Chereads / Mr. A / Chapter 39 - 39. Penyakit sialan

Chapter 39 - 39. Penyakit sialan

Masih ingatkah kalian ketika ayah A meminta putranya itu untuk membubarkan Agandara? Jika ingat, inilah alasan kenapa ia menyuruh Alister untuk membubarkan geng yang sudah bertahan lebih dari dua tahun itu.

... ...

Dua hari sebelum kejadian itu ....

Semua bermula saat A tengah membersihkan semua skincarenya di atas nakas. Pastinya saat ini A sedang berada di dalam kamar mandi. Berniat untuk mandi karena seharian keluyuran tidak jelas.

Namanya juga Master A. Sukanya bikin gaduh saja. Namun, sekejam-kejamnya A. Ia akan menjadi lembut saat berhadapan dengan Agandara dan terlebih kakak dan ayahnya.

Saat sedang asyik membersihkan botol skincarenya yang sudah habis, A dikejutkan oleh kehadiran Gilang yang membuat jantungnya olahraga malam. Yah, ini memang sudah malam. Ia dan Gilang baru saja pulang dari markas untuk membicarakan suatu misi mereka.

"Ihhk kak! Ngagetin aja." A menatap tajam Gilang yang hanya menyengir kuda menampilkan sederetan gigi putihnya.

"Ye maaf dah, baper amat sih adek gue tersayang ini," ujar Gilang sambil mengusap lembut rambut A.

A hanya mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Sedikit menggeram kesal kakaknya itu malah menggodanya.

Gilang mengambil botol skincarenya adiknya itu. "Habis?"

"Hmm ...." A mengangguk.

"Yaudah pake skincareku aja." Tawaran Gilang itu membuat A menoleh dengan gelengan kepala.

"Gak mau ... skincare kakak bau anying tau gak," sinis A.

Gilang menyentil telinga A. "Tuh mulut kek kereta kuda ya. Lancar amat ngehinanya," geramnya mencubit pipi Alister.

Alister menepis tangan Gilang dengan kasar. "Sakit kak. Yah, emang benar bau skincare kakak aneh." A bergidik ngeri membayangkan dirinya saat memakai skincare Gilang yang membuatnya mogok makan dan terus muntah.

Entah kenapa bau skincare kakaknya itu sangat sensitif di hidungnya.

"Apa yang salah sama skincare gue. Bau bunga lavender, yah gue suka." Gilang menggaruk tengkulnya dengan ekspresi tolol. Apa yang salah dengan skincarenya?

"Udahlah kak. Aku mau mandi. Sana pergi." A mendorong tubuh Gilang untuk keluar dari kamar mandi karena ia sebentar lagi akan mandi. Tidak mungkin, 'kan ia mandi bersama kakaknya?

Mungkin wajar saja mereka mandi bersama saat masih kecil, tapi sekarang? Oh tidak. A sangat risih jika hal yang membuatnya malu besar.

Suatu hari ia malah asyik mandi. Semua tubuhnya telanjang dari atas sampai bawah. A terlihat menikmati aliran air dari shower yang membasahinya.

Ehk, sialan. Gilang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi dan membuatnya malu karena Gilang mengatai juniornya kecil. Tentu A malu sekaligus marah. Ia tak terima jika anunya dikatain kecil.

Anunya besar, heh!

Kembali lagi kepada A yang bergidik kala mengingat itu.

"Ayo keluar!" titah A mulai emosi.

"Akh!" Gilang yang tadinya ingin menggoda A bersikukuh tidak keluar dari kamar mandi malah meraih tubuh A dengan cepatnya yang hampir terjatuh.

A terus mengerang kesakitan sambil memegang bagian kiri dadanya dan mencekramnya dengan erat. Itu membuat Gilang khawatir bukan main. Terlebih kala wajah A yang mulai pucat.

Gilang mengangkat tubuh A yang mengenakan handuk kimono ala bridel style. Dengan hati-hati Gilang membawa A langsung keluar dari kamar mandi menuju ruang tamu. Gilang terus memanggil ayahnya yang ternyata ada di rumah saat itu.

"Ayah! Ayah!" teriaknya memanggil Argan sang ayah sambil membawa A yang sudah pingsan.

Gilang meletakkan A di atas sofa dan membuka kimono A. Gilang memperhatikan dada A yang terdapat bekas luka tembakan dengan dahi yang mengerut heran. Sesekali mengelus luka itu.

"Ayah!" teriaknya kembali dengan wajah yang memerah karena khawatir.

"Ada apa dengan A?" Gilang bergumam bertanya kepada dirinya sendiri.

"Gilang kenapa kamu berteriak-ter ...."

Gilang berbalik badan dan langsung memotong ucapan ayahnya. "Alister ayah."

"A? Kenapa A?" Lelaki paruh baya itu mulai merasa khawatir.

Gilang tertunduk dan bergeser ke samping memperlihatkan A yang berada di atas sofa dalam keadaan pingsan.

Melihat itu, Ia langsung menghampiri A. "Dia kenapa?" Ia menatap Gilang penuh tanya.

Gilang menggeleng pertanda tidak tahu. Ia juga sangat khawatir.

"Siapkan mobil!" titah Argan.

Gilang mengangguk dan berlari dengan cepat untuk mempersiapkan mobil. Bukannya tidak ada supir, yah tahulah Argan sang ayah sangat anti jika menyewa pembantu. Ia sangat over mandiri setelah kehilangan istrinya ketika melahirkan Alister.

Argan segera mengangkat tubuh putranya itu. Membawa A menuju mobil yang sudah di siapkan oleh Gilang. Tanpa menunggu aba-aba lagi, Gilang langsung membuka pintu mobil kala melihat Ayahnya tiba.

Argan dan A sudah memasuki mobil. Juga Gilang sudah mulai menjalankan mobil itu menuju rumah sakit.

Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah sakit. Kedatangan mereka disambut hangat oleh pengunjung dan beberapa pasien. Mereka mengenal dengan baik seorang Argan yang memiliki pengaruh penting untuk rumah sakit negeri ini.

Sesekali mereka bertanya-tanya kala melihat A yang tengah digendong oleh Argan. Mereka memang mengenal A. Namun, bukan seperti Argan yang memiliki pengaruh baik, tetapi mereka mengenal A sebagai seseorang yang kejam.

"Dok!" teriak Argan dan Gilang serempak.

"Dokter! Suster!" Gilang membabi buta berteriak karena seseorang yang diharapkan belum datang juga.

Ia hampir kelepasan membogem wajah dokter itu yang datang bersama brankar dan dua suster jika sang ayah tidak mencegahnya.

"Bukan waktunya meluapkan emosi Gilang." Peringat Argan. Gilang menciut. Membantu sang ayah membaringkan tubub yang masoh menggunakan kimono di atas brankar.

Kemudian brankar tersebut di dorong menuju ruangan UGD. Terpaksa Gilang dan Argan hanya bisa menunggu di luar. Mereka tidak bisa masuk demi kelancaran pemeriksaan oleh dokter.

Gilang mendudukkan bokongnya dengan hempasan yang begitu kuat. Ia meringis sambil mengelus bokongnya. Yah, ngab-ngab. Salah sendiri duduk kek ada dendam terpencil sama kursi.

"Yah," panggil Gilang.

Argan menoleh menatap Gilang. "Ada apa?" tanyanya.

"Sepertinya luka tembakan A kambuh lagi, yah," ucapnya memberitahu.

Argan langsung mengambil duduk di samping Gilang. "Anak itu benar-benar keras kepala. Tidak bisa dibilangin. Ngotot terus. Kamu juga." Argan menuding Gilang yang sibuk mengorek upilnya. Untung saja upilnya tidak mengenai sang ayah karena saat ia menyentil upilnya, ia tersentak oleh ucapan sang ayah.

"Kok aku sih yah. Ayah tuh yang salah." Gilang malah menuding Argan.

"Lah, kok kembali ke ayah?" Argan menunjuk dirinya.

Gilang memperbaiki duduknya dan menatap ayahnya penuh selidik. "Siapa dalang dibalik keras kepalanya A kalo bukan ayah sendiri. Namanya juga buah jatuh tak jauh dari pohon," kesalnya.

"Mau ayah tabok?"

Gilang yang tadinya kesal karena dituding oleh sang ayah berubah menjadi cengiran dan memeluk sang ayah. Ia berlagak sok baik-baik saja.

"Eh, Ayah jangan main tabokkan ah! Nanti Gilang mabok."

"Itu obok, nak." Argan kesal.

Gilang menyengir. "Diobok-obok airnya di obok-obok banyak ikan yang kecil-kecil pada mabok."

Argan menghela nafas. Benar kata putranya itu. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Ia hanya bisa menatap Gilang yang bernyanyi gak jelas dengan malas dan kembali pada perasaan khawatirnya menunggu hasil pemeriksaan A. Semoga putranya itu baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian, dokter yang memeriksa A keluar membuat Gilang dan Argan yang sudah bosan menunggu informasi keadaan A langsung menghampiri dokter itu dengan berbagai pertanyaan yang mereka layangkan.

"Bagaimana keadaan anakku dokter?" tanya Argan.

"Apa adik gue baik-baik saja dok?" Gilang ikut bertanya.

Dokter tersebut bername tag Aldo hanya bisa menghela nafas. "Begini, putra anda baik-baik saja. Namun, kami masih harus pantau keadaannya karena bekas luka yang berada di dadanya membuat jantungnya mengalami kelecekkan. Yah, meski masih belum divonis apa penyebab yang jelas, maka dari itu kalian harus tetap menjaga staminanya dan jangan membuatnya terasa lelah dan stres. Lebih baiknya, putra anda harus dirawat di rumah sakit," jelas dokter Aldo.

"Baik dokter, bisakah kami melihatnya?" tanya Argan. Gilang terlihat mengeluarkan puppy eyesnya menggoda sang dokter agar bisa diizinkan masuk ke dalam ruangan perawatan A.

"Boleh. Kalau begitu saya permisi dulu." Dokter berlalu pergi. Sementara Argan dan Gilang langsung masuk ke dalam ruangan A. Disana mereka menatap tubuh A yang terbaring lemah.

"Sangat keras kepala," batin Argan dalam hatinya.

... ...

Sekarang setelah kejadian itu, Argan meminta A untuk membubarkan Agandara. Semua itu bukan tanpa alasan yang kuat. Ia hanya tidak ingin putranya itu kenapa-kenapa setelah A mengalami kelecekkan pada organ jantungnya.

Sebenarnya, ia sudah lama ingin meminta A membubarkan geng yang hanya membuatnya tambah menjadi monster. Ia juga tak ingin A membuat anggota Agandara berubah menjadi monster seperti dirinya. Namun, karena ia tahu bahwa Agandara adalah sumber kebahagiaan putranya, ia menjadi tak tega jika harus membubarkan Agandara.

A sangat begitu menyayangi Agandara. Begitupun sebaliknya, Agandara begitu menyayangi Alister.

Tidak mungkin, 'kan ia menghancurkan kebahagiaan putranya itu.

Tapi kali ini ia tidak bisa menunda lagi sampai waktu sudah terlambat. Agandara harus bubar.