinya, tetapi dalam keadaan itu sangat sulit bahkan untuk menemukan satu orang. Apalagi, Albert membuat dirinya tidak tampak. Hanya saja, selama pencarian salah satu dari gerombolan itu cukup jeli. Samar-samar jejak kaki anak itu terlihat di atas pasir.
"ITU DIA!"
Albert berlari sekencang mungkin. Ia tidak tahu lagi langkah kakinya mengarah ke mana. Pokoknya, ia hanya menjauh dari suara yang terus meneriakinya.
"LARIIIIIIII!" Orang-orang itu menjauh dan kembali ke kafilah. Albert kebingungan, tetapi beberapa detik kemudian ia tercengang dengan benda di hadapannya.
"Sial, apa sampai di sini saja?"
Arus badai mengangkat tubuh anak itu. Ia kemudian berputar dalam pusaran angin. Selama kejadian itu berlangsung, Albert kehilangan kesadaran.
Beberapa jam setelah badai itu, suhu masih saja sangat panas. Terutama bagi orang yang tidak terbiasa hidup di daerah padang pasir. Albert yang selamat dari pusaran itu tertelungkup dan perlahan membuka mata.
"Apa aku selamat?" Ia melihat sebuah oasis tidak jauh dari tempatnya.
Dengan segenap tenaga, anak itu berjalan menuju oasis tersebut. Tenggorokan yang seperti terbakar membuat suaranya tidak dapat keluar. Air keringat terus bercucuran, terlalu banyak cairan yang dikeluarkan sehingga tubuhnya dehidrasi.
Sesampainya di sana, Albert menangkupkan kedua telapak tangannya kemudian mengambil air untuk diminum. "Glug, glug, glug!" Tegukan air menghilangkan dahaga, wajah anak itu akhirnya kembali hidup.
Albert setengah tidak percaya bahwa dirinya dapat selamat dari maut. Meski kondisinya saat ini tidak bisa dikatakan baik-baik saja, setidaknya ia masih hidup. Kulit anak itu terbakar hingga berwarna merah kecokelatan. Di bawah matanya terdapat lingkaran hitam. Lalu, terdapat goresan luka di berbagai kulitnya. Meski begitu, ia harus beranjak menemukan pemukiman.
Berhari-hari, ia berjalan dengan menyeret kakinya di tengah teriknya matahari. Terakhir kali ia makan sepertinya sudah lama sekali. Tubuh anak itu sangat berbeda sejak sebulan sebelumnya. Pipinya terlihat semakin tirus dan tulang punggungnya mulai timbul.
"Bruk!"
Kaki anak itu lunglai dan tak mampu menahan bobotnya lagi. Albert membiarkan dirinya berbaring di atas tanah kering. "Apa aku akan mati?" Pikir anak itu.
Anak itu bangkit dari tidurnya kemudian meringkuk, bersandar pada dinding kayu di belakangnya. Kedua kakinya dirapatkan dan sesekali menggaruk bagian yang gatal. Perlahan-lahan ia memejamkan mata, berusaha untuk mengabaikan bunyi perutnya.
"Hei kau tidak apa-apa?" Tanya sosok itu. Suaranya terdengar samar-samar oleh Albert.
Pria dengan suara yang berat itu mengulurkan tangannya, Albert memalingkan wajah. Meski orang itu tampak mencurigakan, anehnya Albert merasa ia bukan orang jahat.
"Makanlah!" Sepotong roti ia serahkan kepada anak itu.
Meski enggan, Albert mengambil roti tersebut. Roti yang terasa hangat di atas telapak tangan. Saat anak itu mengunyah potongan pertama, sesuatu yang penuh kerinduan menyelimutinya.
"Enak." Albert menghabiskan sepotong roti itu dengan lahap, seolah makanan itu makanan terlezat yang pernah ia cicipi sejak lahir.
~