"HENTIKAN … TIDAK … TIDAK … HAHAHAHAHAHHAHAH … MAAFKAN SAYA … MAAF … ARGHHHHHHHHHHHHH … HENTIKAN … HENTIKAN … HENTIKAN … TIDAK … TIDAK … SAYA MOHON MAAF … LINDUNGI RIRIAS … HIDUP RIRIAS … HIDUP RIRIAS … KORBANKAN DIRIMU … HIDUP RIRIAS … HENTIKAN … TIDAK … TIDAK … HAHAHAHAHAHHAHAH … MAAFKAN SAYA … MAAF … ARGHHHHHHHHHHHHH … HENTIKAN … HENTIKAN … HENTIKAN … TIDAK … TIDAK … SAYA MOHON MAAF … LINDUNGI RIRIAS … HIDUP RIRIAS … HIDUP RIRIAS … KORBANKAN DIRIMU … KORBANKAN DIRIMU … KORBANKAN DIRIMU …."
"… BUNUH DIRIMU."
"ARGGHHH …," pangeran itu memekik dan tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Ia lalu tersadar bahwa dirinya sudah berada di ruangannya. Kamar tidur yang luas dengan kasur yang empuk. Ia menyeka keringat dingin di keningnya. Ia menata diri dan bernapas secara teratur. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan memastikan segala hal di sekeliling. Rupanya hari sudah gelap.
Pangeran itu menyingkirkan selimut di atasnya kemudian berjalan perlahan ke dekat jendela dan membukanya lebar. Jendela setinggi empat meter itu membiarkan angin malam menghempaskan tirainya yang berwarna merah. Pangeran itu meletakkan tangannya di atas bingkai jendela berbahan kayu. Sentuhannya dibiarkan lembut dan penuh kehati-hatian. Pangeran Albert kemudian menatap langit gelap yang bertabur bintang. Sepertinya ia ditemani bulan purnama di waktu dini hari.
"Haaaah …," helaan itu penuh makna. Ada rasa gundah gulana dan cemas tak berujung di baliknya. Pangeran Albert ingin percaya bahwa apa yang telah ia lihat merupakan mimpi buruk. Tetapi hatinya tahu betul bahwa tidak demikian. Tidak mungkin suara teriakan itu hanyalah khayalan. Terasa begitu nyata dan memekakkan. Tak ada pembenaran dalam bentuk apapun yang dapat melindungi fakta itu. Kejadian hari itu menyisakan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang tidak bisa ia ajukan kepada sembarang orang. Pertanyaan yang mungkin saja kebenarannya tidak akan terungkap dengan cara yang aman. Ririas yang ramah. Ririas yang damai. Ririas yang tentram. Duhai negeri yang indah nan rupawan. Apakah wajah di balik topengmu akhirnya terkuak. Atau kau menyimpan rahasiamu untuk segelintir orang yang tahu. Pangeran Albert tidak tahu ingin mempercayai apa dan bagaimana.
Setelah lama termenung ditemani cahaya rembulan, pangeran itu memutuskan untuk berjalan menuruni balkon. Tepat, berjalan di udara dan turun dari lantai dua bangunan itu. Ia membiarkan dirinya mengenakan pakaian tipis dan tanpa alas kaki. Perlahan ia melangkah dan merasakan dinginnya benda yang ia pijak, rerumputan dan tanah lembab tepatnya. Di waktu yang gelap itu tidak tampak seorang pun prajurit yang berkeliaran di daerah halaman istana. Mungkin karena area itu memang sangat jarang disinggahi oleh orang-orang. Pangeran Albert juga merasa nyaman seperti itu, ia tak perlu menyia-nyiakan energi untuk mengelabui pengelihatan orang-orang.
Anak itu berjalan cukup jauh hingga ia melihat seekor burung yang tidak biasa. Seekor burung lapwing yang terbang menuju sebuah bangunan. Pangeran Albert mengikutinya hingga ia berada di depan sebuah katedral, bangunan suci tempat keluarga kerajaan melakukan ritual. Sesampainya di sana ia kehilangan jejak burung itu. Tetapi karena sudah terlanjur berdiri di depan katedral itu, ia memutuskan untuk masuk. Lagi pula kegelisahan dan kecemasannya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Ia juga tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin berdoa kepada Tuhan akan membuat hatinya lebih tentram.
Dinding katedral itu terbuat dari bebatuan kasar. Pintunya selebar empat meter dengan tinggi yang menjulang sampai sepuluh meter. Ketika membukanya, terdengar derit pintu yang cukup keras tetapi tidak cukup keras hingga menarik perhatian orang-orang yang berada di istana. Saat pangeran muda itu memasuki ruangan, ia melihat ke atas langit-langit dan terdapat chandelier yang terbuat dari kristal. Ruangan itu dipenuhi oleh kursi panjang yang berderet rapi di sisi kanan-kirinya dan sebuah altar di bagian depan. Kemudian terdapat jendela kaca patri yang berbentuk simbol kerajaan hampir di seluruh sisi ruangan. Simbol kerajaan menampakkan dua tangan yang menengadah dan teratai putih di atasnya. Simbol itu menunjukkan sesuatu yang menawan dan sebagai bentuk harapan Ririas. Tak peduli seburuk apapun yang terjadi dan bagaimanapun keadaannya, Ririas akan tetap berdiri dengan indah dan menawan.
Memasuki katedral itu bukan kunjungan pertama bagi Pangeran Albert. Malahan beberapa kali ia memasukinya untuk mengikuti ritual penting. Namun, memang sangat jarang dibuka karena hanya hari-hari tertentu saja tempat suci itu digunakan. Setelah menutup pintu, Pangeran Albert memutuskan duduk di salah satu kursi panjang di sisi kiri ruangan. Kursi itu terletak di urutan kedua dari pintu masuk. Ia duduk diam dan kembali termenung. Meski begitu, berbeda ketika dia berada di kamarnya, kali ini ia merasa lebih tenang. Pangeran Albert memejamkan mata beberapa saat. Ia mencoba membiarkan dirinya larut dalam keheningan dan kesendirian. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba terdengar suara langkah dari arah luar.
"Tap ... tap ...," derap langkah itu semakin dekat kemudian membuka pintu ruangan lebar-lebar. Pangeran Albert terperanjat dan seketika menyembunyikan dirinya di balik kursi tempat ia duduk. Di sana terlihat dua orang yang memasuki ruangan. Beberapa saat kemudian pupil mata pangeran itu membesar. Ia melihat dua orang yang tidak biasa.
"Apa yang dilakukan Yang Mulia Raja dan Anna Rubble di sini?"
Kedua orang itu berjalan cepat menuju altar. Di sana Anna Rubble tampak merapalkan sebuah mantra yang membuat Altar itu bergerak, di bawahnya terdapat pintu menuju suatu ruangan. Kedua orang itu menghilang setelah memasuki ruangan tersebut. Sementara itu, Pangeran Albert yang menyaksikan kejadian itu masih kebingungan. Namun, ia ingin mencoba memastikan apa yang baru saja ia lihat.
"Kalau tidak salah seperti ini," setelah memastikan keadaan aman dan tidak ada siapa-siapa lagi, si pangeran berjalan ke altar tersebut kemudian mencoba merapalkan mantra untuk membukanya.
Beberapa saat kemudian, altar itu berhasil bergeser dan ia masuk ke dalam ruang rahasia. Pangeran Albert segera menghilang dari pandangan mata sesaat setelah ia menuruni tangga putar menuju suatu tempat. Tangga berbahan marble itu memiliki kesan sangat mahal. Ruangan yang akan ia tuju sepertinya bukan ruangan biasa. Tetapi pangeran itu merasa tidak akan lebih terkejut lagi dengan apa yang akan ia temukan.
Terang sekali, bukan lampu melainkan pantulan cahaya kristal yang membuat ruangan itu menyilaukan. Ruangan yang sangat besar bahkan lebih besar dari katedral yang berada di atasnya. Hal yang membuat Pangeran Albert terkesima adalah seluruh dinding dilapisi kristal. Ia tidak pernah sekalipun berpikir bahwa terdapat ruang rahasia yang begitu indah, lebih indah dari istana itu sendri. Pangeran itu berjalan perlahan di atas lantai, bukan karena mengendap-endap melainkan berhati-hati. Lantai kaca transparan itu membuat orang yang pertama kali menginjaknya merasa khawatir. Di bawahnya terdapat air jernih tempat ikan hias berenang.
Pangeran Albert menghentikan kekagumannya kemudian melanjutkan perjalanan. Ia belum melihat batang hidung kedua orang tadi. Sayangnya, ruangan itu sangat luas dan tidak diketahui apakah masih ada ruang rahasia lainnya. Anak itu hanya berjalan dengan harapan bisa menemukan Raja dan Anna Rubble.
"Di sana …," Pangeran Albert berlari ketika melihat sebuah pintu yang sekilas tidak tampak karena menyatu dengan dinding. Pintu itu sepertinya menghasilkan ilusi optik.
~