Hari terus berlanjut, malam perayaan yang begitu meriah akhirnya telah berakhir. Pangeran Albert terbangun di kamarnya dan melihat cahaya matahari menembus jendela. Ada perasaan lelah, ia bahkan menguap berulang kali. Tetapi Pangeran Albert segera menanggalkan piamanya dan mengenakan jubah. Pagi-pagi sekali ia ingin segera bertemu Iriel karena tidak sempat menyapa wanita itu saat pesta semalam.
"Pangeran Albert, Anda hendak kemana?" Pelayan itu panik karena baru saja ia selesai menyiapkan sarapan, Pangeran Albert sudah ingin keluar.
Pangeran muda itu kemudian mengambil roti yang diletakkan di atas nampan dan berlari meninggalkan kamarnya. Ia mengambil sapu terbang yang diletakkan di sebuah lemari khusus dan beranjak pergi. Baru saja matahari tampak dari ufuk timur, tapi pangeran itu bergegas seolah ia akan ketinggalan sesuatu. Pangeran Albert terbang dan menikmati udara pagi yang segar seraya memakan roti tadi. Jubah yang ia kenakan beterbangan hingga memperlihatkan baju tipis yang ia kenakan. Untungnya Ririas pagi itu tidak begitu dingin.
Beberapa saat setelah meninggalkan istana, Pangeran Albert merendahkan sapunya kemudian memutuskan berjalan kaki sebelum memasuki hutan. Di sana ia melewati jalan setapak yang juga dilalui oleh beberapa orang. Tidak, sepertinya tidak sekadar dilalui. Ada kerumunan di sana. Pangeran Albert berjalan menghampiri kerumunan itu. Ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Di sana tampak segerombolan pria dewasa yang mencoba melerai dua orang yang tengah berkelahi. Pemandangan yang sangat tidak biasa di Ririas.
"KURANG AJAR!" Bentak pria itu lalu melayangkan tinjunya. Ia tampaknya mabuk berat karena wajah dan matanya memerah.
Orang-orang masih berusaha melerai kedua orang tersebut sebelum prajurit datang mengamankan. Mereka tampaknya bertengkar karena salah seorang di antaranya menganggap dirinya telah ditipu. Kedua orang itu sepertinya habis minum-minum di bar dan berjudi sebelumnya. Mungkin hal tersebut yang memicu pertengkaran.
"Mohon maaf atas keributannya," salah seorang prajurit yang mengamankan kedua pria tadi menunduk dan memohon maaf kepada Pangeran Albert yang kebetulan lewat. Sepertinya prajurit tersebut mengenali Pangeran Albert saat ia melihat si pangeran di antara kerumunan. Seusai kejadian itu, Pangeran Albert melanjutkan perjalanannya. Tanpa menunda-nunda lagi ia segera ke rumah Iriel. Sayangnya, setiba di sana masternya tidak ada.
"Mungkin aku akan bertemu di akademi," pikirnya kemudian kembali untuk bersiap-siap ke akademi sihir. Pada akhirnya Pangeran Albert menghabiskan waktu paginya dengan menemui hal-hal yang tidak ia harapkan. Entah kejadian itu adalah suatu pertanda atau suatu hal yang tidak perlu dipikirkan.
Lewat tengah hari, Pangeran Albert telah berkeliling mencari Iriel dan tidak menemukan sosok wanita itu. Padahal sebentar lagi dia harus memasuki kelas khusus untuk murid upper class. Pemuda itu mengurungkan niat untuk mencari masternya kemudian fokus pada kelas selanjutnya.
"Salam Pangeran Albert," kata seorang murid perempuan yang seusia dengan pangeran itu. Ia menyapa anak itu saat kebetulan melewati koridor. Hal ini bukan pertama kalinya, sudah sejak tadi pagi beberapa orang menyapa Pangeran Albert ketika tidak sengaja berpapasan.
Beberapa hal telah berubah sejak Pangeran Albert berhasil menjadi Pusaka Sihir. Tampaknya orang-orang di sekitarnya mulai memandang pangeran itu dengan hormat. Sebelumnya, mereka pura-pura tidak menyadari kehadiran anak itu bahkan menghindar. Melihat perubahan tersebut ada perasaan senang dalam diri Pangeran Albert sekaligus juga sedih. Entah mengapa ia sedih.
"Selamat datang," sambut salah seorang senior sembari tersenyum. Kelas siang akan segera dimulai.
Pada hari itu, orang yang membawakan materi di kelas dianggap cukup istimewa. Ia merupakan penyihir senior dan Ketua Bidang Pertahanan. Ia adalah pria botak yang memiliki bekas luka bakar di wajahnya. Ia merupakan pria paruh baya yang memiliki garis wajah tegas. Matanya bulat dan tampak membelalak. Sekilas orang-orang akan merasa takut karena auranya yang mengintimidasi.
Suasana kelas hari itu berbeda. Tiba-tiba ada rasa dingin yang menusuk meski siang itu sangat cerah. Rasa dingin yang dimaksud seolah merasuk perlahan-lahan mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah ia memberikan kesan bahwa sesuatu akan terjadi. Setelah semua peserta kelas berkumpul, pintu ruangan ditutup dan semua orang dibiarkan dalam kegelapan. Tirai jendela juga ditutup rapat hingga hanya menyisakan cahaya yang tembus melalui ventilasi. Beberapa waktu kemudian kelas akhirnya dimulai. Podium di depan kelas tampak bersinar dan menampilkan sosok yang akan membawakan materi hari itu.
"Apa kalian tahu siapa yang harus kita lindungi?" Tanya pria yang tengah berdiri di podium. Sepertinya pertanyaan itu diajukan untuk membuka kelas. Suaranya sangat berat dan dalam. Hal itu membuatnya terdengar sangat tegas dan perkasa.
"Apakah kita harus melindungi diri kita? Orang tua? Anak? Keluarga? Kekasih?" Pria itu diam sejenak dan membuat orang-orang dalam keheningan, "Tidak, bukan itu semua," imbuhnya.
"RIRIAS. RIRIAS YANG HARUS KITA LINDUNGI!"
Suara pria itu bergema di dalam ruangan. Rasanya bulu kuduk setiap orang di dalam ruangan itu tiba-tiba merinding. Mereka sama sekali tidak dapat berpaling dari pria itu termasuk Pangeran Albert yang saat ini duduk di bangku paling belakang. Teriakan pria itu menjadi shock therapy yang membuat semua orang terfokus hanya padanya. Ia seolah-olah berkata, "Perhatikan aku, dan hanya aku."
"KALIAN HARUS MENGORBANKAN APAPUN UNTUK MELINDUNGI RIRIAS!" Air liur pria itu sampai muncrat ke mana-mana karena ia berteriak sangat kencang.
Pria itu kemudian berteriak lagi hingga urat lehernya terlihat, "BAIK SAHABAT, KELUARGA, ORANG TUA, BAHKAN DIRIMU SENDIRI HARUS DIKORBANKAN DEMI MELINDUNGI RIRIAS!" Tegasnya sembari mengangkat tangan dan mengepalkannya erat.
Selama satu jam murid-murid itu hanya mendengarkan bagaimana Ririas harus dilindungi dan bagaimana menjaga ketentraman di negeri itu. Orang-orang dalam ruangan dibuat bersorak, "HIDUP RIRIAS! HIDUP RIRIAS! HIDUP RIRIAS! ...." Seolah-olah mereka semua telah dicuci otak.
Pelajaran yang Pangeran Albert terima sangat berbeda dari biasanya. Bahkan ia tidak belajar mengenai sihir sama sekali. Sepertinya, semakin tinggi level penyihir maka tanggung jawab untuk berkontribusi pada Ririas semakin besar. Pelajaran sihir bukan lagi tentang bagaimana melakukan melainkan bagaimana memanfaatkan. Dan hal itu berlaku kepada semuanya tanpa terkecuali.
Pangeran Albert jalan menunduk. Langkahnya goyah tidak seperti biasanya. Saat ia hendak keluar pintu ia tidak sengaja menendang sesuatu di depan pintu. Terdapat sebuah lencana yang tergeletak di lantai. Lencana itu menunjukkan kepemilikan petinggi akademi. Pangeran Albert melihat nama jabatan di lencana itu. Ia menarik kesimpulan bahwa lencana itu milik orang yang mengajar di kelasnya beberapa saat lalu.
Meski napas pangeran muda itu sangat pelan ketika baru keluar ruangan, kini ia terengah-engah. Rupanya ia berlari mencari si Ketua Bidang Petahanan untuk mengembalikan lencana itu. Di ujung koridor ia menemukan pria itu berbelok. Pria itu memasuki sebuah ruangan dan membuka portal sihir[1]. Pangeran Albert hendak memanggil pria itu tetapi tiba-tiba sosoknya menghilang saat memasuki portal.
Pangeran Albert menatap lencana itu lekat-lekat. Ia kemudian menggenggamnya erat. Ia memutuskan untuk mengantar lencana itu dengan membuka portal. "Lencana ini pasti penting," pikirnya.
~
[1] Portal sihir = sebuah portal yang menghubungkan antara satu tempat ke tempat lainnya yang memiliki jarak yang cukup jauh. Portal ini hanya digunakan oleh para petinggi dan orang-orang penting lainnya.