Kala kematian Noe membuat banyak teka-teki yang menyebabkan Agandara banyak berfikir. Menunda banyak pelajaran dan waktu ke kampus tinggal sedikit dari banyaknya jadwal mereka.
Bertanya-tanya hanya membuat waktu tambah terbuang sia-sia. Menurut logika seorang Master kematian Noe memiliki sebuah keganjalan yang tak bisa diterima hati maupun akal. Lalu bagaimana mereka akan menemukan titik kematian sahabat mereka itu? Sedangkan sekarang Agandara lambat laun semakin kacau.
Hidup mereka seperti botol yang ditendang kesana kemari. Terkadang menepi, terkadang juga ke tengah jalan. Kadang juga berhenti sejenak.
Ayolah, Agandara hanya bisa berdiam kala Master mereka pun diam.
Bermain sendiri memang hanyalah hal konyol tanpa bimbingan seorang Alister.
permainan hidup semakin kuat dan tajam menunjukkan kekuatan mereka. Ah! Apakah sudah seharusnya begini? Melupakan kematian Noe yang sudah berminggu-minggu lamanya?
Atau haruskah mereka menuntaskan kematian sahabat mereka itu.
tahu pasti, Noe tidak akan tenang. Itulah yang saat ini tengah mereka bahas.
Alister bangkit berdiri menatap anak buahnya yang hanya diam setelah pembicaraan menyangkal akal itu terjadi.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Gilang merangkul Rayn.
Rayn hanya mengangkat bahu. Tak tahu harus bagaimana. "Menurut cctv yang didapatkan di lokasi tkp minggu lalu, seorang lelaki berjas hitam berbicara dengan paman Noe," sahut Rayn memberitahu. Jantungnya berdegup sangat kencang, karena informasi ini sudah lama ia tutupi.
Semua menatap Rayn, kecuali Master kita, Alister yang hanya berdiri seperti patung. Suasana terlihat menegang. Tak ada jawaban dari Alister.
Nafas Alister keluar dengan hangat diiringi ketegangan para Agandara yang sudah bersiap-siap melihat amarah Alister karena Rayn.
"Siapa lelaki itu?"
hufft .... Mereka nampak membiaskan ketenangan seketika melihat Alister yang kembali duduk tanpa amarah yang tercipta di wajahnya.
Alister terus bergelut dalam pikirannya. Ia tak menyangka ini akan terjadi. Membangun geng Agandara ini hanyalah sebuah kesenangan yang ia pikir akan membuatnya melupakan Jie. Memiliki teman dan melupakan dunianya yang hancur ternyata membawa malapetaka yang dimulai dengan kematian Noe.
"Permulaan kematian Noe? Hei!" Daniel mengundang perhatian Agandara juga Alister.
"Master, jika Noe permulaannya, maka aku yang akan menjadi sasaran keduanya." Niel bergetar membuat kebingungan pada anggota geng.
"Apa maksudmu?" Abra bertanya dan menghampiri Niel yang tiba-tiba ketakutan.
"Yah, apa yang kau katakan Niel? Kau sasarannya setelah Noe, kenapa kau bisa tahu?" Alister datang mendekat.
"Iya, Noe adalah anggota yang tak terlalu penting di Agandara yang tak memiliki kekuatan khusus. Sedangkan aku yang kedua hanya anggota biasa. Master mereka mengejar dari yang lemah baru kekutan inti kita." Niel mencoba menjelaskan.
Alister menggigit bibirnya dan melangkah menjauh seolah tengah berpikir. "Aku mengerti maksudmu." Alister tersenyum. "Kita akan bisa mencari siapa dalang kematian Noe jika kita tahu siapa yang menjadi dalang tersebut. Dan misi kita adalah mencari siapa seseorang itu."
"Aku akan memberitahu kalian sebuah rahasia." Alister berbalik badan menghadap anggotanya yang menatapnya dengan heran.
"Rahasia? Rahasia apa, Master?" tanya Alfraid.
Gilang menatap Alister dalam-dalam. Ia tahu apa yang akan diberitahu oleh adiknya itu. Sebuah rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari Agandara.
Mereka semua fokus untuk mendengar A berbicara.
Sebuah helaan sebelum A berbicara. "Ini rahasia yang selama ini aku sembunyikan dari kalian. Aku minta maaf." Alister meminta maaf tambah membuat diri Agandara mati penasaran.
Apa rahasia itu?
Alister mulai membuka kancing kemeja yang ia kenakan satu persatu, lalu menunjukkan kepada Agandara sebuah bekas luka di dada sebelah kirinya. Dahi Agandara berkerut, tak ayal mereka menghampiri Agandara sementara Gilang hanya terdiam karena ia sudah tahu.
"Bekas luka? Inikah rahasianya?" Alister mengangguk menanggapi pertanyaan Alfraid.
"Kenapa bekas luka ini bisa terjadi?" Amon menatap lekat A.
Abra tiba-tiba menyentuh bekas luka itu dengan lembut. "Apakah sakit Master?" tanyanya dan ditanggapi dengan gelengan oleh Alister.
"Luka ini aku dapatkan saat masih sma dulu, dua tahun lamanya kejadian itu berlalu. Saat itu seseorang berniat membunuhku dengan menembakku, tapi aku berhasil melalui masa kritis dan baik-baik saja. hanya saja, aku harus chek-up ke dokter setiap bulan karena luka tembakan ini yang satu centi meter lagi akan mengenai jantungku. Namun, aku sekarang baik-baik saja." Alister menjelaskan bekas luka itu sambil tersenyum.
"Siapa yang mencoba membunuhmu?" tanya Rayn.
A menggeleng. "Sampai sekarang belum di ketahui."
"Kalo begitu, Master harus berhati-hati karena pembunuh itu pasti saat ini sedang mengincarmu," timpal Abra.
"Yah, adikku yang sangat bodoh." Gilang terkekeh membuat Agandara menatapnya dengan aneh.
"Gilang apa maksudmu?" tanya Alfraid.
"A memang lelaki bodoh sepanjang sejarah. Sangat bodoh. Terlalu baik padahal dirinya butuh kebaikannya sendiri." Gilang pergi meninggalkan Agandara dengan perasaan kesalnya.
"Master ...," lirih Amon.
"Kejar dia Master!" titah Niel.
Alister terlihat menimbangi dan pada akhirnya mengangguk. "Aku akan mengejarnya."
"Ya."
Alister dengan hati-hati mendekati Gilang yang terlihat kesal kepadanya. Sejujurnya, ia bingung kenapa Gilang tiba-tiba kesal setelah ia memberitahu bekas luka itu. Namun, ia sadar kakaknya itu hanya mengkhawatirkannya saja.
"Kakak ...," panggil Alister.
"Ada apa?" Gilang menyahut dengan dingin.
"Kakak marah ya?" tanya A dan duduk di samping Gilang.
Gilang hanya diam dan tak menyahut lagi. Hanya menatap ke depan dengan kosong. Ia sangt kesal dengan Alister karena memberitahu bekas luka yang hampir membuatnya meregeng nyawa. Dan membuatnya khawatir.
"Aku bodoh ya, kak?"
"Sangat bodoh!" celetuk Gilang tanpa melihat A.
"Benarkah?" A tersenyum centil dan memeluk Gilang. Sesekali mencium pipi Gilang yang hanya diam sebagai respon.
Gilang sudah terbiasa dicium oleh Alister. Itulah sebabnya diam diam saja dan tidak merasa jijik.
"Kau sangat bodoh!" Gilang tak tahan dengan pelukan Alister yang membuatnya menjadi iba dan memukul Alister yang menurutnya sangat bodoh.
"Memberitahu luka ini sama saja membuat nyawaku dalam bahaya, tapi ...."
"Kau sudah tahu dan masih melakukannya bodoh!" Gilang semakin geram tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya itu.
"Mereka harus tahu supaya mereka tak harus bergantung kepada Master mereka yang penyakitan ini." A tersenyum getir. "Aku mohon jangan beritahu hal lain kepada mereka bahwa aku ... sakit."
Mata Gilang berkaca-kaca. "Kenapa kau begitu bodoh adikku. Jika musuh sampai tahu kelemahanmu ada pada bekas luka itu, mereka akan semena-menanya dengan Agandara. Karena mereka tahu bahwa Master mereka lemah."
"Kau akan menggantikanku kak. Kakak, 'kan hebat?"
Gilang menggeplak lembut kepala Alister. "Kau sangat lucu. Kau kejam, tapi lucu."
"Hehe. Siapa lagi kalo bukan adiknya kak Gilang yang tampan. Kak," panggil A.
"Ya?" Gilang menatap A lekat.
"Tolong selamatkan Jie. Aku mencintainya."
Gilang menggigit bibirnya dan memukul lembut kening Alister. Ia berusaha menahan tangisnya.
"Kenapa kau berusaha membuatku menangis Alister? Katakan sendiri. Kau akan baik-baik saja. Kau lelaki hebat A. Aku percaya kau bisa."
"Aku tidak yakin kak."
"Sudahlah, jangan pikirkanitu. Aku akan mengorbankan jantungku kepadamu."
A melotot. "Kakak gila, ya? Tidak! Aku tidak ingin menerima donor jantung kakak."
Gilang hanya tersenyum tipis. "Terserahmu."