Chereads / A Story You Can Tell / Chapter 15 - Siapa Kau?

Chapter 15 - Siapa Kau?

Pangeran Albert menarik gagang pintu yang juga berbahan kristal lalu melihat suatu ruangan yang berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Ruangan itu hampir seluas kamar Pangeran Albert sekitar 90 m2. Di dalam sana punggung kedua orang yang ia cari akhirnya terlihat. Pangeran Albert memasuki ruangan itu perlahan. Sangat pelan hingga kedua orang itu tidak sadar bahwa ada penyusup tak terlihat. Saat Pangeran Albert berjalan semakin dekat ke arah kedua orang itu, ia melihat satu bongkahan kristal besar tepat di depan mereka. Cukup besar hingga berukuran seperti peti mati. Rasa keingintahuan anak itu memuncak ketika melihat wajah kedua orang di hadapannya tampak begitu serius.

"Hik," anak itu tiba-tiba cegukan ketika melihat benda di hadapannya. Hal itu membuat kedua orang tadi waspada. Keduanya melihat sekeliling karena merasa mendengar sesuatu. Untungnya setelah tidak melihat apapun, mereka tidak mengacuhkan suara tadi.

Pangeran Albert mengelus dada kemudian bernapas lega. Ia tidak menyangka akan mengeluarkan reaksi seperti itu. Apapun yang ia lihat, tentunya hal itu jelas rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun. "Kutarik kembali, ini jauh lebih gila dari sebelumnya," ucap anak itu dalam hati.

"Kita harus segera melaksanakan ritualnya," ucap Sang Raja seraya menatap bongkahan kristal di hadapannya.

"Kita masih belum bisa melakukan ritualnya," balas wanita yang berdiri tepat di samping Raja.

Raja itu kemudian menatap wanita setinggi bahunya dengan tajam, "Tidak ada waktu lagi, tubuh wanita ini akan segera membusuk."

Ya. Bongkahan kristal yang dilihat oleh Pangeran Albert menyimpan seorang wanita di dalamnya. Sedihnya, rupa wanita itu tidak lagi dapat dikenali. Tubuhnya sangat kurus, kurus sekali hingga tersisa tulang. Itu pun, kulitnya sudah berkerut dan menghitam. Satu-satunya benda yang melapisi tubuh itu adalah one piece putih selutut yang bahannya tampak sangat tipis.

"Kenapa juga tubuhnya lebih cepat membusuk?" Sang Raja tampak begitu gusar. Ada ekspresi terdesak dan panik yang ia tampilkan. Suatu ekspresi langka yang dikeluarkan oleh Raja Ririas.

"Kita tidak bisa memprediksi ini akan terjadi."

"KALAU BEGITU LAKUKAN SESUATU!" Bentak Sang Raja kepada wanita berambut kriting itu.

Anna Rubble mengerutkan keningnnya hingga seluruh kerutan wajahnya terlihat semakin jelas. Seluruh tubuh yang diselubungi jubah merah itu tidak bisa menutupi kegelisahannya. Desakan yang ditujukan kepada dirinya membuat ia berada di posisi sulit. Pangeran Albert yang menyaksikan kejadian itu berusaha mengikuti pembicaraan yang sama sekali tidak ia pahami.

"Meski kita menggunakan tumbal yang baru sekalipun, hal itu juga tidak akan bertahan lama. Ia masih sangat muda," jelas Anna Rubble mencoba menenangkan Yang Mulia.

"Apa maksudmu? Bukannya kita membiarkan anak itu hidup untuk menjadikannya Pusaka Sihir," tangan Raja kemudian menyentuh bongkahan kristal di hadapannya, "Jika tubuhnya cepat membusuk, kita carikan pengganti lain. Kau buat saja cerita karangan untuk mendapatkan Pusaka Sihir yang baru kalau anak itu jadi produk gagal."

"Yang Mulia …," Anna Rubble tidak bisa berkata-kata.

"Anak itu hanyalah salah satu tumbal. Kita harus segera melakukannya!"

Ah, Pangeran Albert mulai menemukan benang merahnya. Benang merah yang menghubungkan segala cerita. Setiap kejadian akhirnya mulai jelas. Segalanya adalah kebohongan. Ririas yang tentram, bohong. Ririas yang ramah, bohong. Cerita mengenai Pusaka Sihir, bohong. Pujian yang disampaikan oleh Raja, juga bohong. Bahkan Pangeran Albert yang terpilih sebagai Pusaka Sihir juga bohong. Yang benar adalah Ririas hanya memakai topeng. Ririas menyiksa setiap orang yang dianggap mengusik ketentramannya. Ririas bukan dilindungi oleh Pusaka Sihir, tetapi menggunakan tumbal untuk mengaktifkan sihir skala besar. Sang Raja tidak pernah memuji Pangeran Albert, melainkan merasa lega karena rencananya berjalan lancar. Pusaka Sihir bukan posisi yang terhormat. Hal itu tidak lebih dari cerita bohong yang digunakan agar seseorang menyerahkan nyawanya dengan suka rela. Dan kali ini, Pangeran Albert dipilih untuk berada di posisi itu.

"Siapapun, beritahu aku kalau semua ini tidak benar."

Perlahan pangeran muda itu memejamkan matanya. Menutup telinga dengan kedua tangannya. Tidak lagi, tidak ada satu pun kata yang ingin ia dengar. Jika ia harus mendengarkan kebenaran yang lebih menyakitkan lagi, rasanya ia tak akan kuat. Siapa pun, tolonglah pangeran muda itu. Ia tengah kesakitan. Rasanya ada seseorang yang meremas jantungnya. Rasanya ada seseorang yang mencekik lehernya. Ia ingin berteriak. Berteriak sangat kencang. Teriakan seperti ingin merusak tenggorokannya. Teriakan yang membuat paru-parunya merasa sesak. Sayangnya, ia tahu. Bagaimanapun kerasnya teriakan yang ia keluarkan, teriakan itu tidak akan mencapai siapapun. Sebab, semua orang menutup telinganya. Menutup matanya, Ririas menutup hatinya.

Duduk. Pangeran itu tengah terduduk lemas seorang diri. Setelah beberapa saat, kedua orang tadi akhirnya meninggalkan ruangan. Tetapi Pangeran Albert masih diam. Matanya menatap kosong. Lama sekali ia tidak bergerak dari tempat itu. Sudah hampir sejam setelah Sang Raja dan Anna Rubble pergi. Pakaian tipis itu tidak bisa lagi melindungi Pangeran Albert. Kulitnya semakin dingin hampir seperti es. Meski begitu ia tidak berusaha menghangatkan diri. Jangankan menghangatkan diri, meninggalkan tempat itu saja tidak ia lakukan. Ada semacam kekosongan yang tak berujung di dalam jiwanya. Pangeran Albert merasa benar-benar dikhianati.

"Puk … puk …," akhirnya anak itu mulai menunjukkan pergerakan. Tangannya dipukul-pukulkan ke kristal yang ada di depan wajahnya.

"PUK … PUK …," pukulan itu semakin keras.

"PUKK ... PUKK …," pukulan yang semakin keras dan cepat sampai tangan Pangeran Albert tergores.

"Mengapa …," anak itu mengumpulkan segenap tenaganya untuk berdiri. Ia mengepalkan tangannya erat. Sangat erat sampai bergetar.

"MENGAPA!" Teriakan itu menggema ke seluruh ruangan.

Pangeran Albert memukul kristal di hadapannya sangat keras. Punggung tangan kanannya sampai berlumuran darah. Darah itu mengalir deras hingga menetes di lantai. Emosi sedih, marah, dan kecewa bercampur aduk. Ia sangat ingin menghancurkan kristal itu saat ini. Hatinya diselimuti kabut hitam.

"KENAPA?"

"KENAPA KAU ADA DI SANA?"

"SIAPA KAU?"

"MENGAPA RAJA MELAKUKAN INI?'

"MENGAPA RAJA MEMPERLAKUKANKU SEPERTI INI?"

Ia sadar akan hal yang sebenarnya selalu ingin ia tanyakan. Ia sadar bahwa selalu ada keraguan, terutama tentang perlakuan Sang Raja terhadap dirinya. Menghindar, berpura-pura, membuat pembenaran, ia berusaha untuk menutup diri. Maka dari itu, ia tidak pernah menyebutnya dengan keras. Pertanyaan yang selalu tersimpan di dalam hati.

"Mengapa aku dilahirkan?"

Tak kuasa menahan diri, Pangeran Albert menjatuhkan tubuhnya hingga bersujud. Ia memukul lantai kaca berulang-ulang. Saat itu ia menangis. Air matanya mengalir deras, ia berteriak sangat kencang, ia seolah menumpahkan segala kesedihannya ke dalam momen itu. Ia menangis seolah ia akan menghabiskan air matanya. Ia menangis seolah kesedihan hari itu akan menjadi kesedihan terakhirnya.

Selepas dari ruangan itu, Pangeran Albert melangkah pelan keluar dari katedral. Ia melihat langit yang tidak lagi sepenuhnya gelap. Matahari mulai terbit dan suara kicauan burung juga mulai terdengar. Ia berjalan kembali ke kamarnya, tetapi di balik bayangan sepasang mata lapiz lazuli mengawasi anak itu.

Pada hari itu Pangeran Albert memutuskan untuk membuang "Edler" dari namanya.

~