"Hah … hah ...," napas pemuda itu tersengal-sengal. Tanpa ia sadari, saat ini ia telah berada di penginapan. Albert terduduk di atas kasur memperhatikan sekeliling setelah ia tiba-tiba terbangun. Langit tampak cerah, rupanya sudah pagi. Anak itu tidur panjang setelah kehilangan kesadarannya di perbatasan kota.
"Arghh … Sakit," Albert memegang lukanya yang dibalut perban. Anak itu terlihat kesakitan dan kebingungan. Ingatan terakhirnya adalah sosok Fuguel dari belakang.
Albert merasa bahwa ia baru saja bangun dari mimpi yang panjang. Detak jantungnya masih berdegup kencang. Tubuhnya masih lemas dan sulit bergerak. Rasanya tidak ada energi yang mengalir.
"Kau sudah sadar rupanya," pemilik penginapan memasuki kamar. Wanita itu membawa perban dan berbagai macam alat perawatan lainnya. Selama Albert tidak sadarkan diri, wanita itulah yang merwatnya.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" Tanya Albert seraya memegang kepalanya yang merasa pusing.
"Dua hari," balas wanita itu mendekatkan diri lalu duduk di pinggir kasur.
Albert terkejut, "Cukup lama rupanya." Pemuda itu terdiam sesaat kemudian memejamkan mata. Albert mencoba mengumpulkan kesadarannya. "Di mana Fuguel?" Tanya anak itu setelah matanya terbuka.
Wanita itu menjelaskan bahwa saat ini Fuguel sedang keluar. Pria itu mencari obat untuk luka Albert. Meski sudah dirawat, tetapi pengobatannya belum cukup untuk memulihkan tubuhnya. Perwatan sementara ini hanya mengobati luka luarnya saja.
Pemilik penginapan datang untuk merawat luka tersebut. Sembari mengganti perban, ia mengajak Albert berbincang-bincang, "Kau beruntung memiliki ayah seperti itu," ucap wanita itu ramah, Albert terdiam.
Lagi-lagi kesalahpahaman wanita itu tidak diluruskannya.
"Malam itu dia sangat mengkhawatirkanmu, aku sampai terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa," jelas wanita itu kemudian tertawa kecil.
"Khawatir?" Albert bertanya-tanya. Tentu saja, sebab Fuguel yang Albert kenal tidak bisa mengekspresikan kekhawatiran.
"Aku terkejut karena tiba-tiba ia membanting pintu utama dengan keras. Meski wajahnya 'seperti itu' ia mencarimu hingga tubuhnya gemetaran. Kau bisa mendengar dari suaranya bahwa dia panik dan terdesak," jelas wanita itu masih sembari melakukan perawatan.
Albert kembali terdiam. Lebih tepatnya ia tidak tahu harus berkata apa. Hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak ia harapkan. Albert hanya merasakan sesuatu yang panas di dadanya. Rasa sakit.
"Saat ia membawamu pulang lebih mengejutkankan lagi. Di tengah salju yang lebat, dia datang membopong dua orang anak," kata wanita itu. Saat ini ia telah selesai memasang perban pada luka Albert. Ia meletakkan kedua tangannya di atas pangkuannya, "Dia meminta tolong dengan suara lantang untuk segera mengobati lukamu," imbuhnya.
Albert tersenyum kecil kepada wanita pemilik penginapan. Ia lalu berterima kasih dan meminta tolong agar ia dibiarkan sendiri untuk sementara waktu. Tetapi, baru saja ia akan berbaring, Albert tersadar akan sesuatu yang aneh.
"Dua orang?"
Wanita itu hendak pergi tetapi Albert mencegahnya, "Apa kau bilang dia membawa dua orang?" Albert bertanya-tanya.
Wanita itu kemudian menjawab, "Iya. Dia membawa satu lagi gadis muda." Mendengarnya, Albert terkejut.
Pemilik penginapan akhirnya keluar. Beberapa saat setelah kepergiannya, pintu kembali terbuka. "Kau sudah bangun rupanya," ucap gadis beriris ungu yang saat ini telah muncul di hadapan Albert.
"Sial," satu kata yang terucap dalam hati anak itu. "Mengapa kau ada di sini?" Tanya Albert ketus.
Beberapa saat kemudian Fuguel muncul menyusul Treiya. Pria itu melewati pintu sambil menundukkan kepala. Saat ia melihat Albert sudah bangun, ia berdiri mematung. Fuguel dan Albert tak mengucapkan sepatah kata. Keduanya hanya saling menatap. Albert merasa canggung setelah mendengar penjelasan dari pemilik penginapan. Ia kebingungan untuk menghadapi Fuguel saat ini. Lebih tepatnya ia tidak terbiasa terhadap perilaku seperti itu. Rasa khawatir lebih tepatnya.
"Ehemm," Treiya berdeham memecahkan keheningan. "Karena kau sudah sadar, kau harus menjelaskan semuanya," pinta gadis yang berjalan menghampiri Albert. Ia berdiri begitu dekat sambil berkacak pinggang.
Albert memutar bola matanya kemudian menatap Fuguel dengan tajam, "Mengapa kau menyelamatkan dia?"
Fuguel memegang dagunya dan menatap ke atas. Ia berpikir untuk mencari alasan di balik tindakannya, "Aku tidak bisa membiarkannya," jelasnya. Mendengar hal itu alis Albert mengerut dan ia mencengkram selimutnya sangat erat.
"Wanita ini hampir saja membunuhku," ucap Albert seraya menatap nanar kepada Fuguel. "APA KAU TIDAK TAHU ITU!" Bentaknya.
Suasana ruangan jadi tegang, rasanya tenggorokan menjadi seret. Di tengah-tengah suasana yang bersitegang itu, Treiya yang merupakan sumber masalah angkat bicara, "Aku juga tidak berharap untuk diselamatkan, lagi pula pria ini tidak membiarkanku pergi," jelas gadis itu sembari menunjuk pria di belakangnya. Ia kemudian melipat tangan di depan dada.
"Jangan bilang kau menyelamatkannya karena tidak bisa membiarkan perempuan di tengah hutan," tukas Albert tapi kali ini ia memalingkan wajah.
Fuguel diam. Perlahan bola matanya melirik ke kiri. Beberapa saat suasana hening. Keheningan itu membuat Albert bergidik, "Jangan bilang kau menyukai gadis muda?" Tukasnya. Alis Albert mengerut dan terangkat sebelah.
"Tentu saja tidak!" Ucap Fuguel dengan intonasi suara yang ditinggikan, tentunya dengan ekspresi datar. "Seleraku bukan … maksudku, dia harus menjelaskan alasannya membuntuti kita," jelas pria itu seraya menunjuk Treiya untuk membela diri.
Albert menyipitkan matanya sembari melipat tangan di depan dada, "Benarkah?" Tanyanya penuh curiga. Albert kemudian mendengus, "Sudahlah, hal itu tidak penting juga," lanjutnya.
Albert mengarahkan pandangannya ke Treiya yang juga masih di ruangan itu. Ia menatap gadis itu sinis, "Mengapa kau tidak lari?" Tanyanya.
Gadis itu mengangkat kedua bahunya, "Aku tidak bisa pergi. Sayangnya aku tidak bisa melawan raksasa yang bersamamu. Dia anti-sihir dan secara fisik dia jauh lebih kuat dariku," jelasnya.
Albert mendengus, "Jadi ..." ia memberikan tatapan intimiadsi, "… Apa alasanmu menjadi antek-antek kerajaan?"
Treiya kemudian membuat kesepakatan. Ia akan menjelaskan semuanya dan berjanji untuk tidak mengejar mereka lagi dengan satu syarat. Gadis itu meminta agar Albert menjelaskan alasan ia kabur dari istana. Mendengar itu Albert berwajah masam, tetapi ia menyanggupi kesepakatan itu.
Treiya bercerita mengenai kejadian setelah kepergian Albert dari Ririas. Saat itu suasana istana cukup tegang karena pangeran kedua Ririas menghilang begitu saja. Namun, kejadian ini hanya diketahui oleh beberapa orang. Berita mengenai menghilangnya pangeran Ririas tidak diketahui oleh publik karena dirahasiakan. Raja kemudian memerintahkan untuk mencari Albert dengan mengutus beberapa orang terpilih.
Albert menyeringai, "Jadi kau orang terpilih?" Tanyanya.
"Bukan," bantah Treiya ketus. "Aku mengajukan diri," imbuhnya. Albert kembali mengerutkan alis, mimik wajahnya tampak bertanya-tanya.
"Aku ingin mengetahui alasan kau pergi dari Ririas. Tidak mungkin aku membiarkan orang yang telah menjadi kandidat Pusaka Sihir menghilang begitu saja," jelas gadis itu. Ada emosi marah dari caranya bicara.
Albert diam untuk beberapa saat. Ia lalu berkata, "Aku tidak akan menjadi Pusaka Sihir."
Mendengar hal itu, kedua tangan Treiya dikepalkan erat. Gadis itu geram hingga wajahnya merah padam. Ia hanya menyadari posisinya saat ini sehingga ia tidak menyerang Albert. Satu-satunya pilihan adalah menahan dan menenangkan diri. Perlahan ia menyurutkan amarahnya, "Mengapa kau tidak akan menjadi Pusaka Sihir?" Tanya gadis itu dengan suara bergetar. Suara bergetar yang menyisakan sedikit amarah.
Albert menatap lirih, "Jika kau sangat ingin tahu, sebaiknya kau mencaritahu kebenaran di balik Pusaka Sihir," jelasnya.
Treiya mengenakan jubahnya kemudian melemparkan sesuatu kepada Albert, benda itu sekilas terlihat bersinar ketika terkena pantulan cahaya matahari. Setelah itu Treiya membalikkan badan dan berjalan keluar. Gadis itu memutuskan untuk pergi seusai mendengarkan penjelasan Albert.
"Aku memang berjanji untuk tidak mencoba menangkapmu lagi, tapi kuperingatkan satu hal," Treiya melirik anak itu, "Bukan hanya aku. Bahkan Anna Rubble berpartisipasi dalam kasus ini," jelas gadis itu sebelum meninggalkan ruangan. Setelah itu suara langkah kakinya terdengar menjauh dan perlahan menghilang.
Albert kembali berbaring. Ia lelah karena harus menghadapi situasi serius bahkan saat ia baru saja sadar. Anak itu meletakkan satu tangannya di atas jidat lalu menghela napas panjang. Ia kemudian melihat benda yang diberikan oleh Treiya.
"Gelang kerajaan," ucapnya dalam hati.
Albert melirik ke arah Fuguel yang sejak tadi hanya berdiam diri. Pria itu seperti pengawal yang memastikan agar Treiya tidak melakukan sesuatu terhadap Albert. Ia hanya duduk mendengarkan.
"Maafkan aku," ucap Albert lirih. "Aku membiarkan buku Lembah Terlarang terbakar."
Fuguel menggelengkan kepala pertanda hal tersebut tidak menjadi masalah. Justru nyawa Albert lebih penting ketimbang menyelamatkan buku itu. Lagi pula, mungkin saja masih banyak petunjuk di luar sana mengenai lembah terlarang. Demikian pikir Fuguel.
Albert tersenyum, "Tapi aku berhasil menghubungi masterku. Kita akan bertemu sebulan kemudian di Rurall," jelasnya.
Seperti yang diharapkan, mereka berdua tidak benar-benar kehilangan petunjuk, justru penulis buku itu sendiri yang akan mereka temui. Hal yang perlu mereka lakukan sekarang adalah memulihkan diri dan bersiap-siap menuju Rurall. Negeri para peri.
~