Aroma bunga, udara segar, jalan setapak yang terbuat dari ubin, pohon rindang yang menyejukkan, sejauh mata memandang hanya ada kehangatan dan kenyamanan. Sebuah negeri yang tidak mengenal badai, tak mengenal kemarau, tak mengenal banjir, negeri yang begitu aman dan tentram. Air sungai yang mengalir lembut, suara air terjun yang menenangkan hati. Sebuah negeri impian yang terkenal dengan keindahannya. Sebuah negeri yang menjadikan setiap penduduknya merasa beruntung karena terlahir di sana. Itulah Ririas, negeri para penyihir.
Meskipun disebut sebagai negeri para penyihir, bukan berarti seluruh penduduk Ririas merupakan penyihir. Bahkan hanya sekitar 40%, itu pun 30% di antaranya merupakan penyihir biasa yang kebanyakan berada di level pertama dan kedua. Penyihir level tiga biasanya bekerja di istana atau mengajar di akademi sihir. Hal yang membuat Ririas menjadi negeri para penyihir adalah keamanan dari negeri itu. Satu negeri itu dilindungi oleh pembatas yang berasal dari pusaka sihir.
Ketika orang luar memasuki Ririas mereka akan diperiksa oleh para penjaga gerbang. Namun, para pengembara tak pernah merasa khawatir, sebab mereka disambut dengan senyum hangat. Para penjaga gerbang juga tak pernah merasa khawatir, sebab Ririas dilindungi oleh lingkaran sihir yang mencegah orang yang berniat jahat atau memiliki motif tertentu yang membahayakan Ririas. Setiap orang yang terlahir di sana tidak pernah merasa khawatir oleh ancaman dari luar. Begitulah negeri itu disebut negeri yang paling aman.
Lima tahun lalu, suatu pagi yang cerah seorang pangeran muda berkeliling di sebuah taman yang jauh dari pemukiman. Taman yang begitu indah karena terdapat beragam jenis bunga. Tulip merah, oranye, hijau, kuning, ungu, merah muda, begitulah taman tersebut dipenuhi beragam warna. Sang pangeran muda menyelinap dari istana dan diam-diam ke taman itu. Ia hendak merangkai sebuah karangan bunga untuk Sang Raja. Dengan wajah berseri-seri, ia menyambut kehangatan alam dan mulai merangkai.
Ah, betapa indahnya hari itu. Hari ketika merangkai bunga untuk Sang Raja menjadi sebuah tujuan. Dengan harapan dibalas senyum, pangeran muda rela mengotori tangan kecilnya yang lembut. Dengan senyum merekah, semangatnya tidak pernah luntur. Sekalipun seluruh dunia tidak mengharapkan kehadirannya, ia tidak menyerah untuk mendapat kasih Sang Raja. Betapa malangnya nasib pangeran muda itu, ketika seluruh penduduk Ririas mendapatkan cinta kecuali dirinya. Semoga saja ia mendapatkan keburuntungan.
"Selesai!" Ucap pangeran muda itu sambil mengangkat tinggi-tinggi hasil karyanya.
Seusainya, ia beranjak dan segera kembali ke istana. Ia berlari melewati padang rumput yang setinggi pinggangnya sambil membawa hasil karyanya. Karangan bunga berbentuk mahkota.
Pangeran muda menelusuri jalan setapak dan bertemu penduduk Ririas. Tak ada satu pun penduduk yang curiga bahwa anak yang berpepasan dengannya merupakan pangeran. Mereka hanya menyapa dengan senyum ramah sama seperti penduduk lain. Maklum, kehadirannya di dunia ini memang tidak diketahui banyak oleh publik saat itu. Makanya tak satu pun orang yang menyadari bahwa permata yang berlarian itu adalah harta kerajaan. Ya, harta kerajaan.
"Pangeran Albert!" Pelayan yang mengurus pangeran muda itu berwajah pucat pasi karena berpikir telah kehilangan pangerannya. Lebih tepatnya, hilang dalam pengawasannya.
Pangeran Albert melewati semak-semak dan memasuki istana melalui celah pagar bagian belakang. Di sana, pelayannya gusar karena telah lama mencari-cari. Sebentar lagi tengah hari, hampir waktunya makan siang. Namun, sebelum itu Pangeran Albert seharusnya mengikuti pelajaran etiket. Guru etiketnya sudah lama menunggu dan merasa kesal.
"Dari mana saja Anda selama ini?" Tanya pelayan itu dengan bibir bergetar.
"Lihat-lihat!" Ucap anak itu seraya memperlihatkan benda yang ia pegang. "Aku akan memberikannya kepada Yang Mulia Raja," sambungnya.
Si pelayan mendengus lalu segera mengantarkan Pangeran Albert bertemu dengan guru etiketnya. Tetapi ketika baru saja ingin pergi, Pangeran Albert melihat Sang Raja berjalan di koridor bersama orang-orang penting lainnya. Rambut sebatas bahu, warna keemasan dengan mata ruby yang menyala. Meski terdapat kerutan wajah di bagian dahi dan di bawah mata, wibawanya sama sekali tidak berkurang. Wibawa? Tidak, justru arogansi. Tatapannya yang tajam membuat orang-orang merasa gentar ketika menghadapinya. Aura yang memancarkan seorang raja, tetapi tidak menggambarkan Negeri Ririas sama sekali. Tak ada senyum.
Pangeran Albert berlari sekuat tenaga untuk menghampiri Sang Raja. Ia memegang karangan bunga itu erat. Meski napasnya terengah-engah, tidak sekalipun senyum Pangeran Albert hilang dari wajahnya. Ia berharap besar.
Sesaat sebelum sampai di hadapan Sang Raja, Pangeran Albert mengatur napas dan memelankan langkah, "Salam kepada Yang Mulia Raja," ucapnya sambil menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormat. Sang Raja hanya menatap diam. Sementara itu, terpancar dari wajah orang-orang di sekelilingnya terdapat rasa enggan.
Pangeran Albert mengulurkan karangan bunga itu, hadiah katanya. Dengan wajah cengengesan, ia merasa bangga dengan hasil karyanya. "Pasti ayah akan senang," pikirnya.
Tanpa berkata apa-apa Sang Raja mengambil karangan bunga itu dari tangan Pangeran Albert. Ia kemudian beranjak pergi dan kembali pada kesibukannya. Pangeran muda itu merasa senang karena menganggap bahwa Sang Raja menerima hadiah pemberiannya. Hanya saja hembusan angin lembut tidak selamanya pertanda baik, tidak selamanya menjadi pertanda hari yang cerah. Saat Pangeran Albert berbalik dan melihat punggung Raja bersama yang lainnya, senyum di wajahnya menghilang. Sang Raja memberikan karangan bunga itu kepada pengawal istana. Karangan bunga itu lalu dibuang begitu saja di antara semak-semak yang berada di samping koridor.
"Mungkin aku belum merangkainya dengan cukup baik," ucap Pangeran Albert dalam hati.
Pangeran Albert berajalan menyusuri koridor untuk kembali mengikuti pelajaran etiketnya. Ia tidak bermuram durja. Ia hanya berjalan, tanpa ekspresi, tanpa sedikit pun rasa yang terpancar melalui hatinya. Begitulah Pangeran muda itu menjalani hari-harinya selama berada di istana.
~