Pernah suatu hari ketika Pangeran Albert berusia 9 tahun ia mengikuti pesta ulang tahun Pangeran Mahkota di istana. Saat itu istana begitu sibuk mempersiapkan acaranya. Hall di desain sedemikian rupa untuk memeriahkan acara tersebut. Bagaimana tidak, saat itu merupakan coming of age dari penerus Kerajaan Ririas. Setiap pelayan dan pengawal istana yang terlibat begitu semangat dalam mempersiapkan acara tersebut. Sudah sejak dua belas tahun terakhir istana tidak di buka untuk umum. Saat itu baik penduduk biasa dipersilakan untuk menghadiri acara ulang tahun Pangeran Mahkota.
Pangeran Albert tidak mau ketinggalan, ia mempersiapkan pakaian terbaiknya hari itu. Setelan jas berwaran biru malam dengan celana panjang putih pertamanya dalam acara formal. Kemudian ia mengenakan sepatu hitam berbahan kulit yang mengilap. Ia sengaja mengenakan pakaian yang selaras dengan malam hari, waktu perayaan ulang tahun Pangeran Mahkota. Lagi pula biru malam merupakan warna yang paling ia senangi. Sama seperti malam yang sunyi dengan bintang bertebaran, Pangeran Albert merasa bahwa hidupnya di istana serupa dengan itu. Berkelap kelip tetapi dingin dan sepi.
Para bangsawan tampak mengenakan setelan dan blazer terbaiknya. Gaun yang dihiasi pernak-pernik yang mengilap akibat terkena pantulan cahaya lampu, indah memukau. Hall yang dihiasi berbagai macam bunga dengan aroma semerbak yang membuat orang-orang bergairah. Taman istana yang tetata rapi dan di buka untuk para pengunjung yang menghadiri perayaan. Malam itu sungguh sangat ramai. Sungguh sangat bising. Sungguh sangat sepi. Sepi bagi pangeran yang berada di sudut ruangan berdiri sembari memegang segelas jus jeruk. Pangeran Albert hanya menatap dari kejauhan.
Orang-orang berbisik ketika melihat Pangeran Albert seorang diri. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan pemuda berambut pirang itu. Beberapa orang yang mengenalinya menjawab, "Dialah Pangeran Albert."
"Keturunan dari seorang prostitusi,"
"Keturunan dari seorang pelayan,"
"Keturunan dari wanita biasa yang tidak dikenal,"
"Keturunan dari penyihir rendahan,"
Begitulah orang-orang mendeskripsikan ibu Pangeran Albert. Ibu yang Pangeran Albert sendiri tidak kenali. Tak ada yang tahu jelas seperti apa ibunya dan bagaimana latar belakangnya. Pangeran itu hanya tumbuh begitu saja di istana tanpa mengetahui sedikit pun bagaimana ia bisa terlahir ke dunia. Dan orang-orang yang mengetahui itu, memandangnya rendah dan menganggapnya sebagai kemalangan.
Rasa-rasanya ingin lari. Rasa-rasanya pesta yang membahagiakan itu tidak membahagiakan sama sekali. Pangeran Albert ingin menutup telinga, mata, menutup seluruh panca indranya agar tak menerima rasa sakit apapun. Setiap perkataan, setiap perilaku, setiap tatapan, semuanya seperti benda tajam yang menghunjam. Dengan tubuh rapuhnya, ia berusaha menahan semua itu. Pangeran Albert tidak pernah merasa kuat. Tidak sekalipun ia merasa mampu untuk menahan itu semua. Sederhananya, ia selalu ingin berlari.Tetapi, sekalipun ia lari, ia hanya akan beberlari di koridor gelap yang tak berujung. Jangankan merasa kuat, ia justru menelan semua rasa sakit itu dan berharap hari esok segera tiba. Esok mungkin akan menjadi hari yang lebih baik.
Di Negeri Ririas yang penuh keberkahan, satu kemalangan merupakan pertanda kesialan. Dan hal itu harusnya segera dilenyapkan. Adanya setitik kemalangan dapat membuat orang-orang di sana merasa khawatir. Mereka sama sekali tidak ingin kententraman negerinya diusik. Anehnya, rasa aman yang semu dan senyum ramah yang palsu itu membuat orang-orang merasa tenang. Katanya, hal itu merupakan pertanda tidak terjadi apa-apa di dalam negerinya. Demi melindungi hal itu, mereka siap untuk berpaling dari kenyataan dan terus berlnjut hidup di dalam mimpi yang panjang.
Kesenjangan kehidupan istana dan kehidupan penduduk Ririas semakin hari terlihat jelas. Pangeran Albert merasakan adanya ketidaktulusan dalam setiap sikap yang orang tunjukkan. Namun, hal itu tidak begitu ia pedulikan pada awalnya. Malahan, ia menanggapinya sebagai hal yang biasa.
Manusia memang seperti itu. Mereka tidak ingin kehilangan apa yang menjadi milikinya. Mereka adalah makhluk egois yang rela melakukan apapun untuk melindungi hal yang penting baginya. Apapun, sekalipun harus melukai orang lain.
Malam yang begitu panjang untuk sebuah perayaan. Pangeran Albert berjalan di taman istana yang kini tidak lagi ramai oleh pengunjung. Beberapa pengunjung mungkin sudah pulang karena malam semakin larut, atau mereka sedang menikmati musik dan tarian di ballroom.
Pangeran Albert berjalan melewati rerumputan yang terasa lembut ketika dipijak. Ia kemudian memegangi mawar yang sudah mekar tepat pada waktu perayaan ulang tahun Pangeran Mahkota. Aroma mawar selalu sama, menyengat bagi pangeran itu. Bukan, memuakkan lebih tepatnya. Mawar merah adalah bunga yang paling disenangi oleh Pangeran Mahkota. Dan pada akhirnya, perlahan Pangeran Albert melepas bunga itu kemudian menikmati udara malam yang dingin dan menusuk. Rasa dingin dari malam hari lebih menyenangkan dari pada tatapan dingin orang-orang. Malam justru lebih menghibur ketimbang yang lainnya.
Saat alunan musik masih terus bersenandung dan keriuhan orang-orang yang menikmati pesta terus berlanjut, Pangeran Albert melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Sosok wanita usia pertengahan 20an dengan rambut hitam lurus sebatas pinggang. Wanita itu tidak mengenakan gaun seperti yang lainnya. Ia hanya memakai jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Tetapi kulit seputih salju, bibir semerah ceri, mata biru lapiz lazuli dengan bulu mata yang lentik membuatnya tampak lebih indah dibanding gaun mana pun.
"Selamat malam Pangeran Albert," ucapnya dengan senyum hangat. Lebih hangat dan lebih tulus dibanding seluruh senyuman yang pernah ditujukan kepada Pangeran Albert selama ini.
Pangeran Albert tidak membalas sapaan itu. Ia hanya terpaku melihat wanita yang berjalan mendekat ke arahnya. Wanita itu kemudian menekuk lututnya berusaha menyamakan tinggi badannya dengan dirinya. Ia menggunakan sihir. Kemudian dari telapak tangannya sebuah kembang api berwarna warni muncul. Pangeran Albert tidak mampu berpaling karena rasa kagum. Benda yang ia lihat, sihir yang ia lihat sangat memukau.
"Khusus untuk Anda," ucap wanita itu masih dengan senyum hangat. "Hadiah untuk Yang Mulia Pangeran," imbuhnya.
Perasaan menggebu-gebu menyelubungi seluruh tubuh pangeran muda itu. Letupan kecil dari kembang api yang ia lihat sepertinya turut merasukinya. Adanya perasaan menemukan sebuah jati diri. Pangeran Albert berpikir, "Ah ini … hal yang selama ini kubutuhkan."
Pertemuan pada malam itu merupakan pertemuan pertama Pangeran Albert dengan Iriel Ivrit. Pertemuan pada malam itu juga mengubah banyak hal dari hidup Pangeran Albert. Pertemuan pada malam itu pula menjadi awal dari sebuah kisah sebuah perjalanan. Sekaligus, awal dari sebuah tragedi.
"Aku …," Pangeran Albert mengumpulkan keberaniannya kemudian mengepalkan tangannya erat, "… ajari aku sihir," pintanya.
~